tentang kecemasan, kehilangan, resiliensi

beberapa waktu lalu seorang rekan sempat bercerita tentang pengalaman—pada dasarnya sesuatu yang sifatnya lumayan pribadi—tapi secara singkatnya rekan saya ini mengalami kegamangan terkait kehilangan yang baru dialaminya. demikian itu juga membuatnya cemas akan hal-hal lebih tidak enak yang mungkin akan terjadi.

tentu saja kalau ditulis seperti itu, ‘kehilangan’ ini tema yang luas, ya. detailnya sendiri tidak terlalu penting untuk bahasan kali ini. tapi soal kegamangan dan kecemasan ini, bagaimana ya, saya paham bahwa demikian ini bisa menyesakkan sekali untuk sebagian dari kita.

.

kenyataannya, perasaan gamang atau cemas terhadap kehilangan juga sesuatu yang sepenuhnya manusiawi. kehilangan hal-hal—atau bahkan membayangkan kemungkinannya saja—rasanya bisa menakutkan sekali!

pengalaman dan kedewasaan juga mempengaruhi. realistisnya, memasuki usia tertentu, hal-hal yang tadinya terasa jauh mulai memasuki ranah kemungkinan-kemungkinan dalam perjalanan kita. orangtua tidak akan ada selamanya, pasangan mungkin akan putus juga, teman-teman bisa jadi akan pisah jalan tak bersama kita. mungkin akan terjadi musibah atau kecelakaan, mungkin akan terjadi kita kehilangan sebagian harta, apapun itu.

pada dasarnya juga bukan hal yang tidak wajar. kecenderungan manusia untuk cemas terhadap kemungkinan kerugian atau kehilangan juga menjadi topik yang umum dalam bidang psikologi dan ekonomi perilaku[1]; banyak studi dan buku juga sudah ditulis terkait bahasan tersebut.

.

kita lebih sering menderita dalam bayang-bayang daripada kenyataan, demikian kata seorang bapak filsuf Seneca.

dulu saya berpikir, pada dasarnya untuk mengantipasi hal-hal buruk yang mungkin terjadi, perlu juga mempersiapkan untuk mencegah, atau setidaknya meminimalkan kemungkinan terjadinya. maksud hati sih supaya tidak cemas amat, ya. sebisa mungkin jangan sampai hal-hal buruk terjadi, walaupun pada akhirnya saya belajar…

… bahwa demikian itu tidak sepenuhnya berguna, pembaca. (lah?) 😆

maksud saya begini. memang pada dasarnya mempersiapkan kemungkinan itu hal yang bagus, tapi pada akhirnya kita tak akan selalu berhasil juga. hal-hal yang kita anggap ‘buruk’ toh akan terjadi juga, bagaimanapun caranya. patah hati sih terjadi saja, teman-teman datang dan pergi juga, barang-barang ada masanya dan nominal di rekening sih ada saja cara keluarnya.

atau singkatnya: mau direncanakan sebanyak apa juga, dibuat secemas apa juga, praktisnya sih bakal kejadian juga.

jadi, alih-alih mengobsesikan diri (bahasa apa sih ini) terhadap kecemasan dan ketakutan menghindari hal-hal buruk dengan perencanaan berlebih yang bikin mumet—dan tidak bikin lebih tidak cemas juga—saya menemukan bahwa lebih penting buat menumbuhkan resiliensi[2] terhadap hal-hal yang pada dasarnya tidak menyenangkan untuk dibayangkan. bahwa setidaknya, untuk banyak hal yang mungkin terjadi, entah apapun itu nanti, saya punya kesiapan untuk menyikapi dan beradaptasi.

tapi kan kita tidak tahu apa yang mungkin akan terjadi? ya justru itu. resiliensi adalah bagaimana kita berhadapan dengan hal-hal, baik atau buruknya, yang bahkan kita belum tahu akan jadi seperti apa. hubungannya ke banyak hal yang sifatnya ke dalam diri, misalnya terkait regulasi emosi, empati, dan yang penting juga adalah efikasi diri (‘self efficacy’): bahwa kita bisa punya keyakinan diri yang valid—alias bukan sok-sokan asal ceroboh juga—bahwa segala sesuatu itu pada akhirnya akan bisa kita hadapi juga.

sederhananya sih kira-kira kemampuan untuk bisa ngomong, ‘enggak apa-apa kok kejadian juga, gimana-gimana nanti bisalah kita urus’.

masalahnya, untuk menumbuhkan resiliensi ini juga tidak sederhana amat. salah satu caranya, ya, dengan mengalami dan melaluinya sendiri, baik secara langsung maupun relatif bertahap[3].

.

saya ingat mengatakan kepada rekan saya bahwa tidak sepenuhnya adil kalau saya membandingkan diri dengan keadaannya. bagaimanapun saya sudah mengalami dan berproses melalui hal-hal terkait ‘kehilangan’ ini, banyak atau sedikitnya, jadi kalaupun saya berada di posisinya, bisa jadi juga akan memiliki penyikapan yang tidak sepenuhnya sama.

tapi saya bisa mengatakan bahwa, ketika kehilangan itu terjadi, sekalipun memang akan sakit dan tidak enak (iyalah, duh), tapi… tidak selalu harus sesakit bayangan kita juga. bahwa ada saatnya apa yang terjadi tidak selalu harus seburuk ketakutan kita sebelumnya.

walaupun tetap saja sakit lho ya. siapa juga yang bilang terus jadi gampang.

pada akhirnya yang terjadi toh terjadi juga, yang kita lalui toh kita lalui juga. kita belajar, kita jadi sedikit lebih tangguh, dan setidaknya kita jadi sedikit lebih paham tentang satu dan lain hal. dan… ternyata kita masih hidup, tidak rusak amat, dan kecemasan kita sebelumnya, walaupun valid, tidak lagi punya banyak makna di hadapan kita.

tentu saja ini juga sesuatu yang sifatnya relatif terhadap individu, demikian juga ketahanan masing-masing kita tak selalu sama. tapi ada pilihan untuk tidak selalu terbelenggu kecemasan-kecemasan—karena toh mau diapakan juga akan terjadi saja, buat saya lebih baik mempersiapkan bukan melulu keadaannya, tapi juga resiliensi untuk hal-hal yang baik atau buruknya toh akan kejadian juga.

bukan berarti terus jadi sederhana juga. tapi percayalah, sering juga terjadi kita lebih tangguh daripada yang kita kira.

___

[1] salah satunya teori prospek (‘prospect theory’) yang dikembangkan oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky.

[2] resiliensi di sini adalah konsep yang juga banyak dibahas dalam studi psikologi. definisinya banyak, tapi salah satu yang umum adalah korelasinya dengan regulasi emosi dan efikasi diri.

[3] pada ranah psikologi klinis, salah satu pendekatan misalnya melalui terapi eksposur (‘exposure therapy’) terhadap sumber kecemasan secara gradual; teknik ini merupakan intervensi tingkat lanjut sesuai kebutuhan individu.

2 thoughts on “tentang kecemasan, kehilangan, resiliensi”

  1. gw udh terbiasa buat selalu mikir the worst. capek emang, banget, tapi menurut gw bikin survival willingness jadi lebih besar aja hahahah..

    Reply
    • lho, justru itu ada perlunya juga. kalau enggak mikir yang terburuk enggak praktis juga atuh 😆

      perlu dipikirin, ga perlu terlalu dikuatirin mungkin… karena keadaan buruk sih pasti kejadian aja. oftentimes it’s also how we recover. (it’s true, it’s true)

      Reply

Leave a Reply to yud1 Cancel reply