gravity (2013)

George Clooney. Sandra Bullock. di luar angkasa. what do you expect?

ketika awalnya saya mendengar tentang dan mencoba mencari tahu tentang sinopsis film ini, saya tidak mendapatkan banyak penjelasan: cuma dua orang astronot, kecelakaan di luar angkasa. lain-lainnya tidak banyak dijelaskan kalau kita memang tidak berniat mencari bocoran jalan cerita, jadi sejujurnya saya memutuskan untuk menonton film ini tanpa ekspektasi saja.

nah, jadi tulisan kali ini tentang Gravity, film arahan sutradara Alfonso Cuaron yang dirilis pada Oktober 2013. lagipula ada George Clooney dan Sandra Bullock juga sih, jadi untuk beberapa pemirsa mungkin ini faktor yang lebih dari cukup juga untuk menarik ke bioskop terdekat.

Gravity, 2013. courtesy Warner Bros Pictures

film ini berangkat dari ide yang sederhana dan storytelling yang sederhana serta linear juga. dari sisi karakter dan konsep penceritaan, tokoh utama dalam film ini praktis hanya Ryan Stone (Bullock) dan komandan Matthew Kowalski (Clooney) yang harus bertahan hidup dalam keadaan terkatung-katung di luar angkasa setelah pesawat ulang-alik dan stasiun luar angkasa mereka hancur dihantam debris. atau ‘puing-puing luar angkasa’, kalau itu lebih menjelaskan sih.

jadi, karakter dalam film ini (baca: ‘yang tampil dan berakting di layar’) hanya dua orang. pendekatan seperti ini dalam film mengingatkan pada bagian besar dari Life of Pi[1], dan sejujurnya eksekusi seperti ini termasuk jenis yang susah: dengan sedikitnya karakter yang ditampilkan di layar, praktis kekuatan film ini akan terutama tergantung kepada perwatakan masing-masing tokoh.

sayangnya rasanya kok karakterisasinya kurang greget, ya. Sandra Bullock dan George Clooney bukan aktor yang buruk. tapi dengan pendekatan Cuaron untuk film ini, tuntutan terhadap kemampuan aktor memang jadi tinggi sekali sehingga ketika Bullock (dan Clooney) tidak bisa mencapai standar yang luar biasa tinggi, jadinya semacam underdelivered juga.

ditambah lagi dialog dan pesan yang di beberapa bagian bisa jadi terasa klise, tapi yah…

ngomong-ngomong, film ini eye candy. serius. banyak pemandangan bagus, walaupun lepas dari hal tersebut beberapa pemirsa mungkin akan menemukan beberapa bagian cenderung repetitif. meskipun demikian pensutradaraannya kreatif sih, teknik seperti perubahan sudut pandang kamera orang ketiga-orang pertama-orang ketiga tampil menyegarkan untuk film ini.

pada akhirnya, film ini tidak buruk. Sandra Bullock maupun George Clooney juga sama sekali bukan aktor yang buruk. secara visual film ini mungkin memanjakan lebih dari cukup banyak pemirsa, tapi mungkin yang perlu diperhatikan adalah bahwa film dengan pendekatan seperti ini pada dasarnya menuntut performa yang benar-benar luar biasa untuk bisa sepenuhnya berhasil sebagai tontonan yang bisa merangkul emosi pemirsa… yang sayangnya, tuntutan tersebut tidak sampai benar-benar bisa dipenuhi dalam eksekusi film ini.

saya sendiri berpendapat bahwa film ini tidak buruk, tapi ya underdelivered sih. sayang juga, sebenarnya.

___

[1] kalau masih ingat, ketika Pi dan Richard Parker harus bertahan hidup tanpa bantuan di tengah samudera Pasifik. it makes sense in context by the way.

[2] dengan mengambil resiko dianggap tidak paham ilmu perfilman (duh), agak bingung juga dengan hype yang ada di forum-forum maupun IMDB atau Rotten Tomatoes, misalnya. soal selera mungkin ya. 🙄

13 thoughts on “gravity (2013)”

  1. Aku sih suka. Jadi seperti disuguhin sesuatu yg selama ini cuma jadi khayalan, tapi jadinya malah ga pengen jadi astronot lagi. I wouldn’t stand the silence, boredom, and loneliness.

    Reply
  2. masa. kalau dari filmnya sih, I think the silence is magnificent. benar-benar sepi, nggak ada siapa-siapa, cuma manusia di perbatasan bumi dan luar angkasa. so close to home yet so far into the unknown.

    sunyi, sepi, tapi juga luar biasa. kalau bisa milih mati gimana sih, seeing Gangga in sunrise 600 km above the Earth, well, I wouldn’t really mind I guess.

    btw ini kayaknya dua orang memandang dari sisi yang berbeda 180 derajat deh 😛

    Reply
  3. Saya suka film ini. Drama soal survive di luar angkasa memang bukan barang baru, tapi yang ceritanya sesuai kondisi sekarang (bukan masa depan) memang jarang. Kebetulan sejak kecil suka hal2 berbau space program. Senang juga liat interiornya ISS, Soyuz & Tiangong. Kurasa ada adegan Sinai, Suez dan Israel terlihat dari angkasa sana. Keren. Dan saya sepakat, kalo memang mati di luar angkasa keknya bisa dibanggakan. :mrgreen:

    Saya tak komentar soal akting deh. Pokoknya saya keluar bioskop dengan senang. 😉

    Reply
  4. yaa, memang secara directing sama visualnya keren kok. walaupun kalau soal ‘keluar bioskop dengan senang’ sih… masih belum ada yang ngalahin Pacific Rim! sumpah belum! xD xD

    Reply
  5. Haha, ntah kapan lagi bakal ‘keluar bioskop’. Hari ini bakal balik ke Jayapura, belum nonton Pacific Rim tapi sudah didonlotkan sama temen. Balik nonton di PC lagi deh. 😛

    Reply
  6. Saya nonton ini beramai-ramai—biasanya kalau sudah begini hak pilih bukan ada di saya dan kecenderungannya pada film-film blockbuster yang nilai rapornya cukup-cukup makan. Makanya tercengang juga waktu melihat skor film ini sampai 97% di situs-Tomat.

    Dan di mata saya memang betulan bagus ternyata. Bagus bukan karena sisi-sisi teknis atau direksinya yang ramai dipuja-puji, tapi memang sungguh-sungguh bagus. Ini kelihatannya efek selera pribadi: walau saya gak banyak makan sains ilmiah, apa-apa yang menunjukkan rapuhnya peradaban secara paling tidak agak-realistis itu rasanya menakjubkan sekali (zombi tidak dihitung). Dari Planetes, Hotel, sampai beberapa bagian Mass Effect. Itu stasiun-stasiun pada berguguran, dan manusia jadi tersesat di ruang kosong jadi bikin sedih, bukan mencekam.

    Juga entah kenapa karakter-karakter di situ saya memprosesnya jadi semacam perwakilan-perwakilan. Jadi si Dokter itu kira semua. Si Senior jadi pendahulu-pendahulu kita, dan seterusnya. Waktu si Dokter berharap-harap bisa pulang lewat stasiun Cina, seolah-olah itu stasiun juga mewakili Cina. Makanya saya gak masalah kalau ceritanya lurus-lurus saja. Kalau sudah antropomorfisme begitu memang baiknya jangan berkonflik kompleks.

    Tapi ya itu interpretasi saya saja. Secara keseluruhan ya film yang baik, cuma kebetulan kena dengan ketertarikan pribadi. Tak rasional ya biar.

    (BTW, karakter utama wanita berambut pendek/kelihatan pendek, lalu bermontir dengan pakaian seadanya itu mengingatkan akan B’t X dulu.)

    Reply
  7. re: antropomorfi, masuk akal juga. etapi kayaknya memang nggak perlu rasional sih buat nonton film ini, cukup duduk dan nikmati saja, dan kepikirannya kok ya film tipe kayak begini ini interpretasinya tergantung pemirsa betul. dan ya, ‘tak rasional ya biar’, kayaknya kebahagiaan banyak pemirsa nonton ini cenderung intuitif, ya.

    (BTW, karakter utama wanita berambut pendek/kelihatan pendek, lalu bermontir dengan pakaian seadanya itu mengingatkan akan B’t X dulu.)

    mbak Sandra Bullock tidak mengingatkan kepada siapa-siapa. titik. habis. mbak Sandra ya mbak Sandra! 👿 emangnya kamu gak pernah nonton Speed hai nak #duar

    Reply
  8. btw, saya baru komentar ini sekarang. tapi saya kebayang bahwa seandainya di akhir film ada satu tambahan adegan saja, nilai film ini bakal meroket jauh di mata saya.

    spoiler: ingat waktu ada ‘twist’ Ryan ketemu Kowalski? nah, kalau seandainya ternyata sisa film dari bagian tersebut adalah near-death experience… kemudian film ditutup dengan adegan tokoh utama menghembuskan nafas terakhir, aduh. that would be depressingly epic.

    Reply
  9. mbak Sandra ya mbak Sandra!

    Ee ya tapi betul bagian itu mengingatkan ke anime lawas. Fanservice macam begitu agak gak perlu sebetulnya.

    saya kebayang bahwa seandainya di akhir film ada satu tambahan adegan saja, nilai film ini bakal meroket jauh di mata saya.

    meroket

    :v

    Ahem. Yaaa, menurut terawangan saya ya ndak juga sih. Shaggy dog story macam itu sudah agak passé lah kalau buat generasi kita. The Mist toh ending-nya juga seperti itu. Serupa dengan jalan cerita “semua hanya diimpikan oleh karakter utama yang tengah sakratul maut”—sangat menarik waktu zaman Taxi Driver atau fanfiction Doraemon, tapi sekarang toh kesannya penulisan yang malas?

    Reply
  10. eh, habisnya gimana ya. habis pas nontonnya juga rasanya kok linear betul, sampai rada hambar pula di luar visual/directing/apalah itu. and I was, like,

    ‘huh?’ ‘udah?’

    di akhir film. mungkin selera. 😕

    Reply

Leave a Reply to yud1 Cancel reply