ku

“we all do what we can. protecting little shards of innocence, in a grey grey world.”

_

. . . anak itu selalu bersikap seolah dia tidak punya banyak waktu.

dia menuntut tempat. dia menggedor-gedor. dia berlari sekencang yang dia bisa. dia tahu dia akan cepat habis. dia tidak peduli.

“masalahku adalah aku tak bisa terlalu sabar,” katanya, dengan pandangan muram sambil mengikat tali sepatu. “mungkin bakat keluarga. umur ayah dan kakek-kakekku tak pernah panjang.”

bukan berarti kau akan cepat mati juga kan itu, kataku.

“mungkin akan. aku tak peduli-peduli amat juga. aku cuma perlu melakukan semua yang aku bisa, semua yang aku perlu. semuanya sebelum itu.”

kalau waktunya tak cukup?

“itu masalahnya. sekarang kau paham, kan.”

.

kau tahu hal yang menyebalkan, katanya. kalau kita sadar tidak punya banyak waktu sementara orang-orang kelihatan seperti membuang-buangnya, rasanya menyebalkan betul.

“aku pernah punya sejarah buruk soalnya.” dia berkata. “paru-paruku. anggap saja mesinnya pernah rusak. rasanya tidak terlalu enak.”

kukatakan bahwa itu sepertinya bukan hal yang bisa mudah dipahami banyak orang. dia hanya angkat bahu.

aku menunggu dia melanjutkan.

“waktu itu aku masih kuliah. jadi anak kos. malam-malam, sendirian, mungkin dini hari. waktu itu aku terbangun, rasanya seperti setiap tarikan nafas itu sia-sia. kemudian kepala pusing. pandangan berkunang-kunang. kemudian aku terpikir: ya Tuhan, sepertinya aku kekurangan oksigen. ya sudahlah.”

“kurasa aku sedikit takut. waktu itu yang terpikir, ‘oh iya, sudah mau minggu UTS’. bodoh benar. waktu itu dini hari, dan aku sampai tertawa sendiri saking ironisnya.”

dua pekan dirawat, katanya, setelah menyeret diri (dan ternyata masih hidup) keesokan harinya. dua per tiga paru-paru ditemukan sudah terendam oleh produksi cairan berlebih atau apapun itu yang akhirnya harus dialirkan keluar lewat punggung.

ditusuk, katanya. dengan muka datar.

.

dia merapikan kacamatanya. belakangan ini dia beberapa kali mengatakan sisi kanannya agak buram. banyak tergurat, sepertinya. mungkin sudah waktunya diganti.

“sepatuku juga sudah mulai jebol lagi. kurasa aku juga belum ingin menggantinya. hal-hal seperti itu membuatku terpaksa berhenti, jadi memikirkan banyak hal. aku tak terlalu suka itu.”

sepatunya cuma sepasang, demikian juga kacamata hanya satu yang dipakainya. mungkin terkait kecenderungan untuk setia soal banyak hal, katanya. muram. entah itu hal yang baik atau buruk.

termasuk untuk hal-hal yang sedang dan akan dilakukannya.

“kalau aku bisa melakukan sesuatu yang sedikit bagus, mungkin meninggalkan sedikit sesuatu yang akan bertahan buat beberapa lama. buatku cukup.”

sebagian sudah. masih belum selesai. masih ada yang harus dilakukan. masih ada yang harus diselesaikan. entah seberapa banyaknya yang tersisa, dengan atau tanpa orang-orang lain di sisinya.

“kata mereka aku ini bocah idealis. kurasa aku cuma menemukan itu sebagai sarana untuk memberontak. mungkin bagus juga seperti itu.”

dia tak suka kalau tak melakukan sesuatu. dia ingin melakukan semua yang dia bisa selagi masih ada waktu. hal-hal yang, meskipun demikian, tidak selalu orang lain melihatnya seperti itu.

buat dia seperti itulah kenyataannya.

“dari dulu juga aku sering disalahpahami,” katanya sambil sekilas angkat bahu. “cuma sudah agak lebih terbiasa sekarang.”

.

kalau waktumu tak banyak, kau jadi tidak mau sembarangan. kalau bisa… kau ingin melakukan hal-hal yang berguna dan perlu. menyisihkan waktu untuk mereka yang berharga. menemukan cara untuk bisa bersama seseorang yang penting buatmu. kau tidak ingin lagi memikirkan batasan-batasan.

“setiap kali aku melihat orang-orang membuang waktu, menumpuk sesal sambil pelan-pelan kehilangan diri sendiri, rasanya sedikit sedih. aku tahu umurku tak akan panjang. aku tak mau seperti itu.”

“dengar. sekarang ini, untuk hidupku sendiri, aku bisa semuanya sendiri. dari dulu juga seperti itu. kalau tidak seperti itu, aku tidak akan bisa melakukan apa-apa.”

sekalipun harus semuanya sendiri. sekalipun mungkin akan kehabisan waktu.

“ada hal-hal yang harus kulakukan. ada tugas yang masih belum selesai. ada keinginan, tujuan… idealisme atau apapun itu kata mereka, yang masih harus kuselesaikan. kalau aku cuma diam saja, tak akan jadi apa-apa juga.”

dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengakhiri dengan dua kalimat;

“batas itu, seperti teman lama. aku cuma harus melakukan semua yang aku bisa sebelum itu.”

kemudian hening, lama. sudah waktunya berangkat lagi.

dia tidak akan berlama-lama berhenti. dia akan harus pergi lagi, berlari lagi, entah ke mana nanti semua itu akan membawanya kembali.

seperti meteor jatuh, barangkali. kuat, pijar, barangkali brilian, tapi tak akan lama. lalu habis terbakar. mati.

mungkin buat dia memang lebih baik seperti itu.

Leave a Reply