proses belajar yang terlupakan

ini adalah hal yang menurut saya ‘agak aneh’, tapi cukup lazim terjadi di masyarakat… setidaknya, yang saya perhatikan. lebih anehnya lagi, saya tiba-tiba menyadari bahwa saya juga tidak bisa benar-benar lepas dari hal tersebut.

eh… hal ini biasanya menyangkut proses belajar-mengajar, namun banyak juga terjadi di tempat lain, sih. ini adalah fenomena yang mungkin bisa disebut sebagai ‘membandingkan dengan diri sendiri’. masalahnya, perbandingannya itu tidak valid!

contohnya kira-kira begini. pengalaman pribadi, sih.

dalam suatu kesempatan, saya diminta untuk mengajarkan konsep-konsep dasar pemrograman. for-loop, do-while, dan sebagainya dengan menggunakan Pascal.[1]

sebagai mahasiswa Computer Science yang baik hati dan suka menolong orang sudah menjalani banyak kuliah yang berhubungan dengan pemrograman, saya mencoba menjelaskan hal tersebut semampu (dan semau :mrgreen: ) saya.

dan terbersitlah pikiran tidak-valid nan menyebalkan itu. ‘konsep dasar begini, kok pemahamannya agak lama, sih?’ pikir saya, sambil bertanya-tanya dalam hati.

eh, tunggu. itu tidak valid. coba ingat-ingat lagi saat kamu pertama kali belajar programming, sisi lain dari pikiran saya mengingatkan. kamu juga dulu sama saja, kan? barangkali malah kamu lebih lambat daripada dia…

tiba-tiba, saya malu kepada diri sendiri.

belakangan, saya agak bisa memahami perilaku beberapa guru di sekolah dulu ketika berhadapan dengan murid-murid (baca: termasuk saya πŸ˜› ) yang kadang tidak bisa langsung paham mengenai materi yang diberikan.

tentu saja, tapi semua itu perlu proses belajar, kan? saya bisa berada dalam taraf ‘akhirnya lumayan bisa programming’ juga membutuhkan proses belajar. guru-guru di sekolah juga, demikian juga dosen-dosen di kampus.

tapi yang kadang terlupakan adalah bahwa kita bisa berada dalam keadaan sekarang ini setelah melalui proses belajar. dengan demikian, kita bisa dengan sadis mudah berpikir bahwa ‘anak didik itu tidak sehebat kita’, dan berpikir (dengan sombongnya, *duh…*) bahwa kita dulu lebih baik daripada mereka.

tapi, coba ingat-ingat lagi. ketika saya mengajarkan mengenai sistem digital[2], misalnya, saya juga harus ingat bahwa ketika saya menjalani kuliah tersebut nilai quiz pertama saya hanya 27.5 dari 100… (paling rendah di kelas… walaupun belakangan jadi asisten pengajar juga, sih :mrgreen: ) intinya, saya pada saat dulu belajar tidak sama dengan saya pada saat mengajar.

alias, saya juga tidak bisa sombong! kalau dibandingkan antara mereka yang saya ajarkan dengan saya yang dulu, saya mungkin sama saja… atau bahkan lebih parah. lagipula, punya hak apa saya sampai berani-beraninya berpikir sombong seperti itu?

tentu saja, ketika saya mengajarkan sesuatu kepada orang lain, saya juga harus melihat ke belakang, ketika saya pertama kali belajar. jelas tidak bisa dibandingkan dong, saya yang sudah mengalami proses belajar jangka panjang dengan orang yang baru mulai belajar? dan lebih parah lagi, kalau kemudian saya berpikir bahwa ‘saya dulu lebih baik’. kenyataannya, mungkin tidak! mungkin saya juga dulu mengalami kesulitan dalam topik yang sama (dan mungkin kemudian berhasil melaluinya, tapi itu urusan lain), tapi perasaan sombong saya saja yang menyebabkan saya berpikir demikian.

nah. kembali ke pengalaman tadi, akhirnya saya jadi malu sendiri. bisa-bisanya saya berpikir seperti itu terhadap orang yang baru belajar programming, sementara saya sendiri sudah banyak menjalani kuliah-kuliah yang berhubungan dengan programming? memalukan.

setidaknya, akhirnya saya memahami bahwa filsafat padi adalah hal yang perlu saya camkan baik-baik. makin berisi makin merunduk, karena semakin saya belajar, semakin saya sadar bahwa saya tidak tahu apa-apa.

___

[1] sebuah bahasa pemrograman (iyalah πŸ˜› ). sempat populer di masa lalu, dan saat ini masih digunakan untuk keperluan belajar dasar pemrograman di berbagai tempat.

[2] sistem yang dibangun dengan berdasarkan sinyal 1 dan 0, atau secara sederhana ‘kuat’ dan ‘lemah’ dalam konteks elektronik. barang-barang dengan label ‘digital’ dibuat berdasarkan konsep ini.

10 thoughts on “proses belajar yang terlupakan”

  1. Ma sih ga berani biar niat mau sombong juga kalo lagi ngajarin,,
    Masalahnya kadang kadang Ma sendiri kalo adek tingkat Ma yang nanyain masalah pelajaran, Ma masih harus buka buku lagi, biar bisa ngejelasin dengan lebih enak dan gampang,, Ma kan cuma menang kuliah duluan ajah,, πŸ˜›

    ahahahaha,, kalo pembandingnya Ma sih,, ga ada yang jadi lebih bego,, πŸ˜†

    Reply
  2. bukannya niat sombong sih, tapi mungkin lebih tepatnya ‘sombong secara tidak sadar’. yah, ini kadang-kadang susah sekali mengontrolnya… belakangan baru malu sendiri, kok bisa ya mikir kayak begitu? πŸ˜•

    ahahahaha,, kalo pembandingnya Ma sih,, ga ada yang jadi lebih bego,, πŸ˜†

    rendah hati ya… padahal sudah hampir jadi dokter, kan? πŸ˜€

    Reply
  3. Whuaah… nice.

    Dalam banyak hal, kejadian kaya gini potensial banget terjadi ya, konflik dalam hati dan pikiran kita, tanpa sadar tiba-tiba sempat terlintas `perasaan` kaya gitu. Bahkan sampai sering keluar dalam bentuk kata-kata.

    Selain di proses belajar mengajar, sering juga terjadi pada hal yang (mungkin) sering tidak teramati, saat berinteraksi dengan teman kita
    (atau orang lain secara umumnya). Misalnya untuk sesuatu hal istimewa atau mungkin tidak istimewa tapi itu (harusnya) lazim diketahui untuk ukuran umur dan tingkat pengetahuan kita dan teman kita itu, dan tanpa sadar kita bisa dengan spontan (atau dengan disertai kesadaran penuh) nyeletuk,

    “Hee? itu aja gak tahu? Masa sih?”,

    mungkin itu refleksi keheranan, kaget, atau `ketakjuban` kita dalam hati, “Hal kaya gini aja ini orang gak tahu? Kemana aja ?”, tapi sebenarnya saat itu pun, bisa jadi ada rasa `sombong` yang nebeng di rasa heran dan kaget kita itu. Dan mungkin juga tidak banyak yang mau ambil pusing dengan hal ini? Tergantung orangnya kali ya. πŸ˜€

    btw, saya pernah dapat ini,
    β€œKnowledge is proud that he has learn`d so much ; Wisdom is humble that he knows no more”

    Filosofi padi dengan kata-kata lain agaknya. :mrgreen:

    Reply
  4. kalau saya sih nggak pernah sampai nyeletuk, cuma didalam hati saja paling. tapi boleh percaya boleh tidak,,,jarang tuh kepikiran seperti itu.
    saya kan low profile ya nggak yud?
    eh ngomong2 sebenernya kamu tuh KP ato jadi tentor sih.. he he (jadi bingung) πŸ˜•

    Reply
  5. :: jejakpena

    …konflik perasaan bawah-sadar? mungkin, yah. untung saya nggak gampang nyeletuk πŸ˜€

    :: lily

    eh ngomong2 sebenernya kamu tuh KP ato jadi tentor sih.. he he (jadi bingung) πŸ˜•

    lah, ini kan pemikiran dari pengalaman pribadi saja, nggak ada hubungannya dengan apa yang sedang saya kerjakan :mrgreen:

    btw, apa yang saya tulis di sini tidak selalu berhubungan kok dengan sesuatu yang sedang saya kerjakan. πŸ™‚

    Reply
  6. rendah hati ya… padahal sudah hampir jadi dokter, kan? πŸ˜€

    itu sih bukan rendah hati,, tau diri,, :mrgreen:

    eh iya,, tapi Ma suka mikir juga kalo mungkin mereka ga ngerti itu gara gara Ma ngejelasinnya belibet,, :straight:

    *Ma ga bakat jadi guru sih*

    Reply
  7. hm dilematis memang hehehe dah lama gak mampir tempat yudi soalnya katanya hiatus siy hehehe saya jg lg bingung ditawarin jadi tenaga pengajar hm bisa gak yah kira-kira he3

    Reply
  8. Hm… Menarik juga.
    Kalau berada di posisi pengajar, kadang2 bisa timbul yang seperti itu.

    Tapi bagaimana ketika berada di posisi yang sama2 belajar? Mungkin bisa dibilang menyerapnya lebih cepat dibanding yang lain ya. πŸ˜•

    Reply
  9. :: Rizma

    bisa juga begitu. usahanya dulu dong ah :mrgreen:

    :: ea_12h34

    yah, tuntutan pekerjaan *wih lagaknya πŸ˜› * memang mengakibatkan proses update tidak selancar biasanya, sih.

    seharusnya sih akan kembali normal pada saatnya, doakan saja yah. πŸ™‚

    :: Xaliber

    yah, beda pemahaman sih pasti ada… tapi biasanya sih orang-orang kayak begitu (dan tidak sombong tentunya :mrgreen: ) yang saya minta untuk mengajarkan saya.

    IMO, kilasan perasaan seperti itu adalah hal yang natural. masalahnya, bagaimana menyikapinya, sih. saya cukup beruntung bisa belajar dari orang-orang jago yang baik hati. πŸ˜€

    Reply
  10. Ah Rizma,
    jadi guru itu bukan bakat, tapi niat yang kuat untuk membagi apa yang kamu tau ke orang lain. Sering banget kan kita ktemu orang yang super duper cerdas dengan IPK nyaris cum laude tapi waktu kita tanya tentang satu bab atau satu soal, dia nggak bisa ngjelasin apa-apa?
    Atau kalo kamu punya guru/ dosen favorit, coba tanya gimana dia waktu sekolah/ kuliah dulu. Kemungkinan besar nilainya pas2an, tapi dia udah nemu gimana cara supaya membuat orang lain mengerti apa yang tadinya mereka nggak ngerti, dan dia ingin membagi hal itu ke sebanyak mungkin orang.
    So, salut deh buat Yud1 dan orang2 berniat baik lainnya yang ikhlas berbagi ilmu pada orang lain, sesedikit apa pun itu ^ ^

    Reply

Leave a Reply