angkutan kota (di balik lima ribu rupiah saja)

“jangan biarkan orang baik gampang berbuat dosa, dek.”

_

saya adalah pengguna transportasi umum, dan saya merasa baik-baik saja dengan keadaan tersebut. sisi bagusnya setidaknya hal tersebut terjadi karena pilihan alih-alih keadaan —ngomong-ngomong saya sendiri tidak punya rencana mencicil mobil dalam waktu dekat— demikian juga bukan berarti saya jadi tidak pernah atau tidak biasa pergi dengan kendaraan pribadi.

sementara di sisi lain, saya kira mudah juga untuk merutuk-rutuk soal idealisme dan kenyataan bahwa agaknya semua orang ingin kota yang tidak macet dan jalanan lancar… walaupun apakah semua punya niat dan tekad untuk tidak sebatas ‘ingin’, yah, soal itu saya serahkan saja ke pembaca. baiknya kan tidak asal menghakimi, lagipula siapa sih saya.

baiklah, kembali ke lap— judul, terus apa hubungannya transportasi umum dengan selembar lima ribu rupiah?

gampang atuh, itu kan ongkos angkutan kota saya pulang ke rumah. hehe.

dulu bisa mengantar pulang. terus nggak bisa. terus bisa lagi. begini ceritanya.

 

anda pembaca mungkin ingat, beberapa waktu yang lalu sempat terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak. yang mempengaruhi besaran ongkos angkutan kota. yang kemudian harganya diturunkan kembali. dan diturunkan lagi… tapi agaknya tidak benar-benar mempengaruhi turunnya ongkos yang harus dibayarkan pengguna angkutan kota.

lho kok bisa begitu? tanya kenapa.

padahal logikanya kan begini: sebelum harga bensin naik, ongkos saya lima ribu rupiah. setelah harga bensin naik, ongkos saya naik. setelah harga bensin kembali ke level sebelumnya, ongkos saya…

seharusnya. kembali. ke. lima. ribu. rupiah. kan begitu?

baiklah, beberapa pembaca mungkin akan mulai berpikir bahwa saya adalah kelas menengah ngehe[1] yang memasalahkan satu-dua ribu rupiah demi mereka yang —kalau bisa disebut seperti itu— adalah ‘wong cilik’. orang kecil[2]. bahwa seharusnya saya dengan ringan hati membantu mereka, baiknya saya bersedia membayar mahal karena kebetulan saya mungkin lebih berkecukupan.

seandainya sesederhana itu. tapi sayangnya tidak. karena buat saya, ada sesuatu yang mendalam di sini.

saya mengasumsikan ibunya pak kopaja mendoakan anaknya bisa baik bahagia
alih-alih berubah jadi robot raksasa. sorry, can’t resist. →

 

ketika ongkos angkutan kota tidak mau turun, bukan cuma saya yang kena imbas. ada orang-orang lain, dari kelas sosial yang mungkin tidak seberuntung saya, yang juga terkena dampaknya. mas-mas yang kerja di pusat elektronik dan mengurus stok toko, atau ibu-ibu yang mengurusi administrasi dan akuntansi, demikian juga yang lain-lain sejenisnya. orang-orang yang, setiap hari perjalanannya, apabila ditambah dua-tiga ribu rupiah untuk bolak-balik, kelebihannya jadi tidak bisa digunakan untuk membeli lebih banyak sayur atau daging ayam dan barangkali susu bubuk.

sementara beban operasional angkutan kota pada dasarnya sudah kembali turun seiring dengan turunnya harga bahan bakar minyak.

saya percaya bahwa pada umumnya pak supir, kenek, dan juragan angkot adalah orang-orang yang setidaknya berusaha baik. pada umumnya lho ya. tapi dengan membiarkan ongkos tidak turun, ada semacam pembiaran di situ. pembiaran untuk berbuat zalim kepada orang-orang yang tidak selalu bisa, mau, dan ingin membela kebutuhan mereka sendiri. orang-orang biasa —seperti saya dan anda— yang mungkin memilih diam karena tidak ingin ribut, mungkin dengan sedikit takut, atau mungkin untuk alasan-alasan lain.

tapi ya apa bagus begitu, saya juga bertanya-tanya. bukankah dengan demikian keuntungan penyedia jasa dan angkutan —yang notabene tidak selalu jelas manajemennya— dialihkan ke beban pengguna umum. yang pada gilirannya akan teraniaya juga dengan beban biaya angkutan yang terakumulasi setiap hari sementara beban biaya tersebut seharusnya bisa lebih rendah.

 

atau moda transportasi murah! landak, landak, naik balonn… #krik

 

‘jangan biarkan orang baik gampang berbuat dosa’. demikian pesan yang selalu saya ingat.

karena di balik tambahan dua-tiga ribu rupiah setiap harinya, ada upaya perbaikan kelas sosial yang menjadi lebih sulit untuk mereka yang mencoba bekerja baik dan jujur. karena ada sesuatu yang salah sekali kalau sampai lebih murah dan lebih efisien buat mereka yang pas-pasan untuk mencicil sepeda motor dan mengisi premium untuk transportasi sehari-hari. karena ketika semua orang ingin punya sepeda motor dan mobil sendiri, tidak ada yang untung dengan ruas-ruas jalan yang tak akan berkurang kemacetannya.

walaupun, sedihnya, agaknya keadaan di sekitar saya saat ini memang cenderung mengarah ke sana.

oleh karena itu, ketika perlu berurusan dengan angkutan kota di tempat saya, belakangan ini saya memutuskan untuk selalu membawa uang pas saja. lima ribu rupiah. kalaupun pak supir meminta lebih, saya katakan bahwa biasanya pun saya membayar sejumlah demikian untuk jarak yang serupa. apakah membantu juga bahwa saya termasuk warga yang sudah lewat dari dua puluh tahun lalu-lalang menggunakan angkutan kota di tempat saya, mungkin bisa jadi juga.

demikian juga ketika suatu saat, barangkali dalam salah satu perjalanan yang sesekali kita semua mengalami;

“kalau sampai ujung, ongkosnya berapa, dek?”

“saya sih biasanya lima ribu. tapi uang pas saja, bu. takutnya nggak ada kembalian.”

saya kira seperti itu.

tidak selalu harus semuanya dengan konfrontasi. walaupun mungkin sesekali perlu. di sisi lain kadang saya bertanya-tanya juga; ada tidak ya, sesuatu lain, yang lebih, yang bisa saya lakukan soal ini…

karena, bagaimana, ya. buat saya, soal transportasi dan angkutan kota ini memang bukan cuma soal dua, tiga, atau lima ribu rupiah saja.

 

 

___

[1] saya tidak suka argumen ini. ini argumen yang mungkin ingin terdengar cerdas, tapi sayangnya prematur dan punya sesat logika berupa straw man argument.

[2] kalau mau sama-sama jujur dan adil, argumentasi ‘wong cilik’ dan ‘kelas menengah ngehe’ ini sama-sama sesat logika ala straw man. kalau semua sama-sama mau benar, ya sulit.

[3] image credits:

tentang sama, tentang beda

“sudah tahu nggak bisa, kenapa masih diterusin?”
“bisa, kalau mau!”

_

hidup sebagai bagian dari budaya Indonesia, dengan segala kemajemukannya, sering menyimpan hal-hal kecil tidak terduga yang tidak selalu terpikirkan sampai kita berhadapan langsung dengannya.

seperti cabe rawit yang tergigit dalam piring nasi goreng, misalnya. atau jatuh cinta kepada gadis beda agama.

aduh.

BGM: love hurts~ love hurts~ loooove hurts~~ #plok

 

padahal, ya, kalau dipikir-pikir lagi, hal seperti sebenarnya semacam keniscayaan juga kalau kita hidup di Indonesia. contoh gampangnya, tetangga dekat rumah saya Manado-Kristen, di dekatnya lain Padang-Muslim, sementara anak-anak gadisnya sendiri tergolong… baiklah, tidak usah dibahas. belum lagi tetangga kelas sebelah, departemen sebelah… eh udah ah ini ngapain sih ngomongin tetangga. udah woy, udah.

begini. saya tidak ingin menulis tentang hal seperti ini dengan terpaku kepada dasar-dasar humanisme atau toleransi yang jamak pada media sosial belakangan ini. rasanya kurang adil juga kalau semua-semua hanya dari satu sisi. bagaimanapun, saya seorang muslim, dengan didikan yang —walaupun tidak sampai dikirim ke Kairo apalagi sampai ditaksir dua orang gadis semacam mbak Rianti dan mbak Carissa— setidaknya bukan kosong benar. hah, kalau saja saya bisa dapat beasiswa ke Kairo juga mungkin kaliber saya jadi cukup tinggi untuk jadi tokoh utama harem manga novel dakwah yang kelihatannya hebat benar, tapi baiklah, itu cerita lain untuk saat ini.

bicara soal hubung-hubungan antarumat beragama di Indonesia, dari dulu juga adalah hal yang gampang-gampang susah. dalam konteks kemasyarakatan, berhubungan baik antar anggota masyarakat, atau teman sekolah, atau rekan kerja yang berbeda keyakinan adalah hal yang memang pada dasarnya saling wajar dan kita semua saling membutuhkan.

lagipula, Bhinneka Tunggal Ika! berbeda-beda tetapi satu jua, kita mungkin berbeda tapi aku sayang kamu juga.

 


apalagi sekarang Natal. selamat merayakan Natal, kamu! 

 

masalahnya adalah ketika ranah hubungan sosial tetangga/sekolah/profesional ini beranjak ke tahap romansa, ini menjadi masalah yang berbeda. dan kompleks. repotnya pula kadang keadaan-keadaan yang ajaib ini malah menjauhkan yang satu agama lebih daripada mendekatkan yang berbeda keyakinan. kan susah.[1]

jadi, ya, saya paham bahwa hal seperti ini bukan sesuatu yang sepenuhnya sederhana.

“sebagai muslim, menikahi gadis ahli kitab bukan termasuk zina,” kata saya. “di masa sahabat dan Khulafaur Rasyidin[2] juga banyak yang seperti itu.”

“ya memang. tapi kamunya sendiri bisa nggak membimbing dan membawa dia syahadat?”

“aku nggak mau kayak begitu!”

waktu itu saya pikir, sedikitnya saya paham dasar-dasar hukum munakahat (= ‘pernikahan’), walaupun tidak sampai mendalam benar. tapi setidaknya saya kira-kira paham batas-batas mana yang masih dalam koridor.

walaupun memang ada sekat. kesadaran bahwa ada hal-hal yang pada dasarnya tidak sama benar. dan tidak bisa tidak, perbedaan itu akan selalu ada.

sementara hal seperti ini juga tidak bisa cuma dari satu sisi. ada banyak sisi, yang masing-masingnya juga tidak sederhana benar, dan mau tidak mau tidak bisa diabaikan juga.

demikian pula ada juga hal-hal yang juga tidak bisa disangkal: keluarga lama, calon keluarga baru, komunitas dan masyarakat, lengkap dengan berbagai sudut pandang dan penafsiran-penafsiran yang melingkupinya.

seorang rekan yang kebetulan juga tergolong ahli kitab[3] pernah menyodorkan sebuah pernyataan yang masih saya ingat dengan baik.

“sebagai Kristen, kalau seorang gadis ditanya, ‘bagaimana kamu akan bisa mencintai seseorang yang bahkan tidak mau mengenal Kristus?’ itu nggak sederhana.”

kemudian saya pikir, memang bukan hal yang sederhana. ada isu yang mendalam di sini. tentang iman, keberserahan, tentang ide-ide serupa namun dengan ketidakcocokan yang inheren.

“susah kalau beda. pengen bisa beribadah bareng. melayani Tuhan.”

demikian seorang rekan yang lain, seorang gadis sempat mengutarakan pemikiran yang lebih sederhana. dan, ya, apa yang bisa disangkal soal itu?

“waktu itu bapak bilang, ‘terserah kalau kamu mau lanjut. tapi bapak nggak bisa jadi wali buat kamu’. dia nggak kelihatan marah atau gimana, tapi ya memang susah, sih.”

demikian seorang gadis yang lain, kebetulan pernah menjalin hubungan cukup lama dengan pasangannya yang berbeda keyakinan. entah kenapa ketika mendengarnya saya membayangkan seorang ayah yang tidak bisa bersikap tidak setuju secara antagonis. mungkin dengan demikian sayang kepada anak gadisnya.

 

saya tidak akan mempertanyakan atau menggugat banyak hal sebagaimana banyak rekan-rekan lain yang masih senang berdebat di media sosial. misalnya bahwa penafsiran agama harus dikonstruksi ulang terhadap semangat zaman (saya tidak sepenuhnya setuju), atau bahwa agama mempersempit ruang gerak manusia dan menghasilkan kaum fanatik (ini pernyataan sama kurang masuk akalnya), atau bahwa konstruksi sosial masyarakat sekarang ini tidak masuk akal dan pada dasarnya orang-orang terlalu ikut campur atas hak individual (ide yang terlalu mentah untuk bisa saya terima).

kenyataannya isu seperti ini ada, dan valid. dan ini bukan cuma tentang keyakinan sebagai konsep spiritual.

 

kok jadi serius ya. baiklah, ini ada gambar kucing. biar santai. hehe.

 

jadi bagaimana?

seumur hidup saya (yang belum lama-lama amat ini), sejak kecil saya terbiasa dituntut membuat keputusan. dari soal ditanya ayah dan ibu tentang mau beli buah apa di swalayan sampai keputusan-keputusan setelah dewasa di tempat kerja, saya terbiasa untuk memutuskan dan menggunakan keputusan saya secara logis. maksudnya, kalau saya bilang ke ibu bahwa saya mau alpukat daripada pepaya, atau pilih dibelikan buku pengetahuan dua buah daripada komik satu eksemplar (karena dapatnya lebih banyak sih), itu kan keputusan juga.

di satu sisi, buat saya, spiritualitas adalah hal yang penting. demikian pentingnya sehingga buat saya ini adalah perjalanan yang sifatnya personal benar. bahwa saya sekarang ini adalah seorang muslim yang cukup taat, itu adalah konsekuensi dari spiritualitas yang menjadi pilihan saya. hal serupa juga berlaku untuk rekan-rekan yang lain, apapun keyakinan masing-masing. setiap kami punya perjalanan sendiri, dan tidak seorangpun berhak menuntut yang lain untuk bersedia dipilihkan jalan.

di sisi lain, dengan segala pengalaman tuntutan kepada saya untuk membuat keputusan-keputusan logis, ada satu hal yang tidak ingin saya korbankan benar. sehingga ketika ada saatnya saya memutuskan untuk mengikuti kata hati saya, dengan atau tanpa pertimbangan-pertimbangan logis yang menyertainya, saya tidak ingin tanggung-tanggung.

walaupun mungkin tidak mudah. atau mungkin malah susah. atau bahkan dengan segala komplikasinya. tapi memang, pada dasarnya ini sesuatu yang tidak pernah logis. tidak buat saya, tidak juga buat orang lain.

sesederhana dua kata yang tidak pernah terungkapkan:

“marry me.”

walaupun, ya, kadang ketika berjalan-jalan sendiri di pusat belanja, turun dari lift keluar tempat kerja dan melihat pohon Natal berkelip-kelip cantik, satu dan lain hal kemudian terpikir: “iya ya…”

agaknya akan selalu ada semacam keinginan yang tidak rela benar. tapi entahlah, mungkin saya cuma agak terlalu keras kepala.

 

 

___

footnote:

[1] ini sering jadi argumen ateisme modern bahwa agama tidak dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. saya tidak pernah setuju, tapi saya juga tidak tertarik debat kusir dengan dengan pemula yang baru belajar dari Dawkins atau Sagan. tambah ilmu dulu sana. :mrgreen:

[2] periode awal kepemimpinan muslim setelah Muhammad, sekitar abad ke-7 Masehi; secara berturut-turut Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

[3] dalam terminologi Islam, ‘ahli kitab’ adalah sebutan untuk penganut lain dari rumpun agama Abrahamik; Isa/Yesus dengan Alkitab, Musa/Moses dengan Taurat, keturunan penganutnya dikenal sebagai ahli kitab.

[4] image credits:

tentang debat, dan sedikit teknik

saya tidak suka berdebat. sungguh. mungkin karena dasarnya saya orang teknik, jalan pikiran saya kurang-lebihnya jelas: ada premis yang jadi pijakan, ada proses berpikir yang runut, dan ada tujuan akhir yang diperoleh dari penalaran dan analisis. jadi pada dasarnya, saya tidak terlalu suka konsep ‘debat’ di mana dua pihak saling mempertentangkan ide dan saling mengalahkan di arena debat.

walaupun ya bukan berarti hal-hal seperti ini jadi tidak perlu. untuk beberapa hal, kadang ada juga ide-ide yang terpolarisasi dan mau tidak mau jadinya diperlukan debat. dan pada dasarnya, itu juga tidak masalah: debat yang dilakukan dengan sehat itu kan makanan yang bagus buat pikiran?

sisi lain dari tulisan ini sebenarnya juga terinspirasi dari rangkaian acara debat kandidat calon presiden untuk pemilihan yang akan segera berlangsung di Indonesia. tentu saja untuk menjaga tulisan ini tetap nonpartisan, perlu diperhatikan bahwa kemiripan terhadap contoh yang ada pada tulisan ini tidak serta-merta menyatakan sikap saya sebagai penulis untuk mendukung atau tidak mendukung salah satu pihak.

after all, it’s for the science!  \o/

 

1. kenapa debat?

pertama-tama, mari kita berangkat dari tujuan utama sebuah acara debat kandidat yang dihadiri pemirsa. anda sebagai peserta, memiliki dua tujuan utama:

a. menunjukkan bahwa visi, misi, dan pendapat anda lebih unggul daripada visi, misi, dan pendapat lawan
b. mengambil hati sebanyak mungkin pemirsa untuk setuju dengan anda

kedengarannya seperti hal yang serupa, padahal sebenarnya tidak sepenuhnya sama. pada bagian pertama, anda harus menunjukkan pendapat anda lebih unggul daripada pendapat lawan. masalahnya, kalau anda unggul terus kenapa? masalahnya adalah, sekalipun argumen anda solid dan hebat, belum tentu pemirsa akan suka dengan cara anda memenangkan debat!

sebentar, ini jadi membingungkan, jadi mari kita telusuri pelan-pelan.

di sini, debat adalah media komunikasi dengan dimensi yang unik: pertama, komunikasi personal —anda sebagai seorang kandidat terhadap kandidat lawan (lawan, ‘opponent’, bukan musuh, ‘enemy’ lho ya). kedua, komunikasi massa —anda sebagai kandidat terhadap banyak pemirsa yang menyaksikan anda.

jadi, ada dua dimensi komunikasi, dengan dua tujuan yang berbeda. dari kedua hal ini, beberapa pendekatan praktis bisa diturunkan.

 

2. offense: kapasitas lawan, kekuatan lawan

ada contoh yang menarik dari debat calon presiden kemarin, ketika salah satu kandidat menanyakan hal kira-kira sebagai berikut:

“bagaimana pendapat anda tentang […] dalam kapasitas anda sebagai menteri koordinator perekonomian dan ketua himpunan tani?”

ini contoh bagus dalam melakukan dua hal: pertama, dengan menggunakan kapasitas lawan sebagai kerangka referensi, anda menempatkan lawan dalam posisi yang harus membela diri dalam konteks yang sudah anda tetapkan. pada saat yang sama, anda mengingatkan —atau mengedukasi— pemirsa tentang atribut lawan yang menjadi dasar serangan anda. demikian juga anda bisa membangun follow up dan counterargument dari sana.

contoh, sekiranya lawan sudah menjawab pertanyaan dengan cukup baik, follow up bisa sebagai berikut:

“tapi kita melihat bahwa di sini [peran organisasi yang anda pimpin] terjadi kesenjangan… bahwa terdapat laporan terjadi… [masukkan data]”

perlu diperhatikan bahwa teknik seperti ini rawan sesat logika tu quoque, kalau keterusan bisa jadi straw man argument atau malah ad hominem, jadi gunakanlah dengan hati-hati.

 

3. defense: tentang keterlepasan emosi

ini hal yang berlaku umum, entah apakah anda sedang berdiskusi, atau rapat di tempat kerja, atau negosiasi. jadi bukan cuma soal debat. hal ‘berbahaya’ yang bisa anda lakukan adalah ketika anda menerima pernyataan atau pertanyaan tidak terduga, anda kemudian blank. secara psikologis, ini hal yang normal. tapi dalam konteks anda sedang berada di arena debat, hal tersebut sungguh tidak menguntungkan.

contoh bagus kemarin, kira-kira berikut, tentang silang-selisih penghargaan terkait pengelolaan tatakota:

“penghargaan Kalpataru itu memang bukan buat kota. yang buat kota itu Adipura!”

ketika pernyataan atau pertanyaan anda dipatahkan secara tidak terduga, reaksi yang normal adalah blank. kemudian panik mulai merayap. kemudian anda akan cenderung menanggapi secara agresif mengarah emosional. dan itu hal yang normal, bentukan evolusi kita memang seperti itu kok.

… atau kalau menggunakan istilah pemirsa awam, ‘yah, kepancing deh’ 😐

periode kritis di sini biasanya 3-5 detik setelah serangan tidak terduga dan anda harus merespon. tapi keadaan seperti ini bukannya tidak recoverable juga. salah satu teknik yang umum digunakan adalah dengan mengakui kesalahan, namun dengan tetap menekankan fokus, pressing the point.

kira-kira follow up yang mungkin:

“maaf, ada selisih salah ucap di sini. betul, secara konteks memang seharusnya Adipura. kesalahan kami, terima kasih. (senyum)

tapi kembali kita review, ternyata ibukota di bawah anda tidak juga memenangkan penghargaan… [tambahkan detail lebih lanjut]”

lebih gampang dibicarakan daripada dikerjakan, sih. dan berhubung ini efeknya psikologis benar, jadi memang sama sekali bukan hal yang sederhana.

 

4. humor! dan emosi negatif itu tidak baik buat anda

sedikit berhubungan dengan poin sebelumnya. dalam keadaan terdesak —baik itu konteksnya debat, adu argumen, maupun negosiasi— manusia cenderung merespon secara agresif. masalahnya, emosi negatif itu sungguh punya dampak yang buruk: pertama, anda jadi jauh lebih rawan terjebak sesat logika (ad hominem, misalnya), dan kedua, anda mempertaruhkan kesan yang dipersepsikan pemirsa yang menyaksikan penampilan anda.

di sisi lain, humor adalah teman anda. tentu saja bukan berarti anda jadi melawak di arena debat, salah-salah anda terlihat tidak kompeten. fokus pada komentar cerdas-singkat-humoris, witty remarks, kemudian kembali ke topik serius.

contoh berikut, dikembangkan dari contoh di poin sebelumnya:

“ya bagaimana, ya. pertanyaannya salah, bagaimana saya bisa jawabnya? (nyengir)

tapi baiklah, dengan konteks yang sudah diperbaiki tadi. ada banyak dimensi dalam tata kelola kota, di mana penghargaan itu meliputi penilaian pada satu waktu. kita perlu melihat juga bahwa di kota-kota lain … [teruskan dengan argumen lebih lanjut]”

ingat kembali bahwa komunikasi anda memiliki dua dimensi: komunikasi personal, antara anda dan lawan debat, dan komunikasi massa, anda dengan pemirsa.

ngomong-ngomong, penggunaan humor yang tidak cerdas bisa jadi menyeret anda ke sesat logika model non sequitur, jadi kembali seperti sebelumnya, gunakan dengan hati-hati.

 

5. appeal to emotion

ini bukan tentang sesat logika yang itu, walaupun nantinya sedikit terkait. tapi kembali kepada tujuan anda di awal debat, penampilan anda dinilai oleh pemirsa… yang juga manusia. dan tidak ada seorangpun manusia yang selalu kebal dari sesat logika tanpa pertimbangan emosional, termasuk saya.

baiklah, andaikan anda punya argumen yang solid dan anda bisa menghajar pendapat lawan habis-habisan. katakanlah, anda menang debat. mungkin benar begitu, baguslah. tapi, bagaimana pemirsa akan menanggapi penampilan anda?

‘ah, saya sih nggak suka, orangnya arogan banget. pinter sih pinter…’

jangan jadi orang seperti itu. hargai lawan anda, hargai diri anda. anda ini kan cuma sedang debat, bukan pergi perang! perhatikan perasaan orang-orang lain yang bukan anda, ingat kembali dua tujuan awal anda berada di arena debat.

perlu dibedakan antara menjaga penilaian emosional terhadap anda dengan berargumen memanfaatkan keterikatan emosional. teknik ini membuat anda rawan terjebak sesat logika appeal to emotion, khususnya ketika anda jadi terlalu memikirkan bagaimana kemungkinan penerimaan pemirsa terhadap argumen anda.

 

6. ‘saya setuju dengan pendapat anda…’

salah satu hal yang agak saya sayangkan dari salah satu kandidat debat calon presiden yang baru lalu adalah, bahwa agaknya beliau terlalu mudah setuju terhadap kandidat yang jadi lawan debatnya. argumennya, ‘kalau memang benar, ya kita harus dukung!’

saya tidak mengatakan itu salah. secara keilmuan, kalau sesuatu itu benar, ya sesuatu itu benar. tapi yang seringnya agak kurang dipahami, adalah bahwa tidak selalu menyatakan kesetujuan itu berakibat kita menjadi kehilangan pesan yang kita bawa. tidak harus seperti itu.

salah satu teknik yang bisa digunakan meliputi pernyataan kesetujuan, conceding the point, kemudian kembangkan dari ide dasar yang disetujui bersama. contoh berikut, diadaptasi dari topik tentang ekonomi kreatif:

“ide dan pendekatan dari bapak tentang ekonomi kreatif— sejujurnya orisinil, dan untuk poin tersebut, memang keunggulan tersendiri dari sudut pandang bapak. tetapi perlu diperhatikan, ekonomi kreatif adalah… ekonomi baru, new kind of economy. yang tidak bisa didekati dengan cara tradisional. saya melihat ada yang bisa … [elaborasi lebih lanjut]”

ide dasarnya di sini adalah, tidak apa-apa setuju dengan lawan debat anda. itu bukan hal yang buruk kok. tapi jangan sampai jadi seolah kita tidak memiliki pesan yang kita sampaikan. it’s okay to agree —but you have to own the message.

 

penutup: saya tidak suka berdebat. tapi…

sebenarnya, masih banyak pendekatan dan teknik lain yang bisa digunakan untuk hal-hal seperti ini. pun sebagaimana saya sebutkan di awal tulisan, saya tidak suka berdebat, dan dengan demikian tulisan ini tidak membuat saya jadi kredibel soal menjadi pendebat yang unggul.

tapi ada hal menarik yang bisa ditarik dari sini, bahwa pada dasarnya kegiatan ‘debat’ itu sendiri, apabila dilaksanakan secara sehat, bisa menjadi makanan yang baik untuk pikiran banyak orang, baik yang menjalani debat maupun pemirsa yang menyaksikan debat tersebut. juga bahwa konteks debat di sini pada dasarnya adalah komunikasi dengan dimensi yang unik: ada komunikasi personal, ada komunikasi massa, dengan berbagai teknik yang bisa diturunkan dari dalamnya.

dari saya sih, tulisan ini cuma soal teknik dan cara komunikasi yang saya observasi. tidak lebih dan tidak kurang. 😉

ah, teori!

kali ini, saya sedang ingin menulis tentang sesuatu yang sudah agak lama menunggu dalam pikiran saya. tidak mengganggu sih. tapi berhubung saya sering bersinggungan dengan kontradiksi terkait teori dan praktek dan dikotomi yang meliputinya (kamu ngomong apa sih yud?), maka jadilah topik kali ini untuk tulisan kali ini.

teori. praktek. ah, sebenarnya bagaimana sih ini?


“in theory, there is no difference between theory and practice. in practice, there is.”

 

sedikit anekdot, sedikit pengantar

beberapa waktu yang lalu di tempat kerja, saya memberikan beberapa kopi bahan untuk dipelajari seorang rekan dalam tim. sebenarnya kalau dibilang seperti itu juga bukannya saya mengajar juga sih, kira-kira ini lebih ke arah persiapan sebelum mulai engagement dalam pekerjaan berikutnya.

topik saat itu tentang pendekatan untuk pengembangan perangkat lunak untuk pekerjaan yang baru akan dimulai. kebetulan anak ini seorang gadis support engineer, sedikit junior di bawah saya, jadi suasananya relatif santai.

“kalau aku sebenernya nggak suka kebanyakan teori sih,” katanya. “langsung praktek aja kalau bisa.”

saya ingat saya sedikit mengangkat alis. bukan kenapa-kenapa, tapi berhubung saya juga sudah cukup sering mendengar ungkapan senada dari lebih cukup banyak orang, jadi bagaimana, ya.

“bisa sih kalau mau langsung,” kata saya. “tapi ini sesuatu yang jangka panjang, jadi mending belajar dulu konsepnya. kalau ditanya ‘bisa apa enggak’, bisa. banyak orang langsung mulai, tapi pemahamannya keropos. jadinya nggak bagus. susah juga.”

setelahnya saya sedikit cerita bahwa cukup banyak pengembangan perangkat lunak yang dikembangkan secara serabutan, dan bagaimana hasilnya jauh dari sempurna dan sering malah tidak selesai, dan bagaimana kami tidak perlu melihat jauh-jauh untuk menemukan contoh yang, kalau menurut saya, ‘kekurangberhasilan yang tidak perlu’. di sekitar kami juga banyak kok.

bukan karena teori itu jadi serba sempurna dan harus selalu diikuti, kata saya. tapi kalau fondasinya saja nggak bagus, kita nggak akan bisa menghasilkan sesuatu yang berkualitas.

setidaknya, demikian yang saya coba ungkapkan. entah apakah ini sesuatu yang bisa dengan mudah dipahami atau tidak, sih.

setelahnya, mau tidak mau saya jadi kepikiran juga.

 

dilema ‘teori’ dan ‘praktek’

sejujurnya, kadang ini sedikit dilema buat saya.

di satu sisi, saya paham bahwa kemampuan abstraksi dan dasar teoretis dalam pekerjaan teknik adalah hal yang seringkali dianggap ‘buang-buang waktu’. tapi di sisi lain —dan ini sesuatu yang sudah saya lihat, dengar, dan alami sendiri— dalam pekerjaan yang sifatnya teknik, tidak banyak hal yang lebih berbahaya daripada implementasi dengan pemahaman yang keropos dan setengah-setengah.

contoh, misalkan saya seorang arsitek. ada dasar ilmu bagaimana aliran pipa harus dibangun, berapa kemiringannya, kenapa seperti itu. ada saatnya kita harus menggunakan fondasi tipe tertentu, desain seperti apa yang optimal secara jumlah material per harga. itu bukan sesuatu yang bisa sembarangan diabaikan.

demikian juga kalau misalnya saya seorang insinyur mesin, saya tidak bisa sembarangan memutuskan bahwa baut roda bisa dikurangi satu atau bahwa saya bisa sembarangan memasang jumper pada aki mobil. saya tahu cara seperti itu akan bisa membuat mobil berjalan, tapi kan jadi berbahaya!

menurut saya, ini termasuk hal-hal yang membedakan antara tukang dan arsitek, atau montir dan insinyur. bukan berarti salah satu jadi lebih tidak penting, tapi bahwa untuk setiap pekerjaan yang sifatnya teknik, betapapun pragmatisnya, ada pakem dan teori yang tidak bisa sembarangan diterapkan tanpa pembelajaran secara serius. ada dasar pengetahuan yang dibentuk dari pengalaman-pengalaman orang lain, sehingga menjadi teori yang bisa diuji dan direplikasi.

walaupun, ya, memang mudah sekali untuk mengabaikan hal tersebut demi sebuah asumsi: ‘ah, yang penting ini bisa jalan dulu!’

 

jadi, sebenarnya ‘teori’ itu apa sih?

seorang dosen di mata kuliah Manajemen Proyek dulu dengan ringkas mengungkapkan sudut pandangnya sebagai berikut.

“betul, pengalaman itu adalah guru terbaik. orang-orang cerdas belajar dari pengalaman. tapi lebih baik lagi kalau kita bisa belajar dari pengalaman orang lain.

teori itu kan pengalaman-pengalaman orang, bertahun-tahun, terkristalisasi jadi bidang ilmu, sehingga bisa kita terapkan.”

sebagai seseorang yang dulu berpendapat bahwa ‘apapun bisa dilakukan kalau kita tahu caranya’, mau tidak mau omongan tersebut membuat saya sedikit terperangah. soalnya, ya, benar juga sih. sudah ada orang-orang yang lebih dulu mencoba, sudah ada hasilnya, sudah diketahui pendekatan mana yang lebih sering berhasil dan mana yang kurang sering berhasil, kenapa juga tidak berkaca dari pengalaman yang sudah ada?

kalau kita bicara sains (dan teknik sebagai turunannya), sebuah teori baru bisa dianggap teruji kalau bisa direplikasi. diulang-ulang, ditemukan polanya. teori itupun bisa diperbaiki dan dimodifikasi sekiranya ada pola baru yang tidak sesuai, demikian proses pengujiannya juga tidak bisa asal-asalan. sehingga dengan demikian, proses bertindak kita terbentuk dengan mengikuti kaidah-kaidah yang selalu mengalami proses uji dan evaluasi.

tentu saja ini membawa kita ke masalah berikutnya…

 

tapi kan nggak semua teori itu bisa diterapkan!

pada dasarnya, hal ini memang jawabannya sederhana: ya memang seperti itu. bahwa ada perbedaan antara teori dan praktek, semua orang juga tahu. secara ringkas, kita semua juga paham: “in theory there is no difference between theory and practice. in practice, there is!”

tapi di sisi lain, justru karena yang namanya teori itu tidak bisa diterapkan semua, makanya perlu dipahami. kenapa seperti itu? karena ketika kita bisa memahami dasar ilmu atau landasan teori secara komprehensif, kita bisa dengan mudah memilah-milah mana yang bisa diterapkan dan mana yang tidak, dengan trade-off dan resiko untuk masing-masing keputusan.

contoh sederhananya begini. dalam teori pengembangan perangkat lunak, misalnya, yang namanya pengujian (= ‘software testing’) itu hal yang mutlak harus dilakukan. secara ideal, ada dokumen-dokumen yang dibuat, ada langkah-langkah yang jelas diperlukan, ada banyak teknik dan pendekatan. tapi ketika dihadapkan dengan keadaan di lapangan, tidak selalu bisa dilakukan. ada kendala resource terbatas, tenggat waktu yang ketat dan sebagainya. lantas apa berarti sebuah perangkat lunak tidak perlu diuji? ya tidak bisa juga.

oleh karena itu, ada keputusan-keputusan yang harus diambil. seperti apa syarat minimal kualitas yang dibutuhkan? bisakah dikurangi di sini atau di sana, resikonya apa? kalau misalnya saya mengembangkan perangkat lunak untuk reaktor nuklir, mau tidak mau saya akan harus melakukan pengujian secara tuntas. resikonya terlalu tinggi! tapi kalau misalnya saya sebatas membuat perangkat lunak yang tidak mission-critical, resiko sampai batas tertentu bisa ditoleransi.

di sini, fondasi yang solid tentang dasar ilmu seorang insinyur atau dokter, misalnya, akan memudahkan pengambilan keputusan tentang mana yang harus dikorbankan, mana yang bisa ditinggalkan, sebesar apa resiko yang mungkin timbul dengan pilihan tidak ideal yang akan diambil. jadi ada semacam disonansi di sini, bahwa semakin seseorang paham akan landasan keilmuannya, semakin dia bisa paham kapan dia bisa bertindak tidak sesuai teori atau tulisan di buku.

karena, ya memang benar, teori itu tidak selalu bisa untuk semua keadaan. sederhananya sih, kalau menurut saya, anda baru bisa dianggap paham teori kalau anda tahu kapan harus melanggarnya.

nah, bingung kan? coba baca lagi makanya. :mrgreen:

 

jadi?

teori itu penting. praktek itu penting. hasil itu penting.

tapi kalau ditanya apakah jadinya sesederhana ‘kalau paham teori dan bisa mempraktekkannya, hasilnya akan bagus’, ya belum tentu juga. manusia punya keterbatasan, makanya pengalamannya juga terbatas, makanya ilmu pengetahuan juga terbatas. tapi setidaknya, ada resiko-resiko yang bisa diminimalisir, ada metode yang terstruktur sehingga kita bisa mendapatkan hasil yang lebih terukur. jadi, kemungkinan berhasilnya juga lebih tinggi, seperti itu kira-kiranya sih.

bottom line-nya, teori adalah pengalaman-pengalaman orang lain. praktek adalah pengalaman-pengalaman kita sendiri. tidak selalu pengalaman orang sesuai pengalaman kita, tapi seringnya, hampir selalu ada yang bisa dipelajari dari pengalaman orang-orang yang sudah berhasil duluan.

jadi dengan demikian, kita tidak perlu bingung dan muter-muter di jalan yang sama lagi, gitu lho.

tapi kenapa? (tentang bima satria garuda)

seperti biasa, Minggu pagi ini saya duduk di depan TV untuk nonton Bima Satria Garuda. agak lebih spesial karena pekan ini adalah finale setelah berjalan selama setengah tahun, dan kemudian setelahnya saya jadi kepikiran.

‘kenapa sih saya suka nonton Bima?’

Bima Satria Garuda. images and characters courtesy of RCTI, Ishimori Production.

dipikir-pikir lagi, iya, kenapa ya?

saya tidak bisa bilang bahwa visual serial ini bagus luar biasa, saya tidak bisa bilang bahwa jalan cerita film ini hebat dan tidak terduga, saya tidak bisa bilang bahwa akting dan dialog sepanjang serial bagus dan merata, saya tidak bisa bilang bahwa serial ini lepas dari momen-momen yang beberapa kali membuat saya meringis di depan televisi.

tapi saya suka nonton Bima. entah kenapa.

mungkin saya suka konsep pahlawan yang bisa berubah wujud. di mata saya, duo Satria Garuda Bima dan Azazel itu keren.

mungkin saya suka soundtrack-nya. saya menganggap lagu Seperti Bintang-nya Ungu itu catchy dan enak didengar.

mungkin saya suka koreografi untuk film ini. senang rasanya melihat adegan pukulan, tendangan, bantingan dibuat dengan sungguh-sungguh.

mungkin saya suka bahwa ada sekelompok orang yang tidak suka melihat siaran televisi di Indonesia seperti itu-itu saja, kemudian memutuskan untuk membuat sesuatu yang baru.

mungkin saya suka bahwa ada orang-orang yang bekerja keras, dan dengan segala kekurangan dan keterbatasan bisa menghasilkan tontonan yang menghibur.

mungkin saya suka bahwa Bima, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, di mata saya tampak seperti pernyataan sederhana: ‘kalau mau, kita bisa!’

atau mungkin memang tidak perlu banyak alasan. tapi apapun itu, saya tidak bisa tidak mengapresiasi kerja keras tim produser, sutradara, pemain, semua pihak yang terlibat dalam Bima.

salut!

tentang kita dan budaya penonton

mungkin saya perlu bilang bahwa jalan-jalan di lapak sebelah yang berlogo burung biru itu tidak selamanya baik untuk inteligensi dan kenyamanan serta kesehatan jiwa. terutama kalau ada pembahasan mengenai acara populis dan merakyat semacam pencarian bakat dengan faktor X di TV. atau idola Indonesia. atau apapun yang terkait performa di layar kaca. demikan dan sejenisnya, kira-kiranya anda paham maksud saya.

kemarin saya lewat di depan televisi dan adik Fatin —bukan sok akrab, sungguh, tapi anak itu memang lucu sih— menjadi juara di acara X Factor. tentu saja bukan berarti mbak Novita —juga bukan sok akrab, sungguh, lagipula saya kan lebih muda— yang menjadi finalis lain itu kualitasnya jadi buruk. lagipula saya suka melihat keduanya, penampilan mereka di layar kaca sesungguhnya tidak buruk-buruk amat jadi ya begitulah…

eh, sebentar, X Factor itu apa sih? kenapa saya jadi ngomongin hal nggak jelas begini?

ah sudahlah. . It Makes Sense In Context.

.

yang saya bingung, baik di warung kopi maupun linimasa ada fenomena serupa dari warga negara Indonesia yang berserikat dan berkumpul di depan TV: orang Indonesia itu senang sekali berkomentar saja! entah itu pertandingan sepakbola (Manchester United baru juara lagi ngomong-ngomong, dan beli kostum replika buatan lokal itu sama sekali tidak mendukung keuangan klub anda. FYI aja sih), entah pula itu soal kontes idola dengan kontestan penyanyi bersuara luar biasa dan dukungan via pesan pendek yang ternyata tidak murah-murah amat (maaf, karena satu dan lain hal panitia tidak menyediakan layanan dukungan via WhatsApp atau BBM. jangan kayak orang susah deh ah).

dan kemudian entah kenapa rasanya kok sense of belonging penontonnya seolah jadi tinggi sekali. maksud saya, itu, memangnya anda sudah menyumbang apa sih untuk membela kebenaran mendukung kontestan yang menurut anda performanya lebih bagus itu?

tentu saja berkumpul dan berdebat ala warung kopi baik fisik maupun virtual itu tidak dilarang karena dilindungi oleh pasal 28 UUD 1945, tapi kebijaksanaan keramaian alias ‘wisdom of the crowd’ itu kok jadinya tidak bijak-bijak amat. apalagi kalau secara sial anda sedang jalan-jalan di linimasa macam Facebook. atau Twitter. ya Tuhan, Twitter. dulu saya sempat bilang saya tidak tertarik untuk membuat akun Twitter, dan sekarang saya sedikit berharap bisa memutar waktu dan membatalkan penggunaan akun saya. tapi saya kira itu urusan lainlah untuk saat ini.

kembali ke masalah. sebagai penonton, saya kok cenderung berpendapat bahwa penonton Indonesia itu sense of belonging-nya cenderung tinggi sekali. padahal ya nggak menyumbang apa-apa juga. padahal kalau mau menabung, jersey asli tim sepakbola itu bisa lho terbeli oleh anda. atau kirim sms dukungan juga bisa kok, kalau bersedia repot dan sedikit mahal sih. nah, dengan demikian, ketika anda membaca tulisan saya yang ngomel-ngomel nggak jelas ini, anda tinggal dengan enak nyeletuk: eh! gue udah kirim sms kok! dua puluh ribu doang sih, tapi minimal gue lebih pantes lah buat ngomel-ngomel! 👿

nah, kalau begitu kan lebih enak! 😆

.

dan setelah ini jangan-jangan pada kolom komentar di bawah akan ada komentar dari massa populis akar rumput (yang barangkali tidak mengirimkan pesan pendek itu) dan mengatakan ‘bagusan Fatin!’, atau ‘oh, Novita dong jelas!’, dan kemudian rusuh sendiri di sana. membayangkannya saja saya jadi sepet sendiri. tapi berhubung ini cuma tulisan sederhana saya di laman semenjana saja, seharusnya tidak kan ya. seharusnya. mungkin.

tapi dipikir-pikir lagi, mungkin sebenarnya ini salah saya juga.

ya Tuhan. mungkin sebaiknya saya memang tidak lewat di depan TV dan nonton X Factor kemarin. dan mungkin juga sebaiknya saya tidak jalan-jalan di Twitter semalam dan setelah bangun pagi ini.

karena sungguh, budaya penonton ini kadang terlalu membingungkan buat saya.

mantan, kok banyak?

“what’s the problem? kalau you punya banyak mantan, artinya you sering gagal dalam relationship yang you jalani. ya memang begitu, kan?”

___

jadi begini, pembaca. jadi begini. mohon maaf, sungguh bukan saya bermaksud menghakimi nan kurang ajar pun tidak menghormati. tapi… tapi, tapi, tapi. kepikiran saya kali ini, sejujurnya membingungkan!

dari dulu saya sering rada bingung kalau ketemu atau mendengar tentang para pemuda atau gadis-gadis yang punya banyak mantan pacar/partner/pasangan, dan kesannya (eh ini kesannya lho ya) kok seolah cenderung bangga benar dengan hal tersebut. bahwa mantannya banyak, maksudnya. yang artinya juga, pada dasarnya waktu tunggu per mantan anda —eh bahasa apa sih ini— tidak pernah panjang-panjang amat.

kok begitu? ya karena kalau dihitung-hitung, misalnya usia anda duapuluh-sekian dan misalnya anda punya mantan pasangan sejumlah dua atau tiga sampai empat, itu kan biasa. maksud saya, dengan demikian setidaknya hubungan anda berlangsung selama lebih dari satu tahun, untuk rata-ratanya. tapi kalau misalnya sampai tujuh, delapan, sepuluh, dua belas, lha itu kan banyak?

tentunya dengan demikian kemudian saya jadi bingung. maksud saya begini. kalau misalnya anda punya mantan banyak, apa bukan berarti jadinya anda itu sering gagal dalam hubungan yang anda jalani, ya? sungguh mohon maaf, dengan hormat, tapi kok ya malah bangga. ibaratnya kalau orang kuliah, nggak lulus-lulus kan mesti ngulang. kalau masih belum lulus juga, ya disuruh ngulang lagi. nah ya kalau sudah lewat masa studi, mau bagaimana?  masa ya tinggal nunggu dropout terus bangga pernah jadi mahasiswa…

etapi ini kalau bicara mantan lho ya. kalau cuma berdiri satu malam one night stand atau hubungan tanpa status itu kan beda urusannya. anda senang sama senang nggak pakai status itu tentu saja berarti tidak bisa didefinisikan sebagai ‘mantan pasangan’, gampang-gampangnya sih. lagipula pernah diresmikan juga nggak toh?

tapi ya saya nggak tahu juga, berhubung mantan saya insya allah nggak banyak. walaupun kalau perkara ditaksir anak gadis orang sih wallahualam. sekiranya mungkin senang juga sih kalau bisa menaklukkan hati banyak pemuda keren atau gadis cantik, itu hal yang bisa dipahami juga. nah tapi kalau jadinya terlalu sering mutusin atau diputusin itu kan artinya ada yang salah dengan hubungan yang anda jalani? entah salah planning, salah pilih, atau barangkali juga salah niat. yang mana saja kan bisa-bisa saja. lagipula yang namanya alasan putus juga kan, maaf-maaf, bisa datang dari mana saja.

masalahnya itu, kok ya salah melulu? kalau anda punya mantan sampai delapan orang gadis, misalnya, itu kan artinya anda salah sampai delapan kali berturut-turut. entah salah bersikap sampai diputusin, bosen sampai mutusin, atau mungkin sama-sama sudah tidak cocok sampai putus dari kedua belah pihak. nah terus kalau salah melulu, kan orang jadi bingung bin bertanya-tanya: ini sebenarnya kesalahan pada diri anda, atau pasangan-pasangan anda, atau keadaan yang sial-sialnya kok ya tidak pernah mendukung hubungan anda sampai bisa langgeng?

mbuh, saya juga bingung sih. barangkali nanti kalau ketemu sampel yang cocok saya bisa coba interview atau juga survei kecil-kecilan. atau barangkali mau titip komen di bawah, sumonggo, silakan.

tabik!

___

[1] sekali lagi, dengan segala hormat kepada anda pembaca yang mungkin kebetulan punya cukup banyak mantan pasangan
[2] sekali-kali nulis pakai gaya bahasa sangat tidak resmi, ternyata enak juga (LOL)

hak fotografer dan sedikit pengalaman

sebagai seorang fotografer senang-senang-rada-serius dan bertempat tinggal di negara yang notabene tak selalu aman[1] untuk membawa kamera DSLR[2] ke mana-mana, saya paham bahwa kultur fotografi bukan sesuatu yang selalu bisa dipahami dengan baik ke manapun saya pergi. hal ini termasuk namun tidak terbatas kepada peraturan dan aspek legalitas yang berlaku di tempat-tempat yang saya satroni datangi dalam rangka pengambilan foto, biasanya berlaku untuk tempat-tempat umum atau setidaknya tempat agak-tidak-umum yang dibuka untuk umum.

nah, untuk kali ini, saya ingin membahas tentang sedikit pengalaman terkait foto-memfoto dan kenapa begini kenapa begitu. bukan berarti saya jadi serba benar sih, jadi kalau misalnya ada pembaca yang punya pengalaman atau pengetahuan terkait mungkin bisa berbagi juga soal ini.

foto terkait tulisan ini. setelah pengalaman yang menginspirasi tulisan ini,
sepertinya cukup layak untuk dipampang di sini.

.

beberapa waktu yang lalu, saya blasak-blusuk (eh ini bahasa Indonesianya apa ya? ‘keluar masuk’ kok rasanya agak kurang pas) di sekitar kompleks gedung tempat saya bekerja. sebenarnya sih tujuannya sambil iseng mengasah mata fotografer buat foto panorama yang memang pada dasarnya syarat lokasinya agak tidak sederhana[3]. akhirnya ketemu satu dari beberapa tempat dengan sudut pandang dan elevasi yang kurang-lebih sesuai kebutuhan dan keinginan saya, waktu itu lokasinya di sekitar parkiran yang agak tinggi.

keluarkan telepon genggam, ambil beberapa foto, OK, bagus. kemudian, keluarkan DSLR! dan beberapa jepretan langsung diambil dengan sekali sapuan.

dan kemudian saya disapa seorang petugas keamanan. cukup ramah, sih, tapi ya saya paham. kena deh. 

“selamat siang, ini ambil gambar untuk dari mana, Pak?”

“oh, saya dari … (menyebutkan nama tempat kerja) saya kerja di… (menyebutkan nama gedung dan lantai). kenapa Pak?”

kelihatannya pak petugas agak lebih lega, setidaknya saya bukan orang asing entah dari mana asalnya. kebetulan saya memakai kaos oblong dari partner dan ada tulisan nama perusahaan, jadi setidaknya agak lebih kredibel kalaupun agak tidak dipercaya juga.

“ambil gambarnya untuk keperluan apa ya?”

“buat dokumentasi, pribadi saja sih,” kata saya. “eh, nggak boleh ya Pak?”

“yah… perlu izin dari manajemen (maksudnya building management —red) sih.”

saya sendiri tidak ingin berdebat, lagipula toh setidaknya saya sudah dapat satu panorama. setelahnya saya mengucapkan terima kasih, kemudian untuk beberapa lama masih menongkrong di lokasi walaupun kali ini tanpa DSLR yang sudah duduk manis di ransel.

saya paham sepenuhnya bahwa berada di posisi sebagai petugas penegak ketertiban itu seringnya dilematis, dan seringkali mereka tidak seberuntung saya yang ketika senggang bisa main-main dan bawa DSLR buat jepret-jepret. maksud saya, hobi saya kan bisa jadi beririsan dengan bagian dari pelanggaran pada pekerjaan mereka. belum lagi kalau misalnya ada perselisihan yang terekskalasi, posisi tawar mereka cenderung rendah antara konsumen dan building management.

jadi, ya, kalau tidak benar-benar perlu, pada dasarnya saya tidak ingin berdebat soal peraturan dan hak. saya tak ingin membuat posisi petugas seperti kebersihan atau keamanan dan ketertiban jadi serba terjepit untuk hal-hal yang menurut saya tidak selalu perlu diperjuangkan habis-habisan.

.

sebenarnya saya bukannya tidak paham cerita bahwa beberapa rekan beberapa kali ditegur ketika melakukan kegiatan fotografi di tempat umum, walaupun kalau mau berdebat soal peraturan menurut saya itu juga bukan hal yang sepenuhnya melanggar legalitas. entah itu di jalan dan orang tidak merasa nyaman, atau ditegur petugas keamanan, atau problem lain-lainnya yang pada akhirnya menghambat proses pengambilan gambar.

nah, mengasumsikan anda tidak punya izin khusus dan juga tidak ingin berdebat (untuk alasan apapun, entah serupa alasan saya atau tidak), beberapa poin di bawah adalah pedoman pribadi buat saya yang mungkin bisa disesuaikan untuk keperluan anda.

1. tempat umum terbuka boleh difoto

cukup jelas. tempat umum terbuka meliputi taman, gelanggang olahraga, serta tempat wisata seperti sungai, bukit, gunung dan air terjun tidak ada restriksi. termasuk juga monumen dan patung seharusnya aman. termasuk tempat seperti ini adalah sarana olahraga seperti Gelora Bung Karno atau Soemantri di Kuningan, atau Monumen Nasional dan seputarannya.

2. jalanan adalah hak anda (tapi hati-hati lho ya) 

di beberapa kota besar di Indonesia, beberapa lokasi di jalan bisa menyajikan lanskap yang bagus. kalau di Jakarta, Bundaran HI atau Semanggi, misalnya, kalau anda cukup rajin turun-turun dan naik-naik, bisa jadi anda akan menemukan spot yang bagus. tapi, ya, hati-hati. anda tidak ingin kendaraan anda salah parkir dan kena tilang atau DSLR anda dirampok preman, misalnya.

3. gedung dan ruang tertutup, perhatikan konteks…

untuk acara khusus dan anda berperan sebagai petugas atau tamu undangan, misalnya untuk acara pernikahan, anda bebas mengambil foto. tapi untuk tempat-tempat seperti mal atau pusat perbelanjaan, tidak selalu. mengambil gambar sebuah counter atau toko secara spesifik bisa jadi juga bukan sesuatu yang disukai pengelolanya. menggunakan kamera ponsel biasanya dipahami, tapi DSLR bisa jadi akan mengundang kerut dan tanya (walaupun bukan pasti tidak boleh juga).

4. instalasi khusus atau bagian khusus dari tempat umum

rumah sakit, sebaiknya jangan. boleh sih, tapi tidak disarankan. fasilitas high security seperti kedutaan besar biasanya dilarang keras bahkan dari luarnya. tempat parkir, ini gampang-gampang susah, tapi tidak mengherankan kalau penjaga keamanan di-briefing untuk tidak mengizinkan foto di tempat parkir (perhatikan resiko bom di tempat parkir, misalnya). tempat seperti masjid atau mushala atau lobi hotel dan selasar pertokoan biasanya tidak masalah.

5. sebaiknya hindari pintu tidak umum, tangga darurat, rooftop

kalau anda pernah main-main ke kompleks gedung yang tertata rapi, biasanya insting fotografi anda akan bilang bahwa seharusnya ada tempat tinggi dengan sudut pandang yang bisa menghasilkan foto yang di atas rata-rata. sayangnya biasanya pintu-pintu ke tempat ini khusus petugas atau minimal perlu izin. kalau anda hanya iseng atau tidak bersedia mengurus perizinan, sebaiknya hindari.

6. rumah orang (minta izin ke pemiliknya! atau ambil secepatnya)

sambil jalan di kompleks tetangga, misalnya, bisa jadi anda akan menemukan rumah mungil yang imut atau arsitektur yang menarik di mata anda. bukan tidak boleh sih, tapi jangan diambil seenaknya, apalagi kalau anda membawa DSLR yang tidak bisa tidak mencolok. kalau kebetulan ada pemiliknya, sebaiknya minta izin. kalau tidak ada, ambil secepat yang anda bisa dengan DSLR anda, lalu langsung kembalikan ke tas atau ransel anda. anda mungkin tidak berniat jahat, tapi kalau bisa memilih, anda tidak mau ditanyai oleh satpam atau hansip, kan?

7. orang lain dan privasi

rule of thumb-nya begini: kalau bagian dari lanskap, pada dasarnya tidak masalah. tapi kalau anda menggunakan lensa zoom (seperti 70-200 atau 180-300, misalnya) dan anda mengarahkan kepada momen ibu yang sedang bercanda dengan anaknya, bisa jadi akan ada masalah privasi. tapi ini dilema! kalau anda memberitahu mereka mau difoto, momennya lepas. tapi kalau didiamkan, sayang.

jalan tengahnya sih integritas anda. setelah ambil foto, sekiranya anda merasa jepretan termasuk ranah pribadi, ada baiknya meminta izin ke pihak terfoto. kalau mereka setuju —dan syukur-syukur senang dengan hasil anda— bagus. tawarkan juga satu kopi untuk dikirimkan ke mereka, via e-mail misalnya. tapi kalau tidak bersedia, ya silakan dibuang fotonya, seberapapun sayangnya.

.

panjang ya? memang. tentu saja yang perlu diperhatikan bahwa yang saya sebutkan di atas itu lebih ke arah heuristic alias pedoman-pedoman yang belum tentu seratus persen berlaku di segala situasi. juga bukan berarti tidak bisa diterabas atau dilanggar dengan atau tanpa kesadaran. saya tidak bilang anda harus membatasi kreativitas anda demi peraturan tidak tertulis (atau mungkin tertulis tapi anda tidak tahu) lho ya, tapi kalau misalnya anda perlu mengambil resiko, pastikan dua hal saja: satu, anda bisa memastikan anda tidak merugikan orang lain dengan tindakan anda, dan kedua, anda siap dengan segala konsekuensi tindakan anda.

oh ya tentu saja harus begitu. ambil resiko sih boleh, tapi tetap saja harus fair dong? :mrgreen:

___

[1] entah dengan rekan-rekan wartawan yang cenderung menantang bahaya, tapi sederhananya buat saya sih, sekarang ini saya lebih kuatir DSLR saya dirampok atau dimalingi di tengah kota daripada disita dan dihancurkan pihak-pihak yang merasa bertanggungjawab. itu saja kok. 😕

[2] DSLR: Digital Single Lens Reflection. jenis kamera yang digunakan untuk fotografi tingkat menengah-lanjut.

[3] fotografi panorama (atau panoramic photography) adalah teknik pengambilan gambar dengan lebih dari satu jepretan untuk dijahit menjadi satu foto dengan ruang pandang ekstralebar. untuk kamera 16 megapixel, misalnya, output 29 megapixel bisa diperoleh dari jepretan tiga atau empat foto.

[4] tautan terkait, artikel menarik soal hak-hak fotografer di Photography Life: Know Your Rights as a Photographer.

tentang mereka yang meninggalkan dan kita yang bertambah tua

suatu hari pada pekan yang lalu, suasana di tempat kerja saya mendadak berduka. seorang division manager (kalau di tempat saya, kira-kira termasuk mid-level management) mengalami serangan jantung sebelum akhirnya meninggal dunia. kejadiannya Senin pagi di tempat kerja, setelah paginya masih sempat menghadiri rapat dengan beberapa orang direksi sebelum akhirnya dilarikan ke rumah sakit dan menghembuskan nafas terakhir di sana.

saya cukup mengenal beliau secara profesional, dan walaupun dalam beberapa hal kami bisa saling tidak sepaham dan kadang-kadang bisa jadi cukup keras, ada hal-hal yang pada dasarnya saya hormati dari beliau —cukup jelas buat saya, bahwa ketidaksetujuan dalam beberapa hal tidak selalu berarti kami jadi saling tidak bisa menghargai kebaikan dan kelebihan masing-masing.

beberapa saat kemudian, saya menuliskan pesan sekilas di akun jejaring sosial saya.

dear Sir,

we may have our disagreements with each other, at times really stern ones, but as far as I could attest I believe we shared common goals towards the company’s best interest. and as much as I may not really like to admit, you have my acknowledgement among highly-skilled managers I have ever met.

farewell, rest in peace. you will be remembered.

sincerely.

.

news just in. the PMO Division Manager at the office passed away this morning at 36-years old. condolences.

setelahnya saya jadi kepikiran. tiga puluh enam tahun, kira-kira sepuluh tahun dari usia saya sekarang ini. kalau kasar-kasarnya, waktu saya bisa jadi juga sepuluh tahun lagi. bisa kurang, bisa lebih. tapi keterbukaan akan kemungkinan seperti itu mau tidak mau cenderung membuat kita berpikir: ya, bisa saja, dalam usia yang masih relatif muda itu saya yang pergi. kalau mau bonus sepuluh tahun lagi, misalnya, juga tidak banyak bedanya.

pada dasarnya usia saya bertambah. demikian juga orang-orang di sekitar saya. dan mau tidak mau, semakin lama saya berada, dengan semakin banyaknya orang-orang yang singgah di kehidupan saya, akan semakin banyak kepergian-kepergian di sekitar saya. kalaupun bukan saya yang ditinggalkan, saya yang akan meninggalkan. pada dasarnya sesederhana itu, walaupun mencoba untuk tidak mempedulikannya bukan sesuatu yang bisa dilarang juga.

anehnya yang saya rasakan bukanlah ‘masih ada yang harus saya lakukan, nanti dulu’, atau ‘kayaknya saya belum siap’, atau sejenisnya. yang saya rasakan adalah, bahwa pada dasarnya perjalanan saya sampai sejauh ini adalah mempersiapkan orang-orang untuk kepergian saya. bahwa pertemuan dengan saya akan berakhir dengan perpisahan, entah bagaimana nanti jalannya.

dengan demikian orang-orang yang berarti untuk saya —entah itu teman-teman, saudara, keluarga— tugas saya adalah mempersiapkan mereka untuk kepergian saya. bahwa dengan atau tanpa saya, mereka akan bisa dan baik-baik saja.

atau setidaknya, menurut saya seperti itu. tugas saya adalah mempersiapkan mereka untuk kepergian saya.

.

kembali ke cerita tadi, sorenya seorang auditor dari departemen tetangga —seorang gadis yang usianya kira-kira sepantaran saya— menelepon ke meja. beberapa dokumen yang sudah diteruskan dalam perangkat lunak harus disesuaikan, alur kerja yang sudah berjalan harus dialihkan, pada dasarnya beberapa hal yang terkait pengalihan kerja.

setelahnya, sekilas-dua kilas beberapa hal yang sedikit pribadi di antara kami. seperti biasanya, seperti sewajarnya.

“he was such a good person,” katanya dalam bahasa Inggris yang mungkin lebih nyaman untuk mengatakan hal-hal yang berada dalam pikirannya. “he was more like a mentor to me, I learned much from him.”

saya menunggu untuk mendengarkan lebih lanjut, tapi kelihatannya tidak banyak yang bisa saling kami katakan soal hal-hal yang cenderung personal seperti ini.

“we… may have disagreements with each other, ” kata saya. “and as much as I may not really like to admit, he has my acknowledgment among highly-skilled managers I’ve met.”

“may he rest in peace.”

“yeah.”

setelahnya saya menutup telepon. sebentar dan tak lama, kita punya waktu untuk berhenti dan mengenang. dan kemudian kita sadar, bahwa hidup juga tak bisa selamanya diam dan menunggu. dengan atau tanpa manusia yang menjadi bagiannya, semua harus dan akan berjalan lagi, sebisa mungkin mencoba untuk kembali seperti biasa.

walaupun bukan berarti apa-apa yang tadinya ada dan kemudian hilang itu lantas jadi tak berarti, atau kehilangan makna, atau sepenuhnya tiada.

saya melirik kalender di sisi layar. masih ada empat hari kerja sampai akhir pekan.

tunjangan jomblo?

gara-garanya, saya sedang terlibat pembicaraan dengan seorang rekan di tempat kerja. awalnya sih terkait upgrade dan migrasi perangkat lunak yang digunakan oleh perusahaan (detailnya agak terlalu teknis, jadi sudahlah ya), tapi pada dasarnya proses seperti ini meliputi hal-hal yang mengharuskan pelaksanaan di luar jam kerja.

“ya iyalah, paling cuma bisa weekend kerjanya,” kata rekan saya, seorang sysadmin[1]. “kalau nggak mau weekend, paling ya Jumat malam. memangnya mau kapan lagi?”

“nggak keberatan juga sih,” kata saya. “tapi coba, ya. seharusnya perusahaan ini berterima kasih kepada orang-orang kayak kita. cowok, masih single, dan bersedia kerja di luar jam tanpa banyak complain!”

“lah terus?”

“harusnya ada tuh, tunjangan jomblo. buat orang-orang single, nggak punya pacar, dan senang-senang saja kerja kayak kita. mau Sabtu atau Minggu atau nginep juga dikerjain, itu apa bukan aset perusahaan namanya?”

:mrgreen:

betul sekali, pembaca. sebagai seorang software engineer[2] (yang semoga) bermasa depan cerah dan sedang tidak berpacar, saya berpendapat bahwa perusahaan bergantung kepada keberadaan personel seperti saya. masih muda, check! single, check! technically skilled, check! bersedia pulang malam, check!

coba, seandainya saya sudah berkeluarga, istri satu dan anak dua, misalnya. apa ya bisa saya dengan seenaknya memutuskan datang ke kantor untuk migrasi perangkat lunak atau bantu-bantu relokasi data center? bisa, ya bisa saja. tapi yakinlah, bicara trade-off dan fleksibilitas, tidak banyak yang bisa mengalahkan personel yang highly-skilled dan masih single. sumpah!

oleh karena itu, saya mengusulkan bahwa perusahaan yang memiliki karyawan seperti tersebut menyediakan tunjangan khusus. demi kemudahan dan kesederhanaan, mari kita menyebutnya ‘tunjangan jomblo’.

jadi, apa itu ‘tunjangan jomblo’? detailnya sebagai berikut.

1. tambahan di luar gaji

cukup jelas. tidak perlu besar-besar amat, tapi yang penting cukup untuk traktir-traktir. karena masih single, kebutuhan tidak banyak, jadi tidak perlu menghabiskan banyak. lagipula sebagai karyawan yang baik, kan uang juga bukan segalanya.

2. lemari, selimut, tempat mandi!

nah, ini bagian yang menyenangkan, walaupun mungkin agak mahal. tapi kenapa begitu? lemari: untuk taruh-taruh barang, termasuk sabun dan sikat gigi. selimut: buat tidur di kantor ketika keadaan mendesak, bisa juga dialihfungsikan sebagai kasur lipat. tempat mandi: jelas dong, buat mandi! kalaupun terpaksa menginap, fisik boleh letih, tapi penampilan harus tetap keren dong.

3. kopi dan makanan ringan

tentu ini perlu. jam kerja panjang menuntut konsentrasi tinggi dalam waktu yang lama. walaupun obat terbaik untuk ngantuk adalah tidur, sayangnya keadaan-keadaan tertentu tidak selalu bisa mengizinkan. oleh karena itu, alternatif aman kedua: kopi! tak ketinggalan juga kue. tidak perlu banyak-banyak, secangkir kopi sehari dengan sepiring kecil kue cukup kok.

nah. sederhana, kan? tidak terlalu mahal juga, jadi saya kira seharusnya feasible saja untuk diimplementasikan di tempat kerja. tentu saja karena saya juga bukan (belum!) menjadi pemegang keputusan tingkat tinggi di tempat kerja, dengan demikian sayangnya hal ini baru berakhir sebatas proposal saja. huh.

padahal kalau dipikir-pikir lagi buat perusahaan juga nggak rugi, lho. karyawan, single, highly-skilled itu adalah aset. iya, kan?

___

[1] system administrator. bidang pekerjaan meliputi pengelolaan infrastruktur, jaringan dan server pada level enterprise.
[2] engineer dengan bidang pekerjaan terkait pengembangan perangkat lunak dan proses bisnis yang melingkupinya.