ironi terlupakan

“ironi adalah ketika kamu menyapa seseorang dan dia bahkan tidak ingat siapa namamu.”

___

dulu, saya termasuk jenis manusia yang tidak menonjol. tipe yang, kalau anda pembaca kebetulan melihat saya pada masa-masa tersebut, kemungkinan hanya akan diberi pandangan sekilas ‘oh’, atau bisa juga dianggap sedikit-aneh. nilai pelajaran di kelas atau kuliah biasa-biasa saja, di lapangan olahraga apa lagi. tidak tergolong banyak bicara juga tidak cerah-ceria, pokoknya jenis yang sama sekali tidak akan menarik perhatian anda atau orang lain pada umumnya.

entah itu hal yang baik atau buruk, tapi dengan demikian saya tidak menjadi sosok yang keberadaannya diingat oleh banyak orang yang pernah saya temui dulu. termasuk seringkali, oleh mereka yang saya ingat dari beberapa periode kehidupan saya.

sekali dulu, di antara beberapa yang lain, saya kebetulan bertemu dengan seseorang yang dulu saya kenal. tidak ada masalah, tentu saja, selain bahwa dia tidak lagi mengingat nama saya, dan dengan keadaan tersebut menanyakannya langsung kepada saya. apakah saya punya bakat untuk hal seperti ini, entahlah; setidaknya, hal seperti ini bukan terjadi cuma satu-dua kali sejauh yang saya ingat.

saya ingat namanya. saya masih ingat kebiasaannya dulu. saya tidak marah — walaupun mungkin ada sedikit perasaan kecewa — tapi dengan demikian saya memutuskan untuk tidak lagi menyapa orang-orang yang sepertinya tidak akan mengingat saya.

pada dasarnya, saya berprinsip sederhana: kalau seseorang yang dulu saya kenal tidak lagi mengingat saya, maka saya tidak cukup penting untuk seseorang tersebut. sekalipun dulu saya sekelas dengan seseorang sewaktu SD, atau dulu saya sempat beberapa kali mengobrol dengan seseorang lain ketika SMP, atau bahkan ketika saya sempat cukup lama satu kegiatan dengan seseorang lain lagi sewaktu SMU, untuk saya semua itu tidak ada artinya kalau ketika saya bertemu dengan seseorang tersebut dia tidak lagi mengingat saya.

dengan demikian, saya tidak pernah lagi menyapa orang-orang yang dulu sekelas dengan saya dan tidak lagi mengenali keberadaan saya ketika berpapasan lama kemudian. saya tidak lagi memanggil rekan-rekan lama yang kelihatannya tidak menyadari keberadaan saya dalam acara pertemuan atau sejenisnya. saya tidak secara aktif mencari dan menambahkan rekan-rekan yang dulu pada akun jejaring sosial saya. karena, ya, untuk apa? bagi saya, memiliki sesuatu yang saya ingat dan tidak diingat oleh orang lain bukanlah hal yang menyenangkan.

mungkin saya dulu tidak istimewa, dan saya tidak lagi diingat. mungkin saya dulu cuma anak biasa yang sedikit-aneh dan tidak signifikan, itu bukan salah orang lain. kalaupun ada yang harus disalahkan, itu adalah diri saya sendiri. saya tidak berhak marah kepada siapapun soal itu; kalaupun saya marah, saya hanya marah kepada diri saya sendiri bahwa saya tidak cukup penting, bahwa saya tidak meninggalkan kesan, bahwa saya hanya mengingat sesuatu yang ternyata tidak penting lagi untuk diingat oleh orang lain.

tidak peduli walaupun seseorang dulu berarti untuk saya, kenyataan bahwa ada hal-hal yang tidak lagi diingat cuma berarti sederhana saja — saya tidak cukup penting, dan itu sesuatu yang, mau tidak mau, harus bisa saya terima.

walaupun, yah, saya bohong kalau saya mengatakan bahwa saya tidak kecewa.

tentang saya dan menulis

“jangan berhenti menulis, ya. karena suatu saat nanti, aku akan menanyakan lagi, ‘kamu menulis di mana, sih?'”

___

sudah agak lama saya tidak benar-benar menulis. menulis sesuatu yang agak matang dengan pemikiran yang terstruktur, maksud saya. dan selama itu pula, saya hanya mengatakan bahwa ada banyak alasan untuk itu. juga, kalau mau mengatakan secara sederhana, saya selalu bisa mengatakan bahwa saya sibuk, atau banyak hal-hal lain yang perlu dipikirkan, atau alasan-alasan lain.

iya, saya yang sekarang ini memang sudah agak lebih sibuk dibandingkan saya yang dulu. saya saat ini berusia 24 tahun, sementara saya yang dulu baru mulai menulis di sini masih berusia 19 tahun. saya sebagai profesional saat ini menjalani kehidupan yang berbeda dengan saya yang dulu masih sebagai mahasiswa. ada banyak hal-hal yang terjadi selama itu, tapi, yah, saya kira itu cerita lain untuk saat ini.

kadang-kadang aneh bahwa ketika saya melihat tulisan yang saya tulis ketika saya berusia 20-22 tahun, saya merasa seperti ada orang lain yang mengatakan kepada saya ‘hei, kamu dulu mengatakan ini, lho’, sementara saya tahu itu adalah tulisan saya sendiri. rasanya seolah seperti ada tabungan kebijaksanaan –kalau bisa disebut seperti itu sih, saya kan tidak sebijaksana itu juga– yang seringkali membuat saya berpikir, mungkin sebenarnya kalau saya yang saat ini bertemu dengan saya yang dulu, rasanya akan seperti mengobrol dengan orang lain yang saya kenal akrab, tapi tidak benar-benar bisa saya asosiasikan dengan diri saya sendiri.

selama beberapa tahun terakhir ini, saya kira banyak yang berubah dalam diri saya. mungkin termasuk imbasnya adalah bahwa saya tidak bisa lagi sering-sering menulis di sini. di antara perjalanan panjang, keputusan-keputusan yang harus diambil, hal-hal yang harus diselesaikan –kadang hal-hal seperti ini adalah urusan rumit– seringkali yang tersisa hanyalah waktu yang terasa sedikit, yang tidak selalu bisa saya gunakan untuk memikirkan apalagi menuliskan sesuatu.

tentu saja, saya tidak mengatakan bahwa keadaan tersebut adalah hal yang sepenuhnya buruk untuk saya. saya bersyukur dengan keadaan saya saat ini, dengan banyak hal yang saya miliki, walaupun saya kira akan selalu ada hal-hal yang harus lebih baik daripada saat ini.

tapi dengan demikian saya tidak bisa lagi menulis seperti dulu.

sekali dulu, saya belajar tentang trade-off terkait pengambilan keputusan dan manajemen resiko; intinya, ya, saya harus menerima bahwa selalu ada sesuatu yang harus dibayarkan untuk sesuatu yang lain. kalau misalnya kita ingin suatu variabel A, B, C dalam keadaan excellent –luar biasa, maka variabel terkait mungkin P,Q,R hanya bisa berada sebatas acceptable –bisa diterima, tapi tidak istimewa.

dan yang saya pahami, hal tersebut berlaku untuk banyak, kalau tidak hampir semua hal dalam kehidupan saya. saya memutuskan untuk tidak tanggung-tanggung dengan profesionalisme saya, maka saya jadi kehilangan kesempatan untuk menulis. kalau saya ingin bisa memperoleh dua-duanya, maka waktu saya untuk hal-hal yang lain akan harus dikorbankan — seperti halnya salah satu pelajaran pertama yang masih saya ingat sampai sekarang, there is no such thing as free lunch.

tapi sudahlah, setidaknya saat ini saya sedang ingin menulis dulu.

sejujurnya, saya tidak benar-benar tahu apakah tulisan saya sebagus itu. saya tidak tahu apakah tulisan saya bisa benar-benar memantik ide apalagi sampai menginspirasi orang yang membacanya (kata seseorang, mungkin saja), atau apakah ada orang lain yang sampai terharu dengan membaca tulisan saya di sini (kata seseorang lain, mungkin juga sebenarnya saya sudah pernah membuat seseorang menangis). mungkin ada benarnya juga bahwa pena, eh, keyboard bisa lebih tajam daripada pedang soal merobek-robek hati seseorang, entahlah.

mungkin saya tidak benar-benar bisa menulis seperti dulu lagi, juga mungkin tidak lagi bisa sebanyak dulu. tapi setidaknya kalau saya bisa menjalaninya di antara hari-hari yang sepertinya semakin sibuk dengan tanggung jawab yang semakin bertambah, saya kira hal seperti itu akan sudah cukup bagus untuk saya. kita memang tidak selalu bisa mengharapkan banyak hal dan semuanya terpenuhi, bukan?

saya berharap bahwa saya masih akan bisa menulis lagi — kalaupun bukan untuk orang lain, setidaknya saya menulis untuk diri saya sendiri. untuk saat ini, nanti, dan seterusnya, kalau memang masih memungkinkan.

landak

me (yud1)
ss (a girl, initial unrelated)

ss: “err… gimana ya. gw tau lo orang baik. baik banget, duh. serius.”

me: “…beneran?”

ss: “cuma, karena lo terlalu… apa ya? perceiving the world as in anarchy, the way you portray yourself in outward interaction, it creates a barrier…”

ss: “kayak landak. padahal landak kan lucu ihhh kawaiiiiiiiii kyaaaahh~”

ss: “…tapi kalo udah dipegang berduri. ewwww, padahal kan gw nggak jahat, cuma mau elus-elus landak. hiks.”

me: “…”

ss: “perumpamaan. yah mungkin perumpamaannya ekstrim sih ya.”

me: “no, I like it. perumpamaan yang bagus.” 😉

.

.

.

me: “tapi, yah… sebagian karena itu juga gw cenderung males ngomongin beberapa hal ke orang lain. kayak begini juga, misalnya.”

ss: “yah… maaf…” 😕

me: “ah, it’s okay. dibilang begitu juga, toh itu bukan hal yang akan ditanggapi orang dengan baik. it’s easier to keep such for oneself, I think.”

ss: “ih, dasar landak. bisanya memang cuma sama sesama landak. iya, atau armadillo. huh.”

.

.

me: “well, tapi mungkin lo bener juga tentang satu hal lagi.”

me: “‘cuma landak yang bisa ngomong sama landak’. iya, kan?” 😉

ss: “kalau ngomongnya jauh-jauh sih, bisa.”

dari suatu obrolan pada suatu hari di bulan Juni. entah kenapa saya suka perumpamaan ini.

2005 – 2010

“mungkin kedengarannya tidak adil, tapi sesuatu yang terjadi dalam beberapa hari, kadang-kadang dalam sehari, bisa mengubah keseluruhan jalan hidup seseorang.”

—Khaled Hosseini; The Kite Runner

___

saya ingat, sekitar awal tahun 2005. saya yang saat itu adalah saya yang berada di tahun pertama kuliah, dan juga saya yang menyimpan banyak ketidakpuasan terhadap banyak hal. terhadap diri saya, terhadap orang lain, terhadap keadaan… agak terlalu banyak mungkin, tapi terserahlah.

saya ingat masa-masa ketika saya duduk di dalam kelas, kadang sedikit kurang-tidur, dan sesekali memutuskan untuk memandang keluar jendela, dan memikirkan banyak hal selain materi kuliah di kelas atau tugas-tugas yang tenggatnya masih dalam dua pekan.

…siapa yang peduli kalau saya memandang keluar jendela, toh yang penting saya bisa menyelesaikan semuanya, dan setidaknya nilai yang saya peroleh masih lumayan di akhir semester. saya memutuskan untuk sedikit-malas, dan (lagi-lagi) siapa yang peduli. yang penting saya bisa memperoleh hasil yang baik dengan cara yang jujur dan apa-adanya. tidak masalah, toh?

sedikit yang saya tahu, bahwa satu dan beberapa hal lain akan kembali terjadi. mungkin saya memang tidak bisa melakukan banyak hal soal itu, dan mungkin memang seperti itulah yang harus dan akan terjadi pada saatnya.

tapi toh dalam tiga tahun selanjutnya kehidupan tetap berjalan. setidaknya ada kopi hangat dan roti bakar di sore hari yang cukup menyenangkan. ada tugas-tugas yang menantang, kadang diselingi kuliah dan ujian yang membuat sedikit-frustrasi, walaupun toh akhirnya semua baik-baik saja.

ada hal-hal yang menyenangkan di antara hal-hal yang lain, dan saya tidak menyesali apa-apa yang saya jalani pada tahun-tahun tersebut. karena untuk itu, semuanya berarti untuk saya; I have lived those years to the fullest.

walaupun saya tahu, itu bukan semuanya. karena ada hal-hal yang merayap datang ketika semua yang lain pergi; pelan dan mengganggu, dari balik relung kesendirian di antara hari-hari yang sibuk.

entahlah, mungkin saya memang tidak cukup dewasa pada saat itu.

::

saat ini, 2010. saya yang saat ini adalah saya yang berada di tempat yang berbeda, menjalani hal yang berbeda, dalam perjalanan yang juga berbeda.

ada hal-hal yang saya lakukan dengan baik, dan setidaknya itu hal yang cukup menyenangkan untuk saya. ada pengakuan yang diperoleh, dan ada penghargaan atas apa-apa yang mungkin layak disebut sebagai pencapaian. kadang ada hal-hal yang tidak selalu menyenangkan, tapi toh saya juga paham bahwa hal seperti itu tak terpisahkan dari perjalanan yang saya tempuh ini. lagipula toh pada akhirnya semua juga baik-baik saja, jadi tidak masalah juga, sih.

dan setelah itu semua, lantas apa? mungkin, cukup banyak yang saya dapatkan. tapi mungkin saya juga kehilangan cukup banyak. bukan keadaan yang seluruhnya buruk, saya kira — setidaknya, beberapa lebih baik daripada yang lain, walaupun toh tidak selalu juga seperti itu.

ada banyak hal yang sudah saya raih, dan untuk itu saya ingin terus berjalan. ada hal-hal lain yang sudah saya peroleh, dan saya tahu bahwa saya tidak ingin berhenti sampai di sini.

saya ingin melihat lebih banyak hal dari tempat yang lebih tinggi, dan saya tahu bahwa saya memiliki kesempatan untuk berada di sana. dan untuk hal ini, setidaknya saya tahu bahwa saya melangkah bukan untuk alasan-alasan yang akan dibenci oleh diri saya yang dulu, dan dengan demikian saya memutuskan untuk terus melangkah dan melanjutkan perjalanan ini.

tapi sedikit yang saya pahami, mungkin benar bahwa satu dan beberapa hal memang ada tidak untuk apa-apa. mungkin memang tidak banyak yang bisa dilakukan di masa lalu, dan mungkin memang begitulah adanya yang harus terjadi; tetap di sana, diam dan seharusnya tertinggal oleh aliran waktu seiring hari-hari dalam pekan dan bulan.

tapi toh saya tahu, itu bukan semuanya. karena ada hal-hal yang menelusup datang ketika semua yang lain pergi; telak dan mengganggu, dari sisi ruang batin yang seolah tak hirau oleh waktu.

entahlah, mungkin saya memang tidak banyak bertambah dewasa sejak saat itu.

meranggas dan tak ingin mati

belakangan ini, saya merasa kering. dan mungkin juga muak, pada tataran tertentu, kalau boleh disebut seperti itu.

seperti taman yang tak terawat; seperti halnya ketika sekali dulu pada suatu masa orang akan bisa menemukan bunga dan rumput yang tertata rapi, dan sekarang tidak lagi — tak semua, tapi terganti dengan yang sedikit dan banyak; kini rumput liar dan benalu, bunga-bunga yang saat ini tirus dan layu.

saya merasa kering dengan diri saya. kering dengan taman dalam diri yang sekarang meranggas, meninggalkan hanya cercah akan yang pernah cerah masa lalu. masa di mana ada elan yang seolah ingin mendobrak, kadang ingin berteriak, yang dengan segala berontaknya tersebut tetap merindukan sebuah aufklärung, sebuah pencerahan.

ya, saya merasa kering. merasa dan mungkin juga muak, kalau boleh disebut seperti itu.

::

saya merasa kehilangan warna yang dulu saya miliki. saya merasa kehilangan identitas. saya merasa kehilangan ketajaman yang dulu ada dalam diri saya.

hari-hari dalam pekan-pekan, menjadi bagian dari sekrup-sekrup kapitalisme dan berhubungan dengan kepentingan-kepentingan bisnis, dan apa-apa yang buruk dan baik dari dalamnya. sedikit memaksakan diri untuk kepentingan kita-bukan-mereka, terjebak dalam ketertarikan dan keinginan tak pernah puas dari manusia…

ah, manusia! apa yang bisa diharapkan dari mereka? rasa puaskah karena sekadar cukup uang dan cukup makan? sekadar menyambung hidup dalam pencaharian yang jelas ujung-pangkalnya, untuk memberikan beberapa suap kepada beberapa mulut, serta mungkin sedikit yang lain?

saya yang sekarang adalah saya dengan taman yang layu, meranggas dan pudar, susah-payah menolak dan tetap tak ingin layu lalu kemudian mati.

saya kehilangan apa-apa yang saya miliki dulu ketika saya masih menjadi mahasiswa. membaca majalah berita atau menonton TV dan merasa muak dan kemudian menuliskannya. menemukan pengalaman-pengalaman dengan manusia dan membicarakannya. mempelajari ide-ide dan gagasan-gagasan serta mendiskusikannya. melakukan hal-hal yang ingin saya lakukan, untuk orang lain dan untuk saya.

saya muak. saya muak ketika setiap apa yang saya kerjakan dan lakukan hanya terkait egoisme cari makan dan hidup senang-senang. saya muak ketika saya tidak lagi bisa melakukan apa-apa selain yang superfisial, sesuatu yang mungkin memabukkan bagi orang lain yang memandangnya—

—tapi tidak! adakah dengan elan yang sekarang hilang, dan hidup sebagai sekrup yang ingin cari makan ini cukup untuk saya? adakah yang seperti ini adalah yang saya inginkan? saya katakan, saya ingin meneriakkan, TIDAK!

::

sekarang saya yang memandangi taman yang kerontang, dari balik pagar yang dibangun dengan ongkos kemandirian dan keinginan berdiri di atas kaki sendiri, dan terasa ironis; di balik pagar rasa aman dan kebutuhan yang terpenuhi, ada petak-petak rumput dan kuntum bunga yang meranggas dan menolak mati.

adakah begitu mahalnya harga sebuah kebebasan? ketika dalam jiwa pun saya tak lagi bisa merasa dan kehilangan ingin untuk mencari, masihkah ada artinya apa-apa yang lebih dari kebutuhan yang terpenuhi dengan sangkaan yang sekadar cukup?

dari balik pagar, saya ingin berteriak. dan di balik pagar, mereka meranggas dan layu — dan tetap menolak untuk mati.

if tomorrow never comes…

“well, sometimes it’s painful. sometimes it’s troublesome, and it’s probably meaningless as well… but not even once I have my regret.”

___

hari ini, saya kembali mendengar(kan) salah satu lagunya Ronan Keating, dan akhirnya kepikiran ide untuk tulisan kali ini. untuk lagunya sendiri, judulnya… nggak usah ditanya kan ya? tentu saja, maksudnya adalah lagu dengan judul yang sama dengan judul tulisan kali ini, pembaca. :mrgreen:

halah. ribet. jadi, langsung ke masalahnya saja deh.

sekali dulu — sebenarnya sampai sekarang pun masih — saya berpikir bahwa hidup ini tidak banyak artinya. maksudnya, ya hidup ini memang seperti itu saja; sebentar, sementara, lalu selesai. seperti orang datang bertamu, duduk sebentar, mengobrol sedikit, lalu pergi lagi… setelah itu, ya sudah. tidak banyak hal yang layak dibanggakan apalagi disombongkan dari menjalani kehidupan yang sebenarnya tidak istimewa ini.

tapi entahlah, mungkin saya juga bertambah dewasa, dan mungkin saya juga sedikit berubah (duh lagaknya), tapi saya kira sedikit demi sedikit saya mulai belajar menghargai perjalanan saya yang mungkin tidak terlalu panjang ini. lagipula, bukankah konon katanya menikmati perjalanan adalah menikmati proses? dengan demikian yang terpenting bukanlah ketika kita sampai tujuan, melainkan apa-apa yang kita alami dalam perjalanan tersebut.

katanya sih, lagipula saya sendiri tidak bisa tidak setuju juga. memang begitu toh kenyataannya?

di titik ini, saya teringat lagu tersebut. seandainya ‘besok’ itu tidak ada lagi, dan saya tidak punya banyak waktu lagi, apakah saya akan sudah cukup siap untuk mengatakan ‘okay, let’s call it a day’?

hari-hari ini, saya kembali memikirkan apa-apa yang telah saya jalani selama lebih dari dua puluh tahun terakhir perjalanan saya. keputusan-keputusan yang saya ambil, pilihan-pilihan yang saya lakukan, serta arti dari masing-masing keputusan dan pilihan berikut konsekuensinya. tentu saja, tidak semuanya menyenangkan. ada hal-hal yang absurd, bodoh, dan mungkin tidak bermakna. ada keputusan-keputusan yang seolah agak egois, dan akhirnya mungkin tidak akan menguntungkan siapa-siapa termasuk saya sendiri.

tapi saya kira, saya tidak ingin membuat keputusan dan mengambil tindakan yang akan saya sesali kemudian. walaupun ada hal-hal yang tidak menyenangkan, kadang menyakitkan, kadang bodoh dan mungkin naif, kadang sedikit egois, kadang malah seolah tidak bermakna… tapi saya tidak menyesal; saya memutuskan untuk melalui perjalanan ini dengan jujur dan apa adanya, itu saja.

walaupun, yah… saya sendiri juga tidak tahu, sih. mungkin nanti, ketika ‘besok’ sudah tidak ada lagi untuk saya, ketika waktu saya sudah habis, saya ingin bisa mengatakan bahwa saya tidak menyesal, walaupun dengan sakit dan sedih yang tidak selalu bisa tergantikan oleh banyak suka dan senang.

saya kira, pada saatnya nanti saya hanya ingin bisa mengatakan; “I was here, and I have no regret”. setidaknya, perjalanan ini tidak akan sia-sia, kan? 😉

___

[1] sebenarnya lagu If Tomorrow Never Comes pertama kali dibawakan bukan oleh Ronan Keating. tapi berhubung yang saya dengar adalah versi remake-nya, jadi begitulah.

[2] ngomong-ngomong, umur saya dua puluh tiga. tapi sambil korupsi umur supaya lebih enak menulisnya, saya bilang saja ‘lebih dari dua puluh tahun lalu’. gak apa-apa, kan? :mrgreen:

harga sepotong kenangan

“kamu beruntung, karena kamu memiliki kenangan yang indah akan masa kecil kamu. kenangan itu akan menjadi harta yang tak ternilai harganya, bahkan sampai setelah kamu dewasa nanti.”

___

saya ingat, sekali waktu ketika saya masih kecil dulu. saya saat itu masih duduk di bangku TK, ketika sekali waktu saya diajak orangtua saya belanja ke supermarket di akhir minggu. bukan hal yang istimewa benar sih, tapi untuk seorang anak berusia empat tahun, perjalanan ke supermarket (waktu itu jumlah pasar swalayan masih belum sebanyak saat ini) adalah petualangan tersendiri; kaleng-kaleng sarden yang ditumpuk rapi, sayuran dan minuman dingin di dalam kulkas, dan tentu saja susu kotak yang selalu dibelikan untuk saya setiap kali saya ikut berbelanja ke supermarket.

sama sekali bukan hal yang istimewa. tapi untuk saya di usia empat tahun, ada hal-hal yang saya ingat dengan baik sampai sekarang; ibu saya biasanya membiarkan saya memilih sendiri susu untuk dibeli (eh… teh kotak atau minuman ringan tidak diizinkan, sih), sementara di bagian buah-buahan kadang-kadang saya bisa memilih sebagian menu buah-buahan untuk seminggu. untuk saya dulu, adalah hal yang berkesan bahwa saya merasa bisa dan turut dilibatkan terkait urusan ketersediaan isi kulkas di rumah.

atau pada sekali waktu yang lain, ketika pada suatu hari ayah saya mengajak berjalan kaki di sekitar kompleks perumahan selewat subuh pada jam lima-lewat-dua-puluh, dengan udara dan suasana khas subuh setelah fajar. tidak terlalu dingin, tapi toh menyegarkan dan menghilangkan kantuk… tapi entahlah, mungkin anak berusia empat tahun memang lebih suka bangun pagi.

juga bukan hal yang istimewa benar. tapi berjalan-jalan di sekitar kompleks dan kebetulan searah dengan beberapa tetangga yang berangkat kerja lebih pagi dibandingkan yang lain, ayah saya mengajarkan (tanpa banyak kata-kata, sebenarnya) bahwa ada orang-orang yang harus bangun lebih pagi dan bekerja lebih keras, dan bahwa saya sebenarnya beruntung dalam beberapa hal.

atau misalnya ketika saya (dengan rasa penasaran khas anak berusia lima tahun) mencoba untuk membuktikan bahwa kaleng root beer bisa meledak kalau dikocok — yang sialnya, ternyata memang bisa. akhirnya kaleng tersebut meledak di mobil, mengakibatkan kursi dan atap menjadi basah kuyup oleh soda dan gula. dan tentu saja, akhirnya kami sebagai anak-anak dimarahi karena meledakkan sekaleng soft drink di dalam mobil… bukan hal yang pantas dibanggakan sih, tapi ya sudahlah.

dan cukup banyak hal lain, yang mungkin tidak istimewa benar, dan kadang-kadang mungkin konyol, yang menjadi bagian dari kenangan akan masa kecil saya.

::

ibu saya pernah mengatakan, bahwa kenangan masa kecil itu adalah sesuatu yang berharga, dan tidak bisa dibeli dengan nilai. dulu saya tidak benar-benar paham, tapi saya kira hal tersebut ada benarnya.

karena sebagai manusia, kita tumbuh dewasa dan melupakan banyak hal. kita berhubungan dengan kepentingan-kepentingan, dan kita cenderung berpikir dan bersikap pada tataran yang superfisial: kita menginginkan sesuatu, kita menukarkan sesuatu. kita berhadapan dengan sesuatu yang, mungkin secara hiperbolis, dikenal sebagai ‘dunia yang keras’. mungkin benar begitu, tapi saya kira hal ini tergantung sudut pandang, sih.

tapi hal yang saya ingat adalah, bahwa setidak-enak apapun keadaan yang saya hadapi, atau setidak-menguntungkan apapun situasi yang saya jalani, saya tahu bahwa ada suatu tempat di mana saya dulu pernah berada. saya tahu bahwa ada hal-hal yang diajarkan kepada saya dan tidak hilang, dan saya tahu bahwa saya pernah berada di suatu tempat, di suatu waktu yang dulu, sebagai seorang anak kecil yang saya ingat dulu.

karena itu, dengan segala ketidakpentingan, kekonyolan, dan segala hal lain dari kenangan masa kecil saya, saya merasa beruntung. bahwa saya punya masa kecil yang bisa saya kenang, sebagai pengingat dari setiap langkah saya sebagai orang dewasa. bahwa setidaknya saya akan selalu bisa teringatkan akan diri saya sebagai anak kecil yang dulu — yang diajak jalan-jalan oleh ayah saya, yang pergi belanja dengan ibu saya, dengan hal-hal yang diajarkan kepada saya dulu.

dengan demikian, saya akan selalu bisa mengingat bahwa ada harapan-harapan yang dulu dititipkan kepada saya, dan bahwa saya masih punya tanggung jawab akan hal tersebut dalam perjalanan saya.

::

kalau dipikir-pikir lagi, mungkin saya memang beruntung dengan hal tersebut. tidak semua orang bisa memilikinya, dan saya beruntung bahwa orangtua saya mau dan mampu membiarkan saya memiliki kenangan yang menyenangkan akan masa kecil saya. dan dengan demikian saya tumbuh sebagai orang dewasa, dengan apa-apa yang dulu diajarkan kepada saya sebagai anak kecil. hal-hal yang, bagi saya, juga sebagai pengingat langkah saya sebagai orang dewasa.

yah, dan dengan demikian saya juga tidak akan lagi meledakkan root beer kaleng di dalam mobil. saya kira itu juga bagian dari pengingat langkah saya sebagai orang dewasa, sih.

resolusi pasca-lebaran

dipikir-pikir, ternyata sudah hampir satu bulan sejak Hari Raya yang baru lalu. gaungnya sudah mulai berkurang juga sih, dan sebagian besar rekan-rekan (termasuk saya juga) tampak sudah kembali ke ritme kesibukan yang biasa pasca-lebaran. 

bulan puasa, katanya adalah sarana untuk belajar mengendalikan diri. dan kalau katanya orang bijak, hidup itu sia-sia kalau tidak ada perbaikan. tentu saja, hal ini juga sejalan dengan ide yang jadi caption di kartu lebaran kemarin dulu… tapi masalahnya; memangnya apa sih yang akan membedakan saya setelah hari raya kemarin dengan yang sebelumnya, atau malah yang sebelumnya lagi? 

[shiki-ver_11.jpg]

…lha iya. memang bukan cuma ketupat, kok. :mrgreen:

jadi akhirnya saya memutuskan untuk membuat sebuah resolusi pasca-lebaran. bukan hal yang ribet, dan tak perlu pula susah-susah. ini adalah hal yang sederhana saja, walaupun (entah kenapa) tampaknya sering terlupakan dalam perjalanan saya ini… dan mungkin juga dalam perjalanan masing-masing dari kita, walaupun saya kira seharusnya anda yang lebih paham mengenai hal ini.

ya sudahlah. daripada panjang-panjang, mari kita langsung ke poin-poinnya saja, pembaca.

pertama. saya memutuskan bahwa saya akan menjadi seseorang yang bersikap jujur. saya ingin bisa bersikap jujur dan apa adanya; dalam omongan dan perbuatan, dan dalam banyak hal lain. kedengarannya sih gampang, tapi ternyata kok ya susah juga, pembaca. tapi terserahlah, siapa peduli… hei, saya ini orang jujur; tidak ada seorangpun yang berhak memaksa saya untuk bersikap sebaliknya.  

kedua. saya memutuskan untuk menjadi seseorang yang sabar. atau setidaknya, lebih sabar dari sebelumnya. atau setidaknya, lebih sabar dari biasanya. sabar dalam menghadapi keadaan yang tidak mengenakkan. sabar dalam menghadapi manusia yang kadang begini-dan-begitu. karena hakikat dari puasa adalah sabar dan pengendalian diri, maka sia-sia saja kalau saya masih gampang meledakkan emosi untuk hal-hal yang tidak perlu, bukan? 

ketiga. saya memutuskan untuk menjadi seseorang yang bebas dari rasa benci dan iri hati. mungkin saya memang tidak akan bisa bersikap respek apalagi menghormati terhadap beberapa kalangan dari manusia — manusia senang bertengkar, orangtua selingkuh, pegawai negeri korupsi, elite politik oportunis, polisi tukang disuap… daftarnya bisa panjang, tapi setidaknya saya tidak ingin membenci. bukan kenapa-kenapa, lagipula toh saya nggak akan dapat apa-apa dengan hal tersebut, pembaca. :mrgreen:

nah. cukup tiga poin saja, pembaca. tentu saja, saya tidak bisa mengatakan bahwa ‘saya sudah menjadi manusia yang lebih baik selepas puasa yang lalu’, kalau saya masih belum juga bisa memenuhi ketiga hal tersebut dengan lebih baik dari hari-hari sebelumnya.

karena sesungguhnya, perjalanan baru dimulai setelah shalat di Hari Raya. adakah saya akan menjadi manusia yang lebih baik, ataukah perjalanan dan latihan dan apalah-itu selama puasa yang lalu hanya akan menjadi hal yang sia-sia saja untuk saya?

saya sudah memutuskan. tapi hasilnya akan seperti apa, ya masih harus dibuktikan, sih. :mrgreen:

hal-hal yang ingin saya lakukan

  1. pergi ke kota yang jauh. sendirian. backpacking. naik kereta. tidur di penginapan tidak-terlalu-mahal. adakah pembaca yang bisa menyarankan kota yang enak untuk dikunjungi? tapi sayangnya, saat ini saya yang belum bisa pergi. duh.
  2. menyelesaikan buku-buku pinjaman yang masih belum sempat dibaca. Goenawan Mohamad. Natsume Souseki. sempat melirik bukunya Tom Clancy di toko buku, tapi apa daya. membaca saja aku sulit.™
  3. main arcade, ke game center. dan menyelesaikan sebuah game dengan menghabiskan di bawah sepuluh ribu rupiah. dulu saya bisa menamatkan Time Crisis dengan tujuh ribu lima ratus rupiah. sekarang? entahlah. mungkin skill saya dengan GunCon sudah menurun. 
  4. menonton anime. dan j-drama. dan menuliskan review. Code Geass R2 masih tersimpan dengan manis di harddisk saya. Clannad After Story sudah mulai running. review Kara no Kyoukai: Remaining Sense of Pain masih menunggu untuk ditulis. kenapa bisa begitu, entahlah.
  5. jalan-jalan. ketemu manusia dan senang-senang. menjauhkan diri dari komputer untuk beberapa lama. tapi pekerjaan yang ada, kok ya selalu berhubungan dengan komputer… kurang baik untuk kesehatan mental, sebenarnya.
  6. utak-atik WordPress. dan Sandbox. buat custom theme. kalaupun masih nggak bisa lepas juga dari programming, setidaknya saya ingin melakukan sesuatu yang agak keren untuk mempercantik ‘rumah’ saya di dunia maya ini. tapi kapan ya? 
  7. menggambar. bikin komik strip. atau vectoring. ide-ide sudah berkeliaran di kepala, tapi eksekusinya tak kunjung sempat. oh Tuhan tolonglah. dan kenapa pula saya jadi teringat lagunya Chrisye?
  8. menulis. ide-ide juga sudah mengantri, tapi posting rate saya di sini sekarang cuma satu kali seminggu — kadang-kadang dua, itu juga sudah bagus. heran, kemana perginya hari-hari yang dulu ya?Â