memperalat tuhan?

ada sebuah pertanyaan yang menarik yang menjadi pemikiran gw hari-hari ini.

benarkah Tuhan, dengan segala ketidakterbatasan dan ketidakterjangkauannya, adalah solusi instan bagi segala masalah manusia?

kenapa gw bertanya seperti itu? sebab banyak sekali contoh di mana manusia kerap menggunakan sesuatu yang mereka sebut sebagai ‘Tuhan’ sebagai sebuah senjata yang satu dan satu-satunya: yang membedakan ‘kita’ dan ‘bukan kita’. yang membedakan antara ‘mukmin’ dan ‘fasik’, atau yang ‘beriman’ dan ‘tidak beriman’. dan yang membedakan antara ‘kita yang benar’ dan ‘mereka yang salah’.

hal ini termasuk gerakan neokonservatisme β€” yang kadang menjadi terlihat sulit dibedakan dengan ‘fasisme agama’, atau ‘fundamentalisme’ yang bisa jadi berujung ke ‘terorisme’.

dan sayangnya, keadaan yang disebut oleh Karen Armstrong dalam bukunya A History of God sebagai ‘teologi yang mengerikan’, dalam taraf yang lebih rendah tampaknya masih terjadi di berbagai tempat di belahan dunia. di Amerika Serikat dengan neokonservatisme berbasis ajaran Kristen (atau dikenal juga dengan sebutan ‘Kristen kanan’) sampai gejala sejenis di Indonesia dengan jargon ‘penerapan asas Islam untuk kemajuan bangsa’ (yang disebut sebagai penerapan Islam yang kaffah oleh pembicaranya) adalah hal yang sama saja: penggunaan agama sebagai tembok pemisah benar-dan-salah, yang dianggap mutlak adanya.

maka agama menjadi alasan untuk mengatakan: kamu bukan bagian dari kami, maka pergilah ke neraka. dan dengan demikian mereka yang bukan-kita seolah menjadi layak diperangi, sembari harap-harap cemas bahwa kebersamaan kita dengan mereka mungkin akan diakhiri dengan pemurtadan atau fitnah yang sembunyi-sembunyi.

…ya, itu saat-saat di mana seorang muslim mengatakan bahwa ‘mereka yang bukan Islam tidak akan menjadi penghuni surga’, sebuah kalimat yang cukup sering terdengar, dan entah kenapa bisa cukup populer di beberapa kalangan. betapa Tuhan yang satu dan tak terjangkau seolah telah diperalat menjadi stempel: kami benar dan kalian salah. dan dengan demikian sebuah agama menjadi seolah kehilangan esensi: dari sebuah keberkahan untuk seluruh umat manusia menjadi senjata untuk memprasangkai yang bukan-kita.

dan dengan demikian manusia berharap: bahwa di tengah dunia yang tidak sempurna, Tuhan menjadi sebuah jawaban: jawaban bahwa dengan melakukan apa yang seolah perintahNya, segala masalah akan usai, dan bahagia yang abadi akan datang: sebuah ajakan yang sekaligus berbahaya untuk memusuhi Setan yang termanifestasi dalam bentuk ‘mereka yang bukan-kita’.

…ya, seperti halnya yang terjadi dengan sikap seorang muslim terhadap Palestina: bahwa siapapun yang bukan-kita adalah musuh Tuhan, dan harus diperangi. seperti halnya ketika seorang muslim mengatakan ‘dunia indah tanpa Israel’, tanpa pengetahuan bahwa gerakan anti-Zionisme eksis di Israel, atau fakta bahwa mereka mungkin telah termakan propaganda Zionisme yang mencampuradukkan antara ‘anti-Semit’ dengan ‘anti-Zionis’: dua hal yang jauh berbeda dan dianggap sama β€” sebuah propaganda yang berhasil, dan tampaknya masih laris sampai saat ini.

atau seperti halnya Irak dan Afghanistan, di mana ‘mereka yang bukan-kita’, demi nama Tuhan, dihajar habis dan dijatuhkan: sebuah bentuk dari neo-konservatisme berbasiskan agama di Gedung Putih yang kini semakin kehilangan daya tariknya: Tuhan ternyata tidak menang di Irak, dan hanya meninggalkan kehancuran dan korban perang.

Tuhan adalah senjata: dengan nama Tuhan terjadi pembantaian pada 1965-1966, Poso, Maluku, dan sebagainya. Tuhan adalah senjata: dengan nama Tuhan terjadi peledakan bom Bali, teror di WTC, dan sebagainya.

sebuah dunia yang tidak sempurna, dan dicoba untuk diubah demi nama Tuhan β€” yang satu, maha kuasa, dan tak terjangkau. dan menghasilkan diskriminasi, saling curiga, bahkan pembantaian. dan dengan demikian menghasilkan kesombongan bahwa agama adalah solusi yang harus ditegakkan dengan segala-cara: demi terciptanya ‘kehendak Tuhan’.

Tuhan, yang satu dan berkuasa, dengan segala ketidakterjangkauannya oleh akal manusia. dan dengan menggunakan Tuhan sebagai senjata, manusia telah ‘memperalat’, sekaligus menjatuhkan Tuhan: bahwa bila memang demikian benar adanya, maka Tuhan tidak menang di Irak, juga berarti bahwa Tuhan mengajarkan untuk memusuhi mereka yang bukan-kita.

…dan dengan demikian, Tuhan telah dinilai sebagai begitu rendahnya: alat menuju kesombongan, tempat berjualan tiket menuju surga, atau bahkan alasan untuk memusuhi. dan dengan demikian, manusia sekaligus telah mengebiri Tuhan: memaksakannya ke dalam kehidupan manusia yang tidak-sempurna, sekaligus memberinya kontradiksi yang bertentangan dengan segala sifatnya yang menjadi esensi dari agama.

10 thoughts on “memperalat tuhan?”

  1. cuma pengen menanggapi sedikit.. berbagi pengalaman…

    Jika ada ungkapan bahwa ‘mereka yang bukan Islam tidak akan menjadi penghuni surga’…

    Dalam pandangan gereja Katolik, hal ini sudah merupakan isu lama yang sering sekali dibicarakan. Bagi umat Kristiani (dalam hal ini Katolik), sebelum Konsili Vatikan kedua, mereka percaya terhadap doktrin bahwa ‘tidak ada keselamatan bagi mereka yang tidak mempercayai Yesus Kristus’, keselamatan dalam hal ini adalah kebahagiaan hidup kekal bersama Kerajaan Surga, dengan kata lain Surga. namun hal ini telah disadari oleh gereja Katolik, sehingga semenjak konsili Vatikan ke-2, gereja mengubah pandangannya mengenai hal tersebut.

    Belakangan gw juga mengalami kekhawatiran yang sama. Mengapa agama selalu dibawa-bawa dalam sebuah permasalahan yang tidak ada kaitannya dengan agama, misalnya perebutan wilayah kekuasaan atau permasalahan senjata.

    Apakah ada agama yang mengajarkan untuk membunuh sesama manusia lain? Meskipun dalam kitab suci ada kata-kata yang menyiratkan hal tersebut, sebaiknya kata2 itu tidak diartikan secara harafiah yang langsung. Melainkan butuh analisis yang baik tentang situasi dan kondisi saat kitab suci ini ditulis. Jangan pernah terprovokasi oleh pihak manapun yang mengaku dia membela kepentingan agama. Ingat saja, jika ajakan tersebut adalah merugikan orang lain, hal itu pastilah bukan hal yang baik.

    Reply
  2. Duh, bau tulisan Karen Armstrong euy… πŸ™‚

    Fundamentalisme… Apakah berarti semua yang bukan “kita” (menurut para fundamentalis) akan dilempar ke neraka?

    Ada suatu hal mendasar yang juga gw pikirkan tentang para fundamentalis ini.

    Menurut mereka:

    1. “Kita” percaya pada Tuhan “kita”, yang mahapengasih, mahapenyayang, mahapemurah… (dan lain-lain)

    2. Yang bukan “kita” tidak percaya pada “Tuhan kita”, harus kita perangi.

    Apakah Tuhan yang mahabaik, mahapengasih, mahapenyayang, dan mahasempurna sengaja menciptakan sebagian manusia untuk diperangi pada akhirnya?

    Apakah Tuhan yang mahasempurna, mahacerdas, mahabijaksana… (dan seterusnya) menciptakan sebagian manusia dengan sia-sia, sehingga mereka layak dibunuh lagi oleh “pasukan Tuhan”?

    Tentu saja nggak. Tuhan yang mahapenyayang tidak akan menyuruh makhluknya membunuh dengan sengaja, dan Tuhan yang mahabijaksana seharusnya tidak menciptakan manusia hanya agar jadi tumbal untuk “Pasukan-Nya” menuju surga…

    Mereka mempercayai hal2 yg kontradiktif, rupanya… ~_^

    Reply
  3. soal ini juga sebenarnya merupakan topik yang memang masih memancing kontroversi di antara para pemikir muslim juga, sih.

    beberapa pemikir yang berpandangan konservatif juga mengatakan demikian, dan memang ada ayat dari kitab suci yang dengan mudah dimaknai secara harfiah (seperti omongannya Daniel di atas – halo Daniel =) ), namun di antara pemikir muslim sendiri juga ada beberapa pihak yang membawakan penafsiran yang lebih pluralis lagi.

    beberapa waktu yang lalu gw membaca bukunya Jeffrey Lang yang berjudul Losing My Religion: A Call for Help – di sini diterjemahkan dengan dipecah ke dua buku. beliau ini adalah seorang muslim yang tinggal di amerika, dan juga seorang guru besar matematika.

    walaupun beliau seorang muslim, tapi penyikapan dan penafsirannya terhadap ayat-ayat yang memang ‘kelihatannya meresahkan’ tersebut di-cover dengan baik dan cukup logis. bahkan pada kenyataannya cukup banyak juga pernyataan dalam Al Quran yang menyatakan keselamatan bagi semua orang yang berbuat kebaikan, tidak secara khusus kepada kalangan muslim saja.

    dan soal seperti ini memang seringkali lebih berat ke penafsiran masing-masing individu atau kalangan tertentu, dan akhirnya terjadilah penyikapan seperti itu.

    meskipun demikian, gw lebih suka memandang dari sisi yang lebih pluralis saja. bukankah agama itu sebagian juga urusan pribadi antara manusia dan Tuhannya?

    Reply
  4. Wah, Yud, berat juga ya?
    Gw kasi baris2 tulisan ini aja deh (gw nggak berani nyebutnya puisi, hehe..).
    Slamat membaca.

    Ketikaku beranjak dewasa, satu pertanyaan terus berkembang di dada. Apakah Tuhan itu menciptakan agama?
    Kugumuli buku-buku, kucecar para guru, jawablah pertanyaan itu!
    Bila Tuhan menciptakan agama, apakah agama-Nya?
    Mengapakah begitu banyak agama di dunia dan mengapakah kita tidak menganut satu agama saja?
    Agama yang mengkotak-kotakkan manusia, memisahkan kita.
    Dunia yang begitu kecil, semakin sempit terhimpit perbedaan.
    Apakah Tuhan begitu sombong, hanya memberitahukan rahasia-Nya pada orang-orang pilihan, orang-orang yang menjalankan ibadah-Nya?
    Padahal kita semua adalah ciptaan-Nya, suka atau tidak.
    Apakah ada manusia yang meminta dengan sengaja untuk diciptakan?
    Dan bila Tuhan tidak menciptakan agama, mengapa banyak orang yang yakin bahwa agamanyalah yang terbaik?
    Berperang demi agamanya, mati demi keyakinannya, mencerca orang-orang yang berbeda dengannya.
    Mencoba menutupi perbedaan, tapi semakin mempertajam jurang pemisah. Berbagai hukum yang dituliskan, memperjelas kotak-kotak yang ada.
    Aku hanyalah satu, terbuang dari berbagai sudut.
    Tak bisa menyangkal, karena kuyakini keberadaan-Nya dari setiap sel tubuhku, setiap ruang pemikiranku, dan setiap lipatan hatiku.
    Kuikuti peraturan-Nya melalui lakuku, setiap ucapan dari bibirku, dan aksara yang keluar dari tanganku.
    Ya Tuhan, jika ini adalah durhaka, aku hanya sekedar bertanya.
    Karena agama-agama-Mu, menghimpit batinku.

    di perbatasan dosa

    Reply
  5. > Della
    >
    >> …

    di-edit yah. alamatnya sekarang dimasukkan ke URL untuk nama pengirim. lain kali, silakan tulis alamatnya di field URI (= Uniform Resource Identifier) =)

    kalau baca puisinya sih memang ini gejala yang seringkali muncul di antara para penganut agama modern (dan khususnya, para pemuda yang mendapatkan agama ‘turunan’, atau generasi kedua dan seterusnya). memang seringkali terjadi pertentangan antara cara berpikir logis dalam kehidupan dengan agama yang dianggap dogmatik.

    belakangan memang sih, setelah membaca buku yang gw sebutkan dalam post sebelumnya (dan beberapa buku lain juga) ada pemahaman baru yang cukup menarik mengenai fenomena tersebut… walaupun ada hal-hal yang awalnya mungkin memang ‘mengusik’ seperti contoh yang gw tulis di atas.

    …meskipun demikian, gw tidak terlalu mengetahui (dan tidak berani menebak-nebak juga =P) juga mengenai sudut pandang umat beragama yang lain dihadapkan pada persoalan seperti ini.

    Reply
  6. Hmm… mengenai hal yang dibilang sora-kun
    menurut gw Tuhan menciptakan manusia dengan suatu hal unik. manusia diciptakan serupa dengan gambaran Allah, yaitu “freewill”. menurut saya, Tuhan tentu bisa saja membuat segala sesuatu sempurna, membuat manusia dengan hati yang sempurna, tapi Tuhan ingin manusia sendiri yang dengan kesadarannya sendiri datang dan menyembah Tuhan. bukan seperti boneka yang digerakan..

    Kalau yang saya amati, sebenernya pertengkaran agama ini diawali dengan maksud yang baik. seseorang beragama A ingin “menyelamatkan” temannya yg beragama B. karena B berpikir sama, maka mereka lama2 bertengkar dan merasa dirinyalah yang benar.

    Menurut saya, agama itu ga perlu dibawa2 dalam pembicaraan langsung. kalau memang misalnya perilaku kita dalam kehidupan mencerminkan kasih Tuhan, tentunya orang2 disekitar kita akan berpikir sendiri tanpa perlu berdebat2. Karena memang kalo manusia berdebat tentang kebenaran suatu agama, tentunya tidak akan selesai, karena pikiran manusia yang terlalu sempit tidak akan bisa mengerti sepenuhnya mengenai kerajaan Tuhan.

    biasanya kalo kita mengidolakan sesuatu kita berusaha untuk menirukan idola kita (apakah itu gaya rambut, dll). kalau kita mengidolakan Tuhan sebaiknya kita meniru sifat2nya πŸ™‚

    Reply
  7. hehehe,,,cuman mo kasih komen…
    gak gitu nyambung sih,,,tapi anggap aja ini komen dari suatu komen,hehehehe bingung aku,,,
    heran,,hari ni rajin bgt aku kasih komen =)
    ng…mungkin agak membosankan,,tapi tolong dibaca
    Islam itu agama yang tak hanya ‘agama ritual’ Islam itu sebuah ideologi, di dunia ini,kita tau,ada 3ideologi dasar, sosialis, kapitalis, dan Islam.
    1. sosialis yaitu tidak mengakui adanya agama, tokoh2nya berpendapat kalo agama itu candu,kita berasal dari materi di dunia ini mencari materi dan kalo kita mati kembali ke materi
    2. kapitalis tu mengakui adanya agama,namun mereka tidak menjadikan agama itu sebagai aturan yang mengatur kehidupan, seperti yang banyak negara terapkan saat ini,mereka bilang pemeluk agama yang taat,tapi mereka gak yakin sama agamanya sendiri dan menganggap aturan2 yang mereka buat lebih baik dari aturan agamanya….
    3. Islam yaitu menjadikan agama bukan hanya sebagai suatu ‘agama ritual’ saja namun juga menjadikannya sebagai aturan dari Pencipta kita dalam kehidupan mahluknya(dianalogikan sebagai pembuat komputer,yang paling tahu tentang spesifikasi,cara kerja dan hal2 yang berhubungan tentang komputer itu pasti penciptanya bukan?) Alloh bukan seorang watch maker yang membuat jam dan membiarkan jarumnya bergerak sendiri, Dia adalah Al-Muzzabbir(maaf kalo salah tulis) yang menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman kita,aturan untuk kita.
    (untuk pembuktian mengapa Alloh adalah satu2nya Tuhan yang pantas kita sembah,mungkin di lain tulisan, terlalu panjang nanti,segini aja mungkin orang2 males baca,hehehe)
    nah yang kita harus pikirkan sekarang,adalah yang mana ideologi yang akan kita pilih!?yakin gak kita sama pilihan kita!?
    apa bukti keyakinan kita itu?
    dan mengenai akidah kita, pertanyaannya adalah:
    darimana kita berasal?
    mau ngapain kita di dunia ini?
    setelah kehidupan ini kita mau kemana?

    maap kalo ada salah kata,sesungguhnya kebaikan itu datangnya dari Alloh dan keburukan itu datangnya dari aku sendiri

    -cuman seorang anak yang sedang belajar tentang agamanya sebagai agama yang aku sadar benar aku memilihnya,bukan karena warisan orang tua-

    Reply
  8. permisi,,, eh cuman mo bilang kalo ada yang punya bukunya jeffrey lang edisi ke-2 “aku menggugat maka aku semakin beriman” (kalo ga salah he..99x) or loosing my religion, or even angel ask … hm… boleh pinjam ga ????? maf bukannya pelit buat geluarin duit but lebih enak minjam daripada beli he,,,

    Reply
  9. Tuhan pada awalnya hanya menciptakan ‘cinta’.
    Setelah itu Ia beristirahat & membiarkan cinta itu bekerja.
    Selalu demikian, sejak awal, sampai sekarang.

    Semua yang tumbuh & berkembang, selalu mendasari diri di atas cinta. Sementara semua yang rusak & hancur, selalu mendasari diri di atas ego & nafsu.
    Selalu demikian, sejak awal, sampai sekarang.

    Cinta yang murni tidak membeda2kan, menghasilkan keindahan & kedamaian.
    Cinta yang membeda2kan sudah tercemar oleh ego / nafsu, menghasilkan kekecewaan, kesedihan, kemarahan & kehancuran.
    Selalu demikian, sejak awal, sampai sekarang.

    Kebingungan & pertentangan / perbedaan tentang Tuhan bukan saat ini saja dirasakan. Sejak dahulu sudah banyak orang mengalaminya. Ada yang mencariNya. Ada yang menunggunya. Ada yang tidak memperdulikanNya.
    Bukannya mereka melihat persamaannya (berdasar cinta), malah mereka sibuk membedakannya (berdasarkan ego/nafsu). Itulah sumber segala kekacauan yang timbul saat ini.
    Selalu demikian, sejak awal, sampai sekarang.

    Reply

Leave a Reply to sora-kun Cancel reply