liburan yang tidak perlu melarikan diri

saya sedang nongkrong minum kopi di depan televisi pada hari Minggu pagi sementara adik saya menonton acara jalan-jalan di salah satu stasiun. ada hal menarik yang dikatakan seorang pembawa acara di akhir acara. redaksinya kira-kira sebagai berikut seingat saya, maklum masih rada ngantuk. namanya juga Minggu pagi. hehe.

“enggak enaknya dari liburan itu pada akhirnya waktu kita sudah harus pulang. waktunya kembali ke kehidupan. rutinitas, kantor, ketemu orang-orang lagi seperti biasa…”

saya ingat tadi saya berhenti menyeruput kopi dan memandang ke layar televisi. kemudian kepikiran, bahwa ungkapan demikian mungkin memang ada benarnya untuk sebagian banyak pemirsa. bahwa termasuk hal tidak enak dari liburan itu adalah ketika harus kembali ke berbagai tanggung jawab dan konsekuensi yang sudah menunggu di kehidupan nyata.

tapi apa iya harus seperti itu?

 

liburan, liburaaaaannn~! …lalu? 

 

saya sering menemukan pendapat bahwa pergi liburan —dalam konteks berwisata, maksudnya— cenderung dimaknai sebagai upaya eskapisme atau setidaknya dalam konteks ‘melarikan diri sejenak’. kalau sambil iseng kita coba perhatikan kata-kata yang umum dalam konteks tersebut, istilah seperti ‘getaway’ atau ‘escapade’, keduanya dalam bahasa Inggris, juga memiliki nuansa yang serupa.

bukan hal yang aneh juga. saya kira adalah kesepahaman umum bahwa pergi liburan bisa dianggap sebagai upaya melarikan diri atau setidaknya mengambil jarak serta menjauhkan diri.

tapi, dari apa?

kalau seperti itu, kesannya kok seolah kehidupan yang biasa kita tinggali rasanya demikian kurang pas, sampai-sampai harus ditinggal pergi dan ketika kembali juga rasanya tidak ingin benar. sebagiannya ini menjadi hal yang agak sulit saya pahami; bukan masalah pergi liburannya, tetapi justru ketika pulang dengan hati yang enggan itu jadi sesuatu yang seolah dianggap wajar.

seorang teman baik saya pernah mengatakan bahwa hal menyenangkan itu kalau kita bisa pergi liburan ke tempat yang menyenangkan, dan ketika kembali pun kita berada di rutinitas yang sama menyenangkannya. apakah kita bekerja sebagai pengelola restoran atau karyawan kantoran, atau pegawai negeri maupun bisnis sendiri. tentu saja ini bukan hal yang mudah dilakukan, karena kalau demikian tentu dunia sekitar kita sudah menjadi tempat yang lebih baik dan cerah ceria. tapi baiklah, itu cerita lain untuk saat ini.

 

kembali ke acara televisi Minggu pagi. mendengar kata-kata tersebut jadi semacam menyalakan lampu di kepala saya: mungkin itu juga alasan kenapa saya tidak benar-benar sering memerlukan untuk banyak pergi berlibur.

karena, ya, saya sendiri tidak merasa ada sesuatu yang benar-benar ingin saya tinggalkan dari kehidupan dan kesibukan berikut semua tanggung jawab sekarang ini. jadi keinginan untuk pergi dan meninggalkan sejenak itu tidak benar-benar besar juga. walaupun bahwa pada dasarnya proses ganti suasana dari waktu ke waktu itu tetap merupakan hal yang perlu, saya sendiri tidak menafikan soal itu.

pada saatnya nanti mungkin saya akan pergi liburan lagi. belum tahu, belum ada rencana juga sih.

tapi kalau kita bisa pergi dengan senang, liburan dengan tenang, dan ketika pulang kita kembali siap untuk sesuatu yang kita karyakan, bukankah akan lebih menyenangkan, ya.

saya kira demikian. walaupun mungkin memang tidak semua bisa seberuntung itu.

 

___

image notes:

Gili Air, 2014. [→high resolution] · Nikon D5100 @ 18 mm; ISO-200, F/11, 1/500 s.
bebas pakai dengan lisensi Creative Commons, CC-BY-SA.

Leave a Reply