komik shounen, shoujo, dan batas gender

komik shounen itu buat cowok. komik shoujo itu buat cewek.

…ah, kata siapa? =)

berdasarkan pengalaman gw, sebenarnya tidak selalu seperti itu, kok. walaupun awalnya mungkin demikian, tapi ternyata dalam perkembangannya batas segmen pasar kedua genre ini semakin tidak jelas. setidaknya, itulah yang gw rasakan saat ini.

oh. iya. sebelum anda pembaca bertambah bingung, mari kita perjelas dulu.

jadi begini. dalam teknik pembuatan manga (=komik jepang), ada dua mainstream yang memiliki ciri khas masing-masing dalam penggambaran di atas kertas, yaitu shounen dan shoujo. gw coba menjelaskan secara singkat di sini.

shounen (jp: boys) adalah gaya yang bisa dibilang ‘cowok banget’. biasanya membawakan tema yang agak berat atau petualangan – walaupun tidak semuanya demikian, dan biasanya berseri cukup panjang. salah satu ciri khasnya adalah tarikan garis yang tebal dan kuat, serta dalam beberapa kasus penggunaan kuas. beberapa contoh yang mungkin banyak dikenal, misalnya Rurouni Kenshin, Meitantei Conan, atau Get Backers. oh. iya. beberapa judul seperti Salad Days atau Kagetora juga termasuk komik shounen, walaupun temanya tidak seperti disebutkan di atas.

shoujo (jp: maidens, girls) adalah gaya yang ‘berbeda’: bisa dibilang, ‘cewek banget’. umumnya membawakan tema seperti romance atau komedi, walaupun hal ini tidak mutlak juga, sih. ciri khasnya, tarikan garisnya tipis, dan kadang tarikan garis bisa melewati panel komik. ciri khas lain, biasanya di komik jenis ini tone-nya agak lebih lembut dibandingkan komik shounen. contohnya misalnya Daa!Daa!Daa! (diterjemahkan: UFO Baby) dan imadoki!, serta Magic Knight Rayearth. judul yang agak baru misalnya Blue Sky Scramble! atau Nine Puzzle yang sudah bisa diperoleh di toko buku di tanah air.

nah. kelihatan, kan. dari namanya saja sudah ada pembatasan gender dari kedua genre tersebut. dan sebenarnya, sebagian karena hal itu juga sih, sehingga timbul ungkapan ‘komik shounen itu buat cowok’ dan ‘komik shoujo itu buat cewek’. iyalah, dari arti kata shounen dan shoujo saja sudah menjelaskan hal seperti itu!

tapi soal pembatasan segmen pasar ini sepertinya jadi agak kurang valid saat ini.

ada seorang rekan gw (cewek) yang cukup suka baca komik jepang. sekali waktu, gw melihatnya membaca majalah-komik Nakayoshi (ini… adalah majalah-komik yang terbit di sini, dikhususkan untuk memuat kompilasi komik shoujo). orangnya baik, dan lumayan kawaii… *gak penting*.

oh, wajar. begitu gw pikir. nggak aneh. tapi suatu saat, ketika gw sedang membaca komik Flame of Recca (ini komik shounen juga) yang baru gw beli,

“yud1, habis ini pinjem yah!”

…hah? gw malah nggak tahu anak ini suka baca komik shounen. dari tampangnya sih… kayaknya tidak. belakangan gw baru tahu bahwa dia ini cukup mengikuti beberapa serial komik shounen. Get Backers, Rurouni Kenshin, dan Flame of Recca adalah beberapa judul yang diperhatikan oleh anak ini.

nah. jadi hipotesa pertama tidak dapat diterima. komik shounen bukan cuma dibaca oleh cowok.

sekarang contoh lain.

ada seorang rekan gw (kali ini cowok). seperti halnya gw, dia ini juga cukup akrab dengan komik jepang. biasanya, gw numpang baca beberapa judul komik shounen yang dia beli. misalnya RAVE, atau Rurouni Kenshin. dalam beberapa kesempatan, giliran gw yang meminjamkan untuk beberapa judul. misalnya Flame of Recca atau Fantasista.

biasa, cowok baca komik shounen, pikir gw. tapi…

“eh, gw pinjem imadoki! nomor 4 sama 5 dong!”

yah, waktu itu dia sedang meminjam komik imadoki! (ini komik shoujo yang gw sebutkan tadi) ke seorang rekan gw yang lain.

hm. ternyata ada juga cowok yang tertarik dengan komik shoujo. begitu gw pikir.

jadi hipotesa kedua tidak dapat diterima. komik shoujo bukan cuma dibaca oleh cewek.

…dan menurut gw sih hal seperti itu ada bagusnya juga. maksud gw, untuk memahami antara dua hal yang berbeda, diperlukan pemahaman yang menyeluruh dari kedua sisi. dan menurut gw, sebenarnya masing-masing punya kelebihannya sendiri, kok.

ngomong-ngomong, soal komik shounen dan shoujo ini juga sempat memicu ‘perdebatan’ yang sebenarnya tidak penting-penting amat, tapi menarik untuk gw dengarkan =).

ada dua orang tokoh. rekan gw yang pertama (cewek, pembaca setia komik shoujo) dan rekan gw yang kedua (cowok, pecinta komik shounen). gw sih nonton aja.

“komik shounen itu vulgar!” kata rekan gw yang pertama. “masak gambar cewek aja sampai kayak… (begini dan begitu). nggak ada bagus-bagusnya!”

*gw nyengir. gak semua komik shounen kayak begitu, kok*

“daripada komik shoujo, gambarnya cowok cantik semua?” rekan gw yang kedua menjawab. “terus ngomongnya ‘iya, aku data~~ng’ sambil dipenuhi bunga begitu…”

*apa iya… gw mikir*

“tapi cowok komik shoujo itu manis! itu yang namanya keindahan! daripada komik shounen kalau gambar cewek sampai kayak begitu..”

“lho. gambar cewek di komik shounen itu juga keindahan, tahu… =P” rekan gw yang kedua menukas, sambil senyum-senyum aneh.

(si~~ng) *sunyi sejenak*

“…piktor!” (sambil nunjuk muka rekan gw yang pertama)

*gw ngakak*

(dan seterusnya)

well, kalau menurut gw sih sebenarnya masing-masing punya kelebihan sendiri. gw cukup suka baca komik shounen, tapi nggak menolak kalau ada yang punya komik shoujo dan bersedia meminjamkan ke gw. gw suka baca Saiyuki yang action-nya cukup seru, tetapi gw juga menikmati baca imadoki! yang menurut gw ceritanya cukup bagus. gw cukup suka baca Salad Days, tetapi gw juga bisa menikmati Mirumo de Pon! yang menurut gw cukup menghibur dan bisa bikin nyengir.

dan menurut gw sih, soal batasan gender ini sebenarnya kurang valid untuk saat ini. maksudnya, selain cewek-cewek yang membaca komik shounen (saja!) atau cowok-cowok yang lebih suka baca komik shoujo (saja!) (…fenomena yang terbalik? tapi ada lho) atau yang ‘seharusnya’ (shounen untuk cowok dan shoujo untuk cewek), gw melihat lebih banyak lagi pembaca (baik cowok maupun cewek) yang mengikuti kedua genre tersebut.

jadi kalau ada cewek membaca Tennis no Oujisama (diterjemahkan: Prince of Tennis) atau Saiyuki, sambil membaca beberapa komik shoujo, menurut gw itu normal. kenyataannya, gw melihat banyak yang seperti itu. sebaliknya, kalau ada cowok yang membaca Flame of Recca sementara beberapa hari kemudian membaca imadoki!, itu juga bukanlah hal yang aneh. sekali lagi, gw melihat banyak hal yang seperti itu.

mungkin memang awalnya genre komik shounen didesain untuk memenuhi kebutuhan pembaca cowok, dan genre komik shoujo didesain untuk memenuhi kebutuhan pembaca cewek. dan hasilnya, memang cukup sukses menghasilkan ciri yang khas dari masing-masing genre tersebut.

tapi kenyataannya, tampaknya saat ini genre komik shounen dan shoujo tidak membatasi pembacanya berdasarkan gender, tuh.

…bagaimana menurut anda?

hal-hal yang kita pelajari

apa tujuan kita belajar?

supaya kita tahu banyak hal.

…apa iya? sambil iseng, gw mencoba memikirkan mengenai hal ini akhir-akhir ini.

jadi begini. kalau kita belajar, maka kita akan tahu banyak. setidaknya, tahu lebih banyak dari sebelumnya. dan ini hal yang wajar. maksud gw, semua orang akan setuju kalau gw bilang begitu.

tapi, apa yang kita pelajari?

coba kita mengingat masa-masa sekolah dulu.

dulu, kita belajar kimia. kita disuruh menghapalkan rumus unsur halogen, misalnya. F, Cl, Br, I, At. diajarkan juga bagaimana unsur-unsur tersebut bereaksi dengan asam, misalnya, untuk membentuk asam halida. tentu saja, ketika ujian, kita harus menghapalkan hal-hal seperti itu. dan kita tidak boleh membuka tabel unsur kimia. kalau ada yang melakukannya, maka dianggap melanggar peraturan.

tapi kalau dipikir-pikir, memangnya apa salahnya dengan membuka tabel periodik unsur? ketika kita bekerja di laboratorium, misalnya, kita pasti akan berhadapan dengan tabel periodik yang dipasang di dinding laboratorium kimia. untuk efisiensi, memang lebih baik menghapal. tapi menurut gw, menghapal itu bukanlah sesuatu yang esensial.

coba contoh lain. misalnya di mata bidang Fisika. kita dijelaskan mengenai mekanika kuantum, yang dasarnya dari model atom Bohr. rumusnya adalah bla-bla-bla, dan sesuai dengan letak kulit atomnya, maka perbandingannya juga berbeda. tapi kita tidak boleh membuka rumus sakti tersebut sewaktu ujian.

padahal, rumus tersebut hanyalah rumus. maksud gw, rumus itu tinggal dilihat, dan kalaupun seseorang tidak mengerti maksudnya, maka dia tidak akan bisa mengerjakan soal yang berhubungan dengan emisi energi karena perpindahan elektron dalam suatu model atom.

sekarang, coba yang agak lebih canggih. kalau gw bisa menemukan sourcecode yang tinggal di-copypaste di internet untuk algoritma A*, misalnya. apakah itu salah? jelas tidak. algoritma tersebut adalah gagasan yang telah menjadi umum. demikian juga, tidak akan ada yang menyalahkan ketika kita menggunakan potongan code tersebut dalam kuliah Sistem Cerdas, misalnya.

tapi ada masalah kalau kita asal copy-paste code dalam mengerjakan matakuliah Dasar-Dasar Pemrograman. kenapa? karena memang objective-nya tidak demikian =). kecuali, kalau kita benar-benar membongkar code-nya, memahami algoritmanya, dan akhirnya (kalau mau, sih) membuat code sendiri yang dasarnya dari situ.

nah. apa maksud gw menuliskan segala hal di atas?

sebenarnya, kadang kita terlalu berpikir bahwa yang paling penting adalah ‘belajar untuk tahu’. padahal, kadang yang sebenarnya kita butuhkan adalah ‘belajar untuk mengetahui’. tentu saja, disesuaikan dengan objective kita dalam mempelajari sesuatu.

kalau kita sedang mendalami Fisika dan kita membuka catatan sekadar untuk mengetahui rumus cincin Newton dalam dualisme partikel-gelombang itu bentuknya seperti apa, menurut gw itu sah-sah saja. atau ketika ujian Kimia, dan kita membuka catatan untuk mengetahui apakah Lithium atau Natrium yang ada di bawah Hidrogen dalam unsur golongan IA, seharusnya tidak ada masalah.

yang penting, ketika terjun dalam proses yang sebenarnya (baca: di luar proses pembelajaran), kita tahu di mana kita harus mencari tahu hal tersebut. buka tabel kimia, misalnya. atau gunakan ensiklopedia fisika untuk melihat rumus cincin Newton. pakai search engine juga bisa. banyak, deh.

tentu saja, disesuaikan dengan objective masing-masing proses belajar. kalau dalam kimia, misalnya ketika kita diminta menjelaskan kenapa golongan IA bisa bereaksi hebat dengan air, maka tidak masuk akal kalau kita meminta untuk membaca buku sebentar. demikian juga, ketika kita diminta menjelaskan bagaimana cahaya bisa membentuk pita gelap-terang dalam percobaan interferensi, permintaan untuk pergi dan mencari di search engine jelas tidak relevan.

kenapa? jelas, kan. yang penting adalah pemahaman, bukan sekadar tahu.

dan hal ini menjelaskan kenapa ketika kuliah Dasar-Dasar Pemrograman, mahasiswa tidak boleh menggunakan code buatan orang lain, tanpa pemahaman yang memadai. jelas, kan. objective dari kuliah tersebut adalah membiasakan dan meningkatkan pemahaman akan program dan sourcecode-nya.

tapi ketika kuliah Rekayasa Perangkat Lunak, mahasiswa dipersilakan sebebas-bebasnya untuk mencari referensi code. mau copy-and-paste code JavaScript atau PHP yang aneh-aneh untuk aplikasi sistem web-based pun silakan. itu karena objective-nya beda. objective-nya adalah mengantarkan hasil, bukan lagi pemahaman.

kadang, kita terjebak pada ‘keharusan untuk tahu’, bukan ‘tahu cara untuk mengetahui’.

misalnya begini. ketika ada orang bertanya, apa bedanya QuickSort dan BubbleSort, maka setiap mahasiswa Computer Science seharusnya bisa menjawabnya. tapi kalau ditanya contoh code-nya, silakan cari sendiri, banyak kok di internet. maksudnya, sesuai dengan level kita, kadang lebih esensial untuk ‘tahu cara mengetahui’ daripada ‘tahu sedalam-dalamnya’. tentu saja, lebih baik lagi kalau bisa tahu dua-duanya =).

(note: BubbleSort dan Quicksort adalah dua dari banyak metode yang digunakan untuk mengurutkan data dalam programming. keduanya menerapkan pendekatan yang berbeda dalam melakukan pengurutan data)

sama halnya ketika kita bertanya kepada seorang dokter, bagaimana proses perubahan energi dalam tubuh manusia, maka kemungkinan akan dijawab dengan ‘proses glukosa, daur Krebs, dan transpor elektron’ dan sebagainya. tapi coba tanya bagaimana proses transpor elektron, besar kemungkinan kita akan disuruh membaca buku kuliah kedokteran.

kadang, sesuai dengan level kita, kita jadi tidak perlu lagi ‘terlalu paham akan sedikit hal’, tetapi lebih ke arah ‘paham banyak hal secara umum’. tapi sekali lagi, kalau bisa menggabungkan keduanya sih lebih baik.

tentu saja, kata kuncinya adalah pemahaman, bukan sekadar tahu.

jadi, apa yang salah dengan membuka catatan untuk melihat rumus Fisika atau Kimia, atau melihat tanggal lahir Presiden Roosevelt, misalnya?

menurut gw sih, sebenarnya tidak ada. yang penting, jangan sampai melanggar objective dari proses belajar itu sendiri.

there is (not) a reason behind…

“listen. we are pros. but being a pro does not mean to take any jobs that is offered to us.”

-Reno of Turks-

beberapa orang rekan menanyakan kepada gw, kenapa gw tidak melakukan sesuatu yang ‘seharusnya gw lakukan saat ini’. bukan hal yang aneh juga, sih (dan terima kasih sudah menanyakan =) ) kalau mengingat bahwa gw dulu sempat cukup tertarik dengan hal-hal seperti itu.

dan untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut, gw menjawab bahwa gw belum menemukan suatu alasan untuk memperjuangkan hal tersebut.

well… gw bukannya bersikap antisosial atau apatis (dan gw berharap semoga tidak ada yang berpikir demikian =) ) dengan memutuskan untuk tidak melakukan sesuatu yang ‘seharusnya’ gw lakukan (tentu saja, bersama rekan-rekan yang lain) tersebut. hanya saja, gw ingin memperjuangkan sesuatu dengan suatu alasan. suatu alasan di mana gw bisa mengatakan bahwa gw sedang melakukan sesuatu yang benar. suatu alasan yang akan membuat gw bersedia memperjuangkannya sekuat tenaga.

tentu saja, kalau tidak ada alasan yang cukup kuat untuk membuat gw melakukan sesuatu, maka gw tidak akan melakukan hal tersebut. sebaliknya, ketika gw memiliki alasan yang (menurut gw) tepat, maka gw akan memperjuangkan suatu hal sampai akhir.

mungkin… hal seperti itu lebih ke arah masalah prinsip, sih.

tentu saja, hal seperti ini sifatnya relatif. untuk suatu tindakan, orang yang berbeda bisa memiliki alasan yang berbeda untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tersebut. dan hal tersebut biasanya kembali kepada hati nurani masing-masing. dan kadang, alasan ini tidak bisa di-‘bongkar-pasang’. maksudnya, alasan seseorang untuk melakukan sesuatu mungkin bisa begitu pas untuk satu orang, tapi tidak cukup kuat untuk orang lain. demikian pula sebaliknya.

mana yang salah? tidak ada. setiap manusia berhak memiliki kebenaran pribadi. maksudnya, hal-hal yang diputuskan oleh hati nuraninya sendiri. dan hal ini relatif terhadap setiap individu.

sebenarnya (percaya atau tidak), selama beberapa waktu terakhir ini gw mencoba memikirkan. alasan-alasan apa yang tepat untuk gw dalam melakukan hal ini. tentu saja, beberapa orang rekan yang membicarakan hal ini dengan gw punya alasan yang bagus, dan gw menghormati alasan tersebut. dan gw rasa, alasan-alasan tersebut memang cocok untuk mereka. tapi di saat yang sama, gw merasa bahwa alasan seperti itu bukan untuk gw. maksudnya, itu memang alasan yang bagus, tetapi gw merasa bahwa itu tidak tepat untuk gw.

tentu saja, gw menghormati alasan-alasan rekan-rekan gw, dan gw yakin sepenuhnya bahwa mereka memiliki niat yang tulus untuk melakukan suatu hal yang baik.

tapi gw rasa, gw tidak menemukan alasan yang tepat untuk gw.

dan ketika gw tidak menemukan suatu alasan, maka gw tidak akan melakukan sesuatu. ini bukan soal salah atau benar, tapi ini lebih kepada soal bertanggungjawab kepada diri sendiri. setidaknya, itulah yang gw pikirkan. gw ingin segala sesuatu yang gw lakukan, segala sesuatu yang gw perjuangkan, gw melakukannya dengan suatu alasan yang layak.

gw tidak ingin melakukan sesuatu hanya karena gw harus melakukan hal tersebut.

perhaps it’s simpler to put it that way =)

belajar kalah

“remember that life is not a game. at least, until you’ve grown enough to realize that life is only a game.”

___

katanya sih, tidak ada seorangpun manusia yang senang menerima kekalahan.

dan itu hal yang wajar. maksud gw, gw rasa tidak ada seorangpun yang akan dengan senang hati menerima kenyataan bahwa dirinya lebih inferior dibandingkan orang lain. mungkin beberapa orang bisa menerima kenyataan tersebut, tapi tetap dengan perasaan ‘sedikit tidak biasa’. dan ini hal yang normal.

apalagi, ketika kita sudah begitu terbiasa memperoleh apa-apa yang kita inginkan. atau ketika kita sudah begitu terbiasa memperoleh kemenangan. dan hal seperti ini berlaku dalam banyak hal dalam kehidupan ini.

misalnya begini. ini salah satu contoh. kalau kita sudah terbiasa menang dan menjadi juara di mana-mana dalam main game Winning Eleven, maka kita akan cenderung berpikir ‘kita hampir pasti menang’ setiap kali menghadapi lawan. ini hal yang wajar dan manusiawi. manusia cenderung menilai dirinya sesuai apa yang dia inginkan.

lalu, suatu ketika, misalnya kita kalah main WE dari seorang anak ‘kemarin sore’ yang tadinya ‘biasa-biasa saja’. apa yang akan terjadi? bisa dibilang, kita akan merasa ‘sedikit kecewa, marah, dan kesal’, seraya serta-merta meminta rematch. anda yang biasa main WE kemungkinan mengerti dengan baik apa yang gw maksud di sini =).

…kenapa? gampang, kan. kita cuma tidak mampu menerima kenyataan bahwa diri kita (yang kita pikir sebagai ‘cukup hebat, jago, dan tidak gampang dikalahkan’) ternyata inferior dibandingkan lawan kita. kita cuma tidak mau mengakui bahwa kita kalah, itu saja. oleh karena itu, kita merasakan perasaan-perasaan seperti yang disebutkan tadi.

dan meminta rematch, tentu saja. untuk membuktikan bahwa kita lebih hebat daripada lawan kita yang baru saja mengalahkan kita. dalihnya bisa macam-macam. gw membuat kesalahan tadi. alasan yang wajar. tadi gw bermain buruk. masih alasan yang wajar. tapi sebenarnya, alasannya hanya satu. kita tidak ingin kalah. itu saja, kok. tapi biasanya alasan-alasan ini tersembunyi di balik dalih-dalih seperti tadi.

…kenapa? karena kita cuma tidak mau mengakui bahwa kita kesal karena kita kalah. sederhana saja, kok =).

itu kalau soal yang gampang, seperti main WE. masalahnya, persoalan menang-kalah seperti ini bukan hanya tentang permainan: hampir seluruh aspek kehidupan kita memiliki sisi menang-kalah. tidak percaya? coba kita perhatikan.

mengerjakan SPMB, misalnya. kalau kita bisa melewatinya dengan baik, maka kita bisa mengatakan bahwa kita memenangkan satu babak dalam kehidupan kita. mungkin beberapa orang tidak memandangnya demikian, tapi sebenarnya konsepnya tidak jauh berbeda dengan main Winning Eleven. hanya saja, kalau kita kalah, kita harus menunggu setahun untuk rematch =).

atau yang lain: misalnya mengejar nilai A untuk suatu matakuliah. kalau kita berhasil mendapatkan nilai A untuk matakuliah Sistem Cerdas, misalnya (yang artinya: kita ‘menang’), maka kita akan senang. mungkin semacam perasaan ‘lega, dan sedikit tereksitasi oleh euforia’ akan kita rasakan. tapi kalau kita cuma mendapatkan nilai C+ atau C (yang artinya kita ‘kalah’), maka kita akan merasakan hal yang mirip dengan ketika kita kalah main WE. mungkin kita akan merasa ‘sedikit kecewa, marah, dan kesal’.

dan itu bukanlah hal yang buruk. hal-hal seperti itulah yang membuat manusia bisa maju dan berkembang.

tapi mungkin, kadang kita perlu memikirkan. apakah kita akan kalah terhadap kekalahan kita sendiri? maksud gw, sudah bisakah kita menerima kekalahan-kekalahan kita dalam hidup ini? ataukah kita masih terus menderita dan tidak bisa menerima kenyataan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa kita raih dalam kehidupan ini?

ada contoh bagus. gw pernah melihat yang seperti ini.

ada seorang anak SMU, yang dalam perjalanan hidupnya mencoba mengejar impiannya melalui SPMB. ia berharap diterima di Institut Teknologi Bergengsi. dan ia terus mengejar tekadnya. bisa dikatakan, menjelang hari-H, ia hanya memikirkan mengenai impian dan tekadnya tersebut.

ketika hasil SPMB diumumkan, anak ini sempat kecewa. ia tidak diterima di Institut Teknologi Bergengsi. tapi ia diterima menjadi mahasiswa di Universitas Impian. sebenarnya itu bukanlah hal yang buruk, mengingat keduanya adalah perguruan tinggi yang cukup dikenal dengan mutu yang baik.

anak ini kecewa. seluruh usaha dan tekadnya untuk bisa pergi ke Institut Teknologi Bergengsi ternyata gagal menjadi kenyataan. apalagi dengan kenyataan bahwa ia merasa gagal membuktikan diri, dan beberapa dari rekan-rekannya telah berhasil sampai di Institut Teknologi Bergengsi.

anak ini tidak bisa terpuruk lama-lama; Universitas Impian adalah jalan yang harus ditempuhnya saat ini. dan ia tidak bisa terus memikirkan tekad dan impiannya yang tidak menjadi kenyataan – kalau ia ingin terus melanjutkan kehidupannya.

…ternyata? tak seburuk dugaannya semula. tidak ada yang salah dengan Universitas Impian. tekad dan impian mungkin tidak selalu menjadi kenyataan. tapi setidaknya, ia cukup senang dengan apa yang dimilikinya.

menjadi pihak yang ‘kalah’ memang kadang menyakitkan. kadang begitu menyakitkan ketika kita sudah begitu terbiasa meraih banyak hal dalam kehidupan ini. atau ketika kita sudah terlalu terbiasa memperoleh begitu banyak kemenangan dalam kehidupan ini.

tapi mungkin, kadang kita lupa. mungkin, dengan segala kekalahan-kekalahan yang kita jalani, kita jadi sering mensalahartikan. bahwa kekalahan adalah sumber segala masalah kita. bahwa kadang kita merasa bahwa ‘hidup kita hancur ketika kita kalah’.

sebenarnya tidak. mungkin lebih tepat kalau dikatakan bahwa ‘hidup kita hancur karena kita kalah dalam menerima kekalahan kita’.