on being ‘good enough’ (that feels like never)

I often wonder what it means to be ‘good enough’. for myself, for someone else, for other people. for everyone, if at all possible, but of course before one says anything about it—I know, that’s not possible, not in any realistic manner at least.

but still, I often wonder.

because it sure doesn’t feel any ‘good enough’, so often, so many times. when I wanted to prove myself for myself. when I wanted to be there for others. when I wanted to take on things, to the best I could be, and still came up short in the end.

maybe there really is no meaning, after all.

for each ‘almost there’ at school, for each ‘didn’t make it’ at work, for each rejection in life. things that so much so I wanted to say, ‘I’m used to it’, but in the end it’s just me never really used to it. like a hollow theater of acceptance, if that makes any sense.

but then again, maybe I’ve grown too, in my own ways.

I remember back at school, every PE session was a pain. physically, mentally, socially. I was never able to run a full mile back then. but the me today was able to do just that, several times over. I remember at work, there were moments I felt devastated being passed over for things I had seriously pursued. but the me today has gone through better things more than few times ever since. as much I might have been reluctant to look at it, I would be lying if I just dismiss things and say, ‘nah, things don’t change, I still suck at things and I hate how it is’. because, no, that would not be honest nor true to myself.

but in how many ways could ‘better’ be ‘good enough’?

I don’t know. as much as I want to say that I have been trying my damnedest to be the best I could be, even after all this time, each failure stings. each rejection hurts.

“it is possible to make no mistakes and still lose,” I remember the saying, captain Jean-Luc Picard of the Star Trek fame, “that is not a weakness. that is life.” I like to think that’s true, but, really, how could it be so hard to see at times, I don’t know.

I wish I could be good enough.

but I couldn’t, and as much as I want to say ‘that’s okay’, it really doesn’t feel that way, not to me, not in the past years, not today.

you win some, you lose some, but you get to live another day. that might well just be life in a nutshell, like 99.99% of the time. but maybe I haven’t grown mature enough, maybe long overdue at that.

sora, tentang hidupnya

/1

anak itu sering mengucapkan ‘maaf’ dan ‘terima kasih’. untuk hal-hal kecil dan sederhana, dari mengambilkan perkakas atau kursi roda, atau pula untuk antaran pizza dan kopi pada akhir pekan. pada hari-hari yang santai kadang dia menonton serial televisi Prancis tanpa teks di layar, kadang pula episode lama Star Trek yang sering juga kuikuti pada akhir pekan.

dia lebih senang dipanggil ‘Hakim’, sesuai bagian depan dari namanya. beberapa teman-teman mengenalnya sebagai ‘Sora’ lewat tulisan-tulisannya. dia adalah juga saudara kembarku, sampai saatnya dia berpulang, beberapa waktu lalu.

hari ini aku tidak ingin menceritakan tentang kematiannya. hari ini aku ingin menuliskan tentang kehidupannya

 

/3

“enggak usah, enggak apa-apa. kita punya banyak waktu, kok,” katanya. yang langsung kutanggapi, “sudah, pakai saja dulu.”

waktu itu kami di rumah sakit. saat itu sore mengarah malam hari, dan kuperhatikan bahwa selama ini dia masih menggunakan pengisi daya model lama untuk telepon genggamnya. beberapa menit sebelumnya aku sedang beres-beres ruangan ketika dia mengatakan sambil lalu bahwa baterai ponselnya menjelang habis.

“pakai punyaku saja, sudah fast charging,” kataku, sambil kupasangkan ke kabel ponselnya. “punyaku sudah ada yang baru. pakai saja,”

yang kemudian ditanggapinya sesuai di atas itu. waktu itu aku tak terlalu memikirkannya.

“bawa saja, nanti kutaruh sini,” kataku. “harusnya sejam beres nih.”

“okee. terima kasih.”

aku hanya mengedikkan bahu. “santai,” jawabku, sambil meletakkan ponsel di sisi tempat tidur. kupasangkan pengisi daya ke stopkontak di atas kepala tempat tidur.

‘kita punya banyak waktu,’ katanya. ketika aku memikirkannya lagi hari-hari ini, rasanya jadi tidak sepenuhnya tepat. karena pada hari-hari setelahnya, aku tidak lagi bisa mendengar suaranya.

 

/4

ruang rawat intensif. suasana hening, pengunjung dibatasi, tapi sebagai penunggu pasien aku bisa beberapa kali masuk ke dalam ruangan untuk bertemu perawat dan dokter serta keperluan administrasi lainnya.

“halo,” kataku, “ini hari Rabu siang, jam 13:30. kamu di ruang ICU sekarang ini. aku baru ketemu dokter dan perawat tadi.”

pada awal-awal menginap di rumah sakit, dengan banyaknya hal terjadi sempat membingungkan buatnya, kami menemukan bahwa mengetahui posisi dan waktu agaknya membuatnya lebih tenang. jadi biasanya aku meringkaskan waktu, lokasi, dan situasi setiap kali aku bisa menemuinya.

kondisi pasien somnolen—pada dasarnya setengah sadar, walaupun masih bisa menanggapi rangsang sentuh dan suara—dan dengan keadaan tersebut, setidaknya kami masih bisa berkomunikasi. matanya terpejam, kondisi umumnya lemah, tapi setidaknya suaraku tersampaikan dan dia bisa menanggapi dengan ‘oh’ atau ‘hai’ lemah. kukatakan beberapa hal dan menyampaikan pesan dari kerabat dan teman-teman, sebagian merencanakan berkunjung.

“terus juga—” aku tercekat. pada akhirnya aku juga harus mengatakan ini, semuanya, selagi aku masih bisa menyampaikannya.

“terus juga aku minta maaf,” kataku. “buat semuanya. maaf selama ini banyak kurang-kurangnya. buatku juga aku sudah memaafkan, kita saling baik-baik, kamu enggak usah khawatir. terima kasih, terima kasih…”

aku tercekat. lagi. tenggorokanku panas.

kuperhatikan sekilas air mata menetes dari sisi kirinya. sekilas juga kudengar dia menyahut dengan ‘hoh’ lemah, yang pada seringnya kupahami sebagai pernyataan ‘iya’ dan persetujuan antara kami dalam banyak hal.

aku memalingkan muka. melangkah ke jendela. kurasakan mataku basah. orang bilang laki-laki tidak menangis. bohong.

 

/2

pada saat itu kami sedang menonton serial lewat layanan Netflix di rumah. biasanya pada sore-sore akhir pekan seperti ini kami menghabiskan waktu dengan kopi dan cemilan sambil nonton sembarang dan ngobrol seadanya.

sore itu, kami sedang menonton salah satu episode serial animasi Gudetama. ceritanya komedi sedikit absurd tentang petualangan telur dan anak ayam menjelajahi dunia, dan pada saat itu kami sedang memperhatikan kekacauan kecil di layar saja.

“Gudetama mau membusuk! kita harus menemukan kecap, cepat, cepat!” demikian kata si anak ayam Shakipiyo ketika melihat temannya si telur Gudetama tampaknya kurang sehat di awal episode.

“ah, merepotkan sekaliii,” kata Gudetama, dengan malasnya, “padahal tidak apa-apa seperti ini sajaaa,” yang akhirnya berlanjut dengan kekacauan-kekacauan dan komedi di layar kaca di depan kami.

aku ingat kami sedikit geleng-geleng kepala dengan adegan absurd di layar kaca (yang sebenarnya lucu juga). tapi pada akhirnya mereka berhasil menemukan kecap dan Gudetama tidak jadi membusuk, kemudian episode selesai.

“hoh,” komentarnya, “orang senang sekali memanjang-manjangkan umur…”

aku ingat aku hanya tertawa. memang seperti itu juga yang berlaku untuk banyak dari kita, banyak dari manusia. aku ingat waktu itu aku menyeruput Coffeemix dengan air panas dari termos. di hadapannya, seperti biasa, teko berisi seduhan daun-daun teh dari bungkus Cap Botol dengan air yang baru direbus beberapa belas menit sebelumnya.

 

/6

pekan-pekan bulan dan tahun berlalu, dan pada akhirnya kita berada di sini juga. hari-hari ini aku kembali menonton Star Trek, kadang-kadang juga menonton version francaise di TV5MONDE, dan dengan semuanya itu kurasa kita juga membiasakan diri dengan kehilangan-kehilangan.

walaupun juga tidak selalu selamanya mudah. maksudku, secara harfiah juga aku sudah bertemu anak itu sebelum aku lahir, jadi bagaimana, ya.

hari ini tanggal 5 Oktober. selamat ulang tahun, bocah. selama dulu itu kita tidak selalu bisa lebih banyak omong soal ini, tapi bagaimanapun toh seringnya tidak perlu banyak kata-kata di antara kita. buatku cukup, kurasa buatmu juga demikian.

pada akhirnya kurasa aku hanya ingin mengucapkan ‘terima kasih’ saja. aku harap tulisan ini tidak buruk-buruk amat untuk menyampaikannya.

 

/5

pada bulan-bulan setelah kepergiannya, pada sebuah mimpi pada malam hari yang rasanya sedikit aneh, aku ingat aku menemuinya.

kami bertemu pada malam hari. kami berada di sebuah tempat entah seperti lapangan bermain atau taman dalam kota. bintang-bintang di atas kepala kami. dia tampak berdiri dan berjalan-jalan, sesuatu yang sudah lama aku tak melihatnya.

kami mengobrol sekilas. kuperhatikan dia tampak kalem dan santai, sesekali berjalan-jalan dan berjongkok memperhatikan rumput di taman. pada akhirnya, pada waktunya aku pamit.

“aku duluan,” kataku.

“hm,”

“aku bilang ibu kamu agak terlambat.”

“oke.”

pada saatnya aku terbangun, seperti biasa, tidak perlu banyak kata-kata. tapi seperti biasa juga, buatku seperti ini saja cukup.

on the remaining sense of pain (physically, emotionally, of sorts)

Sunday afternoon goes by uncaringly, marked with the movement of the clock on the wall. with each second of quartz-powered batteries, as usual, the economical sense of it triumphs any semblance of sentimentality.

anyway. it has been a while since the last time I have written here. been wondering about what I could write for the title on this writing. recurring theme of these days, something like that.

in a Sunday afternoon, I find myself writing about nothing and maybe bits and pieces of everything all at once. maybe with slightly unusual theme at that, if anything.

somewhat unusual weeks, months, if I could say so.

not really anything quite special. on certain set of days, grueling and at times unforgiving days at work. on the other set of days I went to ER, got admitted, treatment and surgery, and with all that, more than a week off from work. had since been back at the, er, civilization as we knew it. not that much of big deal about it, or so I like to think.

but maybe I was mistaken on that part.

.

I might have glossed over some of the parts above. so let’s talk about what we don’t talk about when we talk about pain.

physically, mentally, emotionally.

so let’s say you have certain medical situation—not that I’m wishing that on anyone anyway—in which you were feeling constant pain. not that kind of shooting, excruciating pain, but rather the hollow, numb kind of pain that became part of your life. inadvertently, maybe, you just don’t think about those much, so you kept on running. gritting your teeth at times, maybe unconsciously so often times.

you endure, you kept on running. even if maybe like car running on fumes.

also let’s say you have certain kind of grief—also not that I’m wishing that on anyone anyway—in which you maybe have lost two or three people closest to you in recent times. friends or families death, choose what applies. you might have told yourself you have gone through the Kubler-Ross stages or whatever. so you kept on running, bits and pieces of sense of loss notwithstanding.

you endure, you kept on running. even if maybe like half-marathon with legs feeling like lead.

along the way, you got accustomed to heartbreaks. about that sense of rejection from others. about that feeling of ‘not good enough’. about that feeling of not performing to your highest standards.

‘well I know it’s a wonderful world, I just can’t see it right now’, you would say. ‘I thought I was doing well, but I just want to cry now,’ you would think, perhaps not that kindly, at times.

pain wreaks havoc, silently and insidiously. or maybe not that silent; those hollow, at times shooting pain and nausea; those choking and tears that didn’t fall when you heard a familiar tune or you see glimpse of certain series on the TV; that sense of fata morgana when you look into the past like a place that never was.

I liked to think that I could push myself through pain, that they wouldn’t affect me much. while taking on personal, social, and professional responsibilities, deeds and decisions, like some kind of ‘weathering the storm’, if that makes any sense.

I was wrong. there is no ‘weathering the storm’ applicable when physically, mentally, and emotionally, I had already been running at my limit.

.

these days I have been recovering. working things out physically, mentally, emotionally. so if you ask me ‘how are you’ questions today, I could say with certainty, well, ‘much better’, as much as I could be honest and true to myself.

‘pain is not something you bear with. pain is something you need to speak up’. that much is true, but I think it’s also true that pain is something you need to listen to yourself. you address the pain, you address whatever it is underlying the pain you experienced.

that being said. pain, they do weird things to people, man.

panda merah dan kucing dari bulan

kucing berbulu putih itu agaknya hanya muncul ketika bulan tiba. tidak selalu, tapi ketika kucing putih muncul, biasanya pada sore-sore menjelang malam, pada waktu sekitar itu juga panda merah sedang main-main di pohon di hutan tempat tinggalnya.

baiklah jadi panda merah juga biasanya hidup sendiri-sendiri, umumnya tidak berkelompok. pada umumnya panda merah beraktivitas pada sore sampai malam hari. kadang-kadang juga mereka kejar-kejaran sesamanya, atau ketika musim dingin mereka lempar-lemparan bola salju. pada sore-sore petang hari ini, panda merah banyaknya main-main di pohon kesukaannya sendirian saja.

“itu seperti temanku dulu,” kata si panda merah. tapi aku tak yakin apakah dia ingat padaku, pikirnya, jadi panda merah ragu-ragu.

“halo!” kata si panda merah. “apakah kamu kucing putih yang dulu?”

kucing itu berbulu putih dan lembut, seperti kucing turunan persia atau anggora. tapi tidak seperti biasanya kucing seperti itu ada di hutan tempat panda merah, jadi panda merah pun ragu.

kucing itu mendongak, memandang ke arah panda merah. tapi kelihatannya dia tidak marah atau kesal, mungkin sedikit kaget, tapi dia tidak mengatakan apa-apa.

“halo,” panda merah mencoba menyapa lagi. “apakah kamu…”

kucing putih itu tidak menjawab, dia hanya mendesis pelan, lalu dengan cepatnya entah seperti dikejar sesuatu, kucing putih berbalik pergi lalu melompat dan menghilang di balik pohon-pohon.

“yah…”

panda merah tampak sedikit sedih. padahal dia sudah berusaha menyapa, tapi mungkin kucing putih itu tidak suka melihatnya, ya. padahal mungkin bisa berteman dan main-main, tentu akan menyenangkan.

yang membuatnya sedikit sedih, kalau bisa dibilang begitu, sebagiannya juga karena itu bukan pertama kalinya panda merah bertemu kucing putih.

.

beberapa tahun sebelumnya. dalam silsilah hewan-hewan di hutan tempatnya tinggal, panda merah sering juga disebut ‘panda kecil’. kalau dibandingkan dengan panda yang biasa dikenal manusia, memang ukurannya lebih kecil. warna bulunya pun beda, kalau panda merah warnanya merah kecoklatan, sementara kalau panda besar warnanya hitam dan putih.

karena itu, panda besar sering mengajari panda merah, khususnya ketika panda merah masih perlu banyak belajar.

“kakak panda, kakak panda, apakah itu kucing dari bulan?”

demikian pada suatu hari ketika tampak panda besar sedang menggendong kucing berbulu putih dan halus. kelihatannya seperti dari bulan, kata panda merah. walaupun dia juga tidak tahu kucing dari bulan itu bentuknya seperti apa. dia cuma sering memperhatikan bulan kalau pas sedang berada di langit. adapun kucing putih tampaknya tidak banyak bicara, tapi kelihatannya dia merasa nyaman, jadi panda merah juga berusaha untuk tidak berisik.

“hus,” kata panda besar. “ini kucing putih, turunan ras, bukan dari sini,” demikian kata panda besar sambil mengusap-usap kepala kucing putih. “warga yang lain juga baru pertama kali melihatnya, lho.”

“jadi dia dari bulan?”

“hus.”

kucing putih mengulurkan kepala dari buaian panda besar, memandang si panda merah. panda merah melambaikan tangan, eh, kaki depannya. halo! kucing putih tampak ragu…

tapi kemudian kucing putih mengangkat sebelah kaki depannya, ke arah panda merah. halo juga, katanya, walaupun dengan cara kucing tersebut, tidak terlalu terdengar dan tampaknya lebih seperti tekuran sederhana.

.

pada tahun-tahun setelahnya, panda merah tumbuh menjadi… ya, tentu saja panda merah, bagaimana sih. tentu saja dia juga tidak tumbuh jadi panda besar, karena kan beda jenis hewannya. tapi panda merah dan panda besar tetap berhubungan baik. setelah panda merah tumbuh, panda besar mengajar di bagian lain hutan tempat tinggal mereka, jadi sudah semakin jarang bertemu. adapun kucing putih itu, beberapa kali dulu dia sempat bermain-main dengan panda merah, lalu kemudian kucing putih itu tidak pernah terlihat lagi. menurut panda besar, kucing putih tersebut memang tidak bisa sering-sering berada di hutan tempat mereka tinggal.

“tapi aku penasaran,” gumam si panda merah, “panda besar dulu ketemu kucing putih di mana, ya.”

waktu itu sore hari, dan panda merah sedang main-main di atas pohon sambil mengunyah batang bambu saja. tidak seperti manusia, panda merah tidak minum kopi racikan barista sambil melamun menikmati senja… ahem, baiklah, baiklah, kembali ke panda merah.

“kucing putih itu apa benar dari bulan, ya.”

“apa dia marah atau benci padaku, ya.”

kalau dipikirkan membuatnya sedikit pusing, jadi panda merah berjalan-jalan main-main saja setelahnya. kemudian dia naik ke pohon kesukaannya dan tidur.

.

malam itu bulan penuh terbit dari langit timur. langit cerah. kalau sedang cerah panda merah suka berhitung bintang-bintang, kadang bentuknya mirip-mirip penghuni hutan juga.

“itu anjing besar. itu kerbau. itu… oh, itu bulan!”

panda merah senang saja melihat bulan muncul. karena kalau ada bulan, jadi terang. jadi bisa main-main dan tidur lebih larut. walaupun sebenarnya juga…

krosak.

panda merah mendengar suara gemerisik di dekat pohon tempatnya berada. penasaran, dia melompat turun ke dahan yang lebih rendah.

“halo?”

tampak di depannya, kucing putih perlahan keluar dari balik semak-semak dekat pohon.

“halo,” demikian kucing putih itu bersuara, lembut. panda merah tampak terpana. yang terjadi berikutnya, sudah tentu di luar perkiraan kita semua:

“kamu… kamu bisa ngomongg?!”

entah kaget akhirnya bisa bertemu kucing putih lagi, atau entah kaget karena selama ini dicuekin terus, atau barangkali juga dua-duanya, pokoknya panda merah terkaget lalu terpeleset jatuh dari dahan.

. . . untung tidak tinggi-tinggi amat. tapi malunya itu lho.

kucing putih itu menghampiri lalu duduk saja melihat si panda merah. kelihatannya khawatir, tapi kelihatannya tidak juga, entah apa susah dibaca maksud dan perilakunya.

“aduh,” kata panda merah sambil berguling bangun, “kaget. kok kamu ada di sini?”

kucing putih tidak menjawab. tapi dia hanya mengusap-usap kaki dan punggung tempat jatuhnya si panda merah. kemudian rasanya tidak sakit lagi. panda merah tidak terlalu paham, tapi… kemudian dilihatnya bulan bersinar di langit, iya ya, benar juga.

“kamu… kucing putih, kan. kamu beneran kucing dari bulan?”

kucing putih tidak menjawab. dia hanya memandang-mandang bekas jatuhnya panda merah dengan cermat, tapi kelihatannya panda merah baik-baik saja jadi dia sedikit tenang.

“terima kasih, ya!”

kucing putih hanya mengangguk pelan. sama-sama, katanya, lalu dia berbalik lari pergi menghilang lagi.

.

lama-lama, panda merah jadi punya kebiasaan baru. biasanya dia suka mengamati bintang-bintang, tapi sekarang ini, setiap tanggalnya bulan baru dia jadi punya hitung-hitungan tambahan. kira-kira sekian belas hari lagi akan bulan purnama, misalnya.

hari-hari ini, pada gugusan bintang-bintang ada kepiting di langit. lalu pada waktunya bulan penuh terbit lagi. jadi, dia turun dari pohon kesukaannya, lalu…

“halo!” si panda merah menyapa.

“halo,” terdengar suara si kucing putih.

kucing putih itu benar-benar muncul ketika bulan penuh di langit. walaupun ketika dia mulai muncul lagi juga setelah sekian lama, karena dalam tahun-tahun sejak mereka bertemu waktu kecil dulu, kucing putih kemudian tidak pernah menampakkan diri, jadi selama itu panda merah juga tidak pernah bertemu dengannya.

“aku mau minta maaf!” kata si panda merah.

kucing putih terlihat bingung. “kenapa?”

“sepertinya kamu marah, jadi kamu diam terus pergi melulu,” kata si panda merah. “padahal aku cuma mau menyapa saja.”

“aku enggak marah kok.”

panda merah tampak sedikit bingung. tapi pada dasarnya dia senang, karena kucing putih tampaknya bukannya tidak suka atau lantas benci atau sejenisnya kepada panda merah.

“bangsa kalian membingungkan, ya.”

kucing putih tampak cemberut. panda merah terkesiap. glek.

“aku salah ngomong lagiiiii…”

panda merah ini kasihan juga ya, salah ngomong melulu dari kapan hari. tapi kali ini kucing putih tidak kabur (walaupun agaknya cuma kaget sampai terguling), tapi akhirnya, untuk pertama kali setelah sekian lama panda merah melihat kucing putih tertawa kecil dan senyum-senyum sendiri.

.

pada masa-masa setelahnya, kucing putih itu muncul hanya dua-tiga hari ketika bulan penuh, lalu setelahnya dia menghilang lagi. entah ke mana. mungkin pulang ke bulan, apakah dia benar-benar kucing dari bulan, ya. demikian pikir si panda merah.

sore itu, panda merah sedang berguling-guling main bola dari buah labu dekat pohonnya. hari ini bulan penuh, jadi sebentar lagi kucing putih sepertinya akan datang.

“halo!”

seperti sebelum-sebelumnya, kucing putih muncul dengan tampak hati-hatinya. seperti biasanya bulunya terlihat putih bersih dan lembut. seperti biasanya juga kucing putih tidak banyak bicara, jadi banyaknya panda merah saja yang menyapanya. tapi karena kucing putih tidak banyak omong, jadi panda merah lebih banyak main-main bola dari buah labunya saja.

dalam beberapa kali mereka main bareng, kucing putih biasanya lebih banyak mengamati panda merah. sesekali dia mengendus-endus buah-buahan kering atau rumpun bambu dekat pohon si panda merah, kadang kalau ada buah seperti labu yang cukup keras dia ikut memain-mainkannya.

“aku mau sering-sering ketemu kamu,” demikian kata si panda merah pada suatu kali. “kurasa kita bisa jadi teman baik!”

“tapi aku tidak bisa,” kata kucing putih, “kurasa kamu salah paham. aku tidak bisa berteman baik sama kamu.”

“tapi kenapa?”

“tempatku bukan di sini,” katanya, “aku datang dari bulan, aku cuma bisa sebentar-sebentar ke hutan di sini. aku tidak bisa sering-sering main sama kamu!”

panda merah bingung. rasanya juga sedih, dari dulu juga dia ingin berteman baik dengan kucing putih namun tidak pernah bisa. setiap kalinya juga kucing putih terus menghindar-hindarinya saja, padahal walaupun tidak bisa sering-sering bertemu, pas waktu bulan purnama panda merah senang bisa main-main dengan kucing putih.

“kamu… beneran kucing dari bulan?”

kucing putih itu mendengus, entah tampak sedih atau kecewa atau apapun itu, raut wajahnya tidak jelas.

“kamu kenapa tidak mendengarkan aku, sih? kamu salah paham, aku tidak bisa berteman dengan kamu. aku harus pulang ke bulan seterusnya, tidak bisa ke sini lagi!”

kemudian kucing putih berbalik dan berlari pergi, dalam sekejap dia sudah menghilang. tak biasanya kucing putih berlari secepat demikian.

.

pekan-pekan berlalu, dan untuk beberapa lama panda merah tidak lagi melihat kucing putih itu. bahkan ketika bulan penuh, kucing putih itu tidak hadir. rasanya sedikit sedih. memperhatikan bintang-bintang jadi tidak seasyik biasanya, demikian juga main-main dengan bola dari buah labu juga tidak seseru sebelumnya.

“apa aku ada salah omong lagi, ya…” demikian gumam si panda merah, “apa dia benar benci padaku, ya.”

pada malam hari itu, di langit tampak gugus bintang membentuk elang, di dekatnya mirip alat musik harpa, dan kalau diperhatikan, di antara keduanya tampak alur seperti kabut layaknya sungai tipis di langit malam.

malam itu, bulan penuh menggantung di langit. tapi malam itu juga, ada pengunjung yang tidak biasa.

.

“kamu yakin enggak mau pamit dulu?”

sesosok manusia, nampaknya seorang gadis, turun di sudut hutan tempat tinggal panda merah. rambutnya hitam dan lurus, diikat dalam bentuk yang tampak seperti tuan putri pada masa lalu. pakaiannya terlihat seolah dari sutra yang tampak anggun.

demikian juga tadi itu gadis tersebut bertanya dengan suara lembut kepada kucing putih berbulu lembut yang berada di pelukannya. kucing putih tampak bimbang. tapi kucing putih itu juga tidak tampak menolak atau tidak setuju, jadi tuan putri melanjutkan.

“aku panggil, ya?”

saat itu sudah malam, panda merah sebenarnya mulai mengantuk, tapi melihat sosok tuan putri bersama kucing putih yang sudah beberapa lama tak dilihatnya, panda merah mau tak mau terbangun juga.

“permisi,” sapa tuan putri, “apakah kamu panda merah?”

“betul,” jawab panda merah, “kamu siapa ya? apakah kamu temannya kucing putih?”

“iya,” tuan putri tertawa kecil sambil menutupi mulutnya dengan tangan, “kucing putih ini temanku. dia tinggal di tempatku, tapi dia suka jalan-jalan sendiri, tapi cuma bisa pas bulan purnama saja. kami tinggal di bulan, jadi tidak bisa sering-sering.”

oh, pikir panda merah. ternyata kucing putih itu benar-benar kucing dari bulan! tentu saja panda merah sudah pernah mendengarnya dari kucing putih, dan dia juga bukannya tidak mempercayai kata-kata tersebut sebelumnya, tapi mendengarnya dari sosok tuan putri di depannya, demikian itu tersampaikan sebagai sesuatu yang jujur dan apa adanya.

“kami mau pamit,” demikian kata tuan putri, “kurasa temanku ini mungkin sudah membuatmu bingung, maafkan dia, ya.”

kemudian tuan putri membungkuk, membiarkan kucing putih melompat dari pelukannya. dan untuk pertama kalinya setelah beberapa lama, panda merah dan kucing putih akhirnya kembali bertemu.

untuk beberapa saat, keduanya tidak ada yang bersuara.

“maafkan aku,” kata kucing putih pada akhirnya, “kurasa aku sudah berbuat buruk kepadamu, aku merasa begitu.”

mendengar perkataan seperti itu, panda merah jadi sedikit gelagapan. tentu saja karena gelagapan jadinya dia cuma mengatakan yang di pikirannya saja, jadi bagaimana, ya.

“tapi, tapi kamu sehat-sehat, kan? tidak sakit atau luka, kan?”

kucing putih hanya menggelengkan kepala. bagaimanapun sepertinya dia merasa sudah membuat panda merah sedih, maka diapun bercerita.

pada zaman dahulu kala, hutan di bumi adalah tempat hewan-hewan seperti gajah, jerapah, berbagai jenis beruang dan tentu saja panda merah. hutan di bumi adalah tempat yang asri, jadi hewan-hewan bisa hidup dengan tenang. sementara itu, di bulan juga ada kerajaan, tempat orang-orang tinggal, demikian salah satunya adalah tuan putri yang bersama kucing putih sekarang ini.

“jadi, tuan putri ini adalah putri bulan?”

betul, kata kucing putih. putri bulan juga tidak santai-santai, jadi kalau pas di bumi, dia juga memeriksa hewan-hewan di hutan, kadang juga seperti panda merah, kalau cukup makan dan banyak bergerak badannya akan sehat, kalau sering mengunyah-ngunyah bambu giginya akan kuat, jadi tidak perlu khawatir.

“jadi kalau aku rajin gosok gigi, kamu dan tuan putri juga tidak akan khawatir, begitu ya.”

“…”

“maaf.”

beberapa tahun lalu, kucing putih sempat menghilang ketika pergi bersama tuan putri. waktu itu pusing juga ya, untungnya kemudian kucing putih ditemukan oleh panda besar. pada saat itu juga akhirnya kucing putih pertama kali berkenalan dengan panda merah.

“tapi habis itu kamu menghilang,” kata panda merah, “lalu waktu aku melihatmu lagi setelah beberapa lama, sepertinya kamu terus menghindar.”

iya, kata kucing putih. karena setelah beberapa tahun yang lalu itu, baru belakangan ini aku bisa ke bumi lagi. waktu beberapa tahun lalu itu akhirnya pas bulan purnama aku bisa pulang ke bulan, ternyata selama itu juga tuan putri khawatir sekali. pada saat itu juga tuan putri masih lebih muda, jadi belum bisa bertugas ke bumi. untuk beberapa lama aku tinggal di bulan, kata kucing putih.

baru akhirnya beberapa waktu ini, kucing putih bisa kembali berkunjung ke hutan tempat panda merah berada. tapi tidak bisa sering-sering juga, karena dulu pernah tersesat, jadi harus selalu ingat untuk pulang dalam dua-tiga hari masanya bulan penuh di langit.

“tapi, sekarang ini, pada hari ini tugas tuan putri di bumi sudah selesai. jadi kami tidak akan ke bumi lagi untuk beberapa lama,” demikian kata kucing putih.

eh…

“jadi kamu enggak akan ke sini lagi? enggak bisa main-main bareng di sini lagi?”

rasanya kok sedih ya. padahal baru juga bisa bertemu lagi, baru bisa mengobrol lagi, tapi panda merah sudah harus berpisah lagi dengan kucing putih yang sudah lama tidak ditemuinya itu.

kucing putih menggeleng. tidak bisa, katanya. oleh karena itu walaupun sebenarnya ingin main-main juga di hutan tempat panda merah, kucing putih juga tahu dia dan tuan putri tidak akan bisa berlama-lama, karena pada akhirnya mereka akan harus kembali ke bulan lagi.

“karena itu aku minta maaf,” kata kucing putih, “karena bagaimanapun kamu panda merah sudah baik padaku. maaf kamu mungkin bingung dan sedih juga dengan perbuatanku.”

“aku juga minta maaf,” kata panda merah, “kamu banyak menghindar mungkin karena aku banyak salah omong yang tidak perlu, kurasa mungkin kamu sedih juga.”

kucing putih dan panda merah sama-sama diam. beberapa langkah agak jauh dari mereka, tuan putri juga tampak sedikit sedih, tapi bagaimana, ya. ada hal-hal yang tidak selalu sesuai harapan, dan hidup juga tidak selalu bisa sesuai keinginan dan dongeng-dongeng. walaupun entah pada saatnya nanti mungkin dia dan kucing putihnya akan bisa kembali ke bumi lagi, tapi entah kapan itu akan terjadi, juga belum bisa diketahui lagi.

.

“tapi, aku tidak apa-apa!” demikian kata si panda merah, setelah kucing putih kembali ke pelukan putri bulan. “kamu juga, sehat-sehat, ya! di manapun kamu berada.”

tuan putri tampak tersenyum, walaupun tampaknya juga sedikit sedih. kucing putih mengangkat kaki depannya, mencoba melambaikan perpisahan dengan entah canggung entah juga sedikit enggan. pada saatnya nanti mungkin mereka akan bisa ketemu dan main-main lagi, entah, tapi untuk saat ini, sekarang ini, tuan putri dan kucing putih harus berpisah dulu dari panda merah dan hutan tempat mereka berada.

adapun panda merah, ya… tetap saja panda merah. dia mungkin sedikit sedih, tapi dia akan baik-baik saja. setidaknya dia juga berharap bahwa kucing putih, tuan putri, dan semua orang-orang baik akan selalu sehat dan berbahagia.

all that time at the center of the world

“so this is what may or may not matter to you, right now,” he said, “that time is one of the social construct we are forced to live in.”

obviously.

“let’s just say you have this G-Shock here, ay? I mean them sturdy bunch,” he declared ostentatiously, “now it doesn’t make sense if you want me to meet someone here, 9.30 a.m., while everything revolves around what time is agreed between you, me, and this other… chick we haven’t met in like, ten years, twenty years, something like that.”

pretty much.

“now we are hanging out in a railway station—“

“mass transit.”

“—like two people out of place, and it’s not like we are waiting in Tochigi for the train departing from Tokyo or something.”

uh, no. definitely no.

“right?”

“right.” as I replied, “time is a social construct and no, we are not in Tochigi…”

sigh.

“… and if anything, you could have used smartphone or social network or something meanwhile all that time in between,” I continued. “dumbass.”

“that’s rich coming from you.”

“I’d say so.”

now, one of the features of this station—actually not dissimilar to any train station with any ounce of sensibilities—is that we have large clocks, digital; though as much as I would have liked Swiss design railway clock, beggars couldn’t be choosers, so we roll with what we have. overall no one is complaining, also not everyone needs to have Swatches or G-Shocks on their wrists at all times.

or at all times they were outside, to say the least. on the inside time may or may not be appreciated with so much exacting manners; our understanding of the nature of time has not been challenged too rigorously with regard to willingness to wake up in a Saturday morning, for example.

anyway science marched on, and along with it technology rolled forward, so our relationship with time have become more or less fixed with numbers and hours: from the clocks on the wall to quartz wristwatches to basic feature in smartphones, also screens in stainless steel frames telling the arrival schedule of incoming trains.

“I wonder what changed though,” he muttered. I shrugged.

“like what? the person or the times?”

“um. if we put it that way, I’m going to meet someone I haven’t seen in a long while, things may or may not have changed. life happens, people drift away.”

“well, at least this person does not feel too threatened to meet you.”

“huh.”

“I don’t know, that’s not always the case with people.”

from the beginning of their existence, railway stations have always been rife with metaphors of meetings and farewells. the clocks mark our uneasy relationship with time, arrivals are of fleeting joy, departures are of transitory sorrow. along the way we appreciate little good things like fast food to go or ekiben-style lunch box, in the fullness of time hours and minutes blur into shadows.

time is one of the most precious things you could give to someone. you are giving them part of your life you could never take back.

I decided to take a walk and buy some coffee from the vending machine.

.

it was around the time when the train arrives ten minutes before 10 a.m.; in the society as we know it the efforts in maintaining punctuality of trains in itself has been studied in depth, methodically and scientifically. our relationships with time have often been uneasy, but for all practical purposes, having trains arriving on time has never been known as the bane of significantly many people in the world.

familiar reverberation, followed by familiar tone, followed by familiar announcement. the train stopped moving and doors were opening.

a woman walked out. she looked at us and smiled with some sort of reservation we haven’t been unfamiliar with. I smiled back at her.

“hello, it has been a while,” I greeted. she nodded with a smile. as I grinned, “now you probably remember our friend here…”

as for the train bound to the next station, its doors closing and the announcement marked the departure from the place we were in.

tentang kecemasan, kehilangan, resiliensi

beberapa waktu lalu seorang rekan sempat bercerita tentang pengalaman—pada dasarnya sesuatu yang sifatnya lumayan pribadi—tapi secara singkatnya rekan saya ini mengalami kegamangan terkait kehilangan yang baru dialaminya. demikian itu juga membuatnya cemas akan hal-hal lebih tidak enak yang mungkin akan terjadi.

tentu saja kalau ditulis seperti itu, ‘kehilangan’ ini tema yang luas, ya. detailnya sendiri tidak terlalu penting untuk bahasan kali ini. tapi soal kegamangan dan kecemasan ini, bagaimana ya, saya paham bahwa demikian ini bisa menyesakkan sekali untuk sebagian dari kita.

.

kenyataannya, perasaan gamang atau cemas terhadap kehilangan juga sesuatu yang sepenuhnya manusiawi. kehilangan hal-hal—atau bahkan membayangkan kemungkinannya saja—rasanya bisa menakutkan sekali!

pengalaman dan kedewasaan juga mempengaruhi. realistisnya, memasuki usia tertentu, hal-hal yang tadinya terasa jauh mulai memasuki ranah kemungkinan-kemungkinan dalam perjalanan kita. orangtua tidak akan ada selamanya, pasangan mungkin akan putus juga, teman-teman bisa jadi akan pisah jalan tak bersama kita. mungkin akan terjadi musibah atau kecelakaan, mungkin akan terjadi kita kehilangan sebagian harta, apapun itu.

pada dasarnya juga bukan hal yang tidak wajar. kecenderungan manusia untuk cemas terhadap kemungkinan kerugian atau kehilangan juga menjadi topik yang umum dalam bidang psikologi dan ekonomi perilaku[1]; banyak studi dan buku juga sudah ditulis terkait bahasan tersebut.

.

kita lebih sering menderita dalam bayang-bayang daripada kenyataan, demikian kata seorang bapak filsuf Seneca.

dulu saya berpikir, pada dasarnya untuk mengantipasi hal-hal buruk yang mungkin terjadi, perlu juga mempersiapkan untuk mencegah, atau setidaknya meminimalkan kemungkinan terjadinya. maksud hati sih supaya tidak cemas amat, ya. sebisa mungkin jangan sampai hal-hal buruk terjadi, walaupun pada akhirnya saya belajar…

… bahwa demikian itu tidak sepenuhnya berguna, pembaca. (lah?) 😆

maksud saya begini. memang pada dasarnya mempersiapkan kemungkinan itu hal yang bagus, tapi pada akhirnya kita tak akan selalu berhasil juga. hal-hal yang kita anggap ‘buruk’ toh akan terjadi juga, bagaimanapun caranya. patah hati sih terjadi saja, teman-teman datang dan pergi juga, barang-barang ada masanya dan nominal di rekening sih ada saja cara keluarnya.

atau singkatnya: mau direncanakan sebanyak apa juga, dibuat secemas apa juga, praktisnya sih bakal kejadian juga.

jadi, alih-alih mengobsesikan diri (bahasa apa sih ini) terhadap kecemasan dan ketakutan menghindari hal-hal buruk dengan perencanaan berlebih yang bikin mumet—dan tidak bikin lebih tidak cemas juga—saya menemukan bahwa lebih penting buat menumbuhkan resiliensi[2] terhadap hal-hal yang pada dasarnya tidak menyenangkan untuk dibayangkan. bahwa setidaknya, untuk banyak hal yang mungkin terjadi, entah apapun itu nanti, saya punya kesiapan untuk menyikapi dan beradaptasi.

tapi kan kita tidak tahu apa yang mungkin akan terjadi? ya justru itu. resiliensi adalah bagaimana kita berhadapan dengan hal-hal, baik atau buruknya, yang bahkan kita belum tahu akan jadi seperti apa. hubungannya ke banyak hal yang sifatnya ke dalam diri, misalnya terkait regulasi emosi, empati, dan yang penting juga adalah efikasi diri (‘self efficacy’): bahwa kita bisa punya keyakinan diri yang valid—alias bukan sok-sokan asal ceroboh juga—bahwa segala sesuatu itu pada akhirnya akan bisa kita hadapi juga.

sederhananya sih kira-kira kemampuan untuk bisa ngomong, ‘enggak apa-apa kok kejadian juga, gimana-gimana nanti bisalah kita urus’.

masalahnya, untuk menumbuhkan resiliensi ini juga tidak sederhana amat. salah satu caranya, ya, dengan mengalami dan melaluinya sendiri, baik secara langsung maupun relatif bertahap[3].

.

saya ingat mengatakan kepada rekan saya bahwa tidak sepenuhnya adil kalau saya membandingkan diri dengan keadaannya. bagaimanapun saya sudah mengalami dan berproses melalui hal-hal terkait ‘kehilangan’ ini, banyak atau sedikitnya, jadi kalaupun saya berada di posisinya, bisa jadi juga akan memiliki penyikapan yang tidak sepenuhnya sama.

tapi saya bisa mengatakan bahwa, ketika kehilangan itu terjadi, sekalipun memang akan sakit dan tidak enak (iyalah, duh), tapi… tidak selalu harus sesakit bayangan kita juga. bahwa ada saatnya apa yang terjadi tidak selalu harus seburuk ketakutan kita sebelumnya.

walaupun tetap saja sakit lho ya. siapa juga yang bilang terus jadi gampang.

pada akhirnya yang terjadi toh terjadi juga, yang kita lalui toh kita lalui juga. kita belajar, kita jadi sedikit lebih tangguh, dan setidaknya kita jadi sedikit lebih paham tentang satu dan lain hal. dan… ternyata kita masih hidup, tidak rusak amat, dan kecemasan kita sebelumnya, walaupun valid, tidak lagi punya banyak makna di hadapan kita.

tentu saja ini juga sesuatu yang sifatnya relatif terhadap individu, demikian juga ketahanan masing-masing kita tak selalu sama. tapi ada pilihan untuk tidak selalu terbelenggu kecemasan-kecemasan—karena toh mau diapakan juga akan terjadi saja, buat saya lebih baik mempersiapkan bukan melulu keadaannya, tapi juga resiliensi untuk hal-hal yang baik atau buruknya toh akan kejadian juga.

bukan berarti terus jadi sederhana juga. tapi percayalah, sering juga terjadi kita lebih tangguh daripada yang kita kira.

___

[1] salah satunya teori prospek (‘prospect theory’) yang dikembangkan oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky.

[2] resiliensi di sini adalah konsep yang juga banyak dibahas dalam studi psikologi. definisinya banyak, tapi salah satu yang umum adalah korelasinya dengan regulasi emosi dan efikasi diri.

[3] pada ranah psikologi klinis, salah satu pendekatan misalnya melalui terapi eksposur (‘exposure therapy’) terhadap sumber kecemasan secara gradual; teknik ini merupakan intervensi tingkat lanjut sesuai kebutuhan individu.

top gun: maverick (2022)

bagaimana caranya meramu nostalgia dalam konteks yang berimbang (dan tetap relevan) dalam sekuel dari sebuah film legendaris yang dirilis 35 tahun sebelumnya?

Top Gun: Maverick mencoba dengan cukup berani… dan cukup berhasil, sambil tetap cukup sadar dengan dirinya sendiri.

Paramount Pictures

membicarakan film ini juga tidak bisa terlepas dari konteks edisi aslinya. suka tidak suka, Top Gun adalah fenomena kultural pada masanya. tentu saja edisi aslinya juga bukan jenis yang akan jadi favorit kritikus atau sejenisnya, walaupun demikian itu juga tampaknya bukan hal yang penting amat buat banyak pemirsa.

kalau belum pernah menonton edisi aslinya, film ini toh asyik-asyik saja: penerbang tempur kembali ke akademi melatih generasi baru, pertempuran udara yang seru dan asyik, dengan bumbu drama dan efek visual yang lumayan. tapi banyak hal jadi jauh lebih mengena untuk pemirsa yang familiar dengan edisi aslinya. banyak homage dan callback yang sungguh…

…aduh, saya ingin mengomentari beberapa hal, tapi hal seperti ini baiknya dibiarkan saja jadi kejutan tersendiri. sudah nonton saja sendiri, ya.

perkara ‘baru’ dan ‘lama’ ini juga terjembatani dengan baik dalam film ini. kombinasi karakter-karakter lama dan baru tampil berimbang, masing-masing dengan plot point yang cukup menyentuh di beberapa bagian. demikian juga soal musik—antara Top Gun Anthem yang ikonik dan lagu tema baru Hold My Hand dari Lady Gaga, misalnya, sungguh berhasil masuk jadi kombinasi yang asyik sepanjang film.

pada akhirnya Top Gun: Maverick adalah tentang Maverick. seperti juga edisi aslinya dulu, tidak perlu terlalu pusing dengan alur cerita yang pada dasarnya tergolong linear, demikian juga perkara suspension of disbelief yang mungkin baru jadi bahan pikiran setelah selesai menonton, berhubung film ini tampaknya juga sadar diri bahwa Top Gun itu ya… Top Gun. tidak kurang dan tidak lebih.

demikian juga film ini adalah tentang karakter Maverick dalam salah satu dialog sebagai penerbang tempur—konon juga mengkiaskan proses produksi film ini pada umumnya—bahwa pada akhirnya zaman berubah juga, tapi tidak harus semua-semua jadi kehilangan relevansinya.

“the end is inevitable, Maverick. your kind is headed for extinction.”
“maybe so, Sir. but not today.”

‘setidaknya bukan hari ini’ untuk film ini. saya kira banyak pemirsa akan setuju.

it’s not complicated

boy meets girl. he likes her. she doesn’t.
it’s not complicated. not at all.

boy goes to work. he wants to do something. it doesn’t.
it’s not complicated. not at all.

boy comes home. he misses things were there. it doesn’t.
it’s not complicated. not at all.

.

for boys don’t cry, men only bleed,
and life is just what happens.

.

it’s not complicated. not at all.

(bukan) surat, kepada . . .

. . . kamu. (tentu saja, duh)

tadinya aku mau mengawali ini dengan ‘lama tidak ketemu’, tapi kupikir-pikir lagi, kurasa agak kurang pas, ya. mungkin lebih tepatnya ‘aku senang kita bisa ngobrol lagi’, walaupun kalau dibilang seperti itu juga jadi bagaimana, ya. seperti ini juga kadang membingungkan, jadi yah sudahlah.

setahun terakhir ini kita jadi lebih banyak mengobrol. entah apakah itu hal yang baik atau buruk, ya. maksudku aku senang, tapi menyadari seperti itu tidak selalu membuat orang lain nyaman aku paham juga. bagaimanapun kamu ya kamu, dengan batasan-batasan yang sepenuhnya hak kamu untuk memutuskannya.

iya, aku paham.

jadi, baiklah, aku mau pengakuan dosa, ya. untuk pertama kalinya setelah tahun-tahun berlalu akhirnya aku patah hati juga. tapi enggak apa-apa sih, toh sama kamu juga jadi enggak masalah. (aduh)

di dunia yang luas ini hal seperti itu sering terjadi. seperti itu juga bukan sesuatu yang harus jadi beban buatmu. lebih penting daripada itu kurasa adalah buatmu belajar menemukan kebahagiaanmu sendiri.

aku ingat dulu aku sempat bilang sambil lalu, apapun itu, ‘berbahagialah, ya’. entah di manapun itu atau dengan siapapun itu, menurutku yang penting adalah buat kamu selalu bisa jujur dengan dirimu sendiri. kalau tidak seperti itu akan berat sekali. kupikir juga kamu tidak perlu terlalu memikirkan banyak hal tentang apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh orang lain. tentu saja semua ada kadarnya untuk tidak ‘terlalu’. tapi kalau dibilang begitu kesannya jadi seperti menggurui, maaf ya. bukan maksudku seperti itu.

bagaimanapun seseorang kalau sudah waktunya terluka akan terluka juga. kadang tidak banyak yang bisa kita lakukan tentang itu, bagaimanapun aku tidak ingin kamu menjadikan ini sebagai beban. kalau kita merasa harus selalu bertanggungjawab terhadap apa-apa yang dirasakan oleh orang lain akan berat sekali.

oleh karena itu kepada siapapun kamu jangan sungkan. mungkin akan berhasil, mungkin juga tidak, tapi kalau kamu menemukan kesempatan untuk berbahagia, ambillah kesempatan itu dan berbahagialah. kesempatan seperti itu umumnya tidak cuma datang sekali, tapi tidak akan banyak juga, jadi kalau orang sampai melewatkannya bisa jadi akan menyesalinya seumur hidup.

sekitar ulangtahunmu kemarin di langit dekat rumahku ada Vega, atau aku lebih suka mengingatnya Orihime, baru terbit agak ke timur di malam hari. kupikir-pikir, benar juga ya, waktu itu dekat Tanabata. kalau ingat ceritanya jadi ingat kamu juga, jadi anggap saja itu punya kamu. kurasa aku akan ingat kamu juga kalau pas waktunya dia kelihatan di langit kapan-kapan.

suatu hari mungkin kita akan bisa ketemu dan mengobrol lagi, entah mungkin pada suatu hari yang santai di antara pekan-pekan yang sibuk.

ke arah manapun jalanmu nanti, aku harap kamu akan selalu sehat dan bahagia. terima kasih, ya.

幸せになってね。

.

P.S.: aku ingat waktu terakhir kali kita ketemu dulu. kamu pakai kaos hijau tua dan jeans. maaf terlambat sekali bilangnya—kamu cocok seperti itu. cantik.

langit biru, rumput hijau. abu-abu.

“kupikir mungkin kamu perlu banyak ketemu sama teman-teman. waktu itu anak-anak 2-I pada kumpul. di rumahnya—” dia menyebutkan nama seorang teman sekelas kami dulu, “—menyenangkan, lho.”

aku tidak menjawab. kanan, kiri, kanan, kiri.

pada suatu pagi tersebut aku dan dua orang teman dari masa sekolah dulu sedang melakukan lari pagi sederhana—jogging—mengelilingi beberapa petak daerah di selatan ibukota. sesekali diselingi jalan cepat, kemudian lari kecil kembali, kira-kira seperti itulah. sudah agak lama juga aku tidak menemui mereka seperti ini.

“kamu sengaja nggak datang, ya?” dia bertanya sambil nyengir. “duh kok jadi menghakimi, maaf yaaa…” demikian itu tentu saja aku juga tahu dia cuma bercanda. kami sudah saling mengenal selama belasan tahun sebagai teman baik, jadi kami terbiasa mengobrol secara blak-blakan dalam banyak hal.

“menyenangkan, buat orang lain,” jawabku. “aku nggak diundang.”

dalam sedikit hal yang kuketahui adalah bahwa pada beberapa waktu lalu teman-teman sekelas pada waktu kelas dua di sekolah menengah atas mengadakan reuni kecil-kecilan. entah kapan persisnya dan berapa banyak teman-teman yang datang, kupikir-pikir juga bukan sepenuhnya urusanku benar.

aku tak ingat apakah masih ada komentar lagi setelahnya. yang kuingat adalah aku hanya meneruskan berlari saja, dan ketika tersadar aku berhenti di dekat persimpangan, ternyata teman-temanku berada agak jauh di belakang.

pohon dan rumput hijau bergoyang tertiup angin. kurasakan napasku sedikit memburu. rambutku sedikit basah.

.

kurasa aku belum menceritakannya, jadi baiklah. aku dan teman-teman yang kutemui—kami bertiga—satu angkatan pada masa sekolah menengah dulu. ada yang sekelas pada waktu kelas dua, ada yang pada waktu kelas satu, tapi kami semua saling mengenal dengan baik. melewati masa kuliah, masing-masing kemudian bekerja, demikian itu kami masih sering mengobrol bertahun-tahun kemudian.

“biarkan kami membantu kamu, yah. pokoknya, ditunggu.”

demikian kata-kata yang kuingat beberapa hari sebelumnya. waktu itu kami sedang bicara melalui telepon, pada umumnya mengenai keadaanku setelah banyak hal terjadi pada tahun yang baru lalu. kukatakan bahwa aku sedikit enggan, dan walaupun pada umumnya keadaanku baik, aku sedang tidak ingin melakukan banyak hal belakangan ini.

yang pada akhirnya mengantarkanku kepada kata-kata di atas itu.

kadang-kadang perlu memaksakan diri untuk hal-hal yang kita butuhkan, katanya. demikian itu juga sesuatu yang kupahami. jadi pada akhirnya kuputuskan untuk menerima undangannya.

intuisi perempuan, mungkin. dengan sedikit pemaksaan yang mungkin pada dasarnya perlu juga.

.

melewati beberapa kilometer lari diselingi jalan cepat, matahari mulai sedikit tinggi jadi kami kembali ke tempat awal. tegel konblok dan rumput, langit biru dan awan tipis putih. kami sedang di lapangan parkir. cuaca cerah.

“aku ingat pernah ikut mobilmu,” kataku kepada temanku yang laki-laki. “tapi kayaknya kok lain, ya.”

“kapan? sebelum pandemi? ini sudah tiga tahun kok. sudah lunas juga!” jawabnya sambil tertawa.

“tahun lalu harusnya ya. waktu itu kan kita ketemuan, berangkat jalan kaki. pulangnya sampai Fatmawati. kan aku turun di belakang rumah sakit—”

dekat HCU dan unit kemo— uh.

“—tapi kupikir salah kali ya,” aku menukas sambil tertawa saja, “kebanyakan urusan, ingatan jadi rada payah nih kayaknya. sori.”

“jadi mau makan apa kakak-kakak?” demikian suara temanku yang perempuan, “di sini ada—” dia menyebutkan beberapa tempat, “—jadi nanti tinggal cari promo apa yang ada. begituu…”

aku ingat aku mengatakan ‘terserah saja’ (jawaban tidak diterima), jadi setelahnya aku asal menyebut saja tempat yang cukup enak bisa dipakai mengobrol sambil sedikit sarapan.

.

“entah. aku nggak merasa terhubung dengan pernah sekolah di sana,” demikian kataku sambil kami duduk istirahat santai. “selain beberapa orang—salah duanya kalian—di luar itu aku nggak mengidentifikasi diri dan masa lalu ke sana.”

“ada yang lain juga kan itu,” temanku yang perempuan menukas sambil menyebutkan beberapa nama. kutanggapi dengan ‘begitulah’ singkat.

“sebelas-dua belas juga dengan tempat kemarin itu.” aku melanjutkan, “belajar banyak hal di sana, bersyukur soal itu, nggak akan kusangkal, tapi aku nggak mengidentifikasi diri dan masa lalu ke sana.”

“karena situasi kemarin? menurutku itu situasi luar biasa. nggak ada yang nggak terimbas. di industri sana apalagi. banyak orang-orang bagus yang kukenal mengalami juga. bukan cuma kamu.”

“mungkin. bisa jadi. entah.”

“tapi apapun itu,” kataku, “balik ke omonganmu tadi. ‘anak-anak kelas dua ketemuan kemarin’. ‘menyenangkan, lho’. yang kupikirkan, ‘aku nggak punya tempat di sana’. ‘menyenangkan, iya. buat orang lain’. mungkin kedengarannya aku seperti jaded—aku tak ketemu padanan bahasa Indonesianya yang tepat—tapi itu juga bukan sesuatu yang tidak bisa kupahami. memang seperti itu kan kenyataannya.”

kami masih membicarakan cukup banyak hal lain setelahnya. tentang hal-hal yang kualami pada tahun yang baru lewat, karir dan keluarga, beberapa juga hal-hal yang sedikit pribadi dari masing-masing sejak terakhir kali kami mengobrol seperti ini.

.

“tapi, kelihatannya kamu sudah agak lebih bahagia dibanding terakhir kali,” katanya. “yah, baguslah.”

entah bagaimana dia menilainya. intuisi perempuan, mungkin. lagi.

“mungkin,” jawabku, “tapi apa iya.”

saat itu kami sedang di minimarket. aku tidak belanja, demikian juga dia, jadi kami sedang menunggu antrian teman kami saja. kuperhatikan di dekat kami ada beberapa tumpuk roti dan sirup di rak. bunyi mesin cetak struk dan sesekali suara anjungan tunai mandiri dari pengguna yang datang dan pergi.

“kemarin aku dengar lagu,” kataku. “Wonderful World-nya mas J.M.”—James Morrison, maksudku—“dan kupikir rasanya, sialan, kena benar. banyak hal-hal baik di dunia, aku tahu, tapi buatku mungkin cuma lagi nggak kelihatan saja. entah seberapa baik atau buruknya itu.”

“sesuatu seperti, ‘well I know that it’s a wonderful world, but I can’t feel it right now!’” walaupun ketika aku mencoba menirukannya dengan suara serak seperti aslinya rasanya jauh betul, “yah mohon maaf harap maklum. tapi seperti itulah kira-kira.”

dia hanya tertawa. beberapa saat kemudian kami bertiga sudah di luar lagi. hari sudah agak siang. ketika aku memandangnya langit tampak biru cerah. awan putih tipis menggantung seperti kapas.

.

kami berpisah di pelataran beberapa menit kemudian. mereka masih ada urusan bersama setelahnya (‘oke, kami duluan, ya. kapan-kapan kita ngobrol lagi, sehat-sehat!’), jadi setelahnya aku mengarahkan langkah sendiri saja. seperti biasanya, seperti sewajarnya.

halte busway di kejauhan. mobil-mobil di tempat parkir. beberapa orang berlalu-lalang. sepeda motor memasuki tikungan lalu menghilang dari pandangan. demikian itu sambil berjalan kaki aku melihat-lihat seputaran sekelilingku.

rumput hijau. konblok abu-abu. langit biru. awan putih.

. . . benar-benar dunia yang indah.

walaupun entah aku tidak bisa melihatnya sekarang ini. entah mungkin nanti.