prolog /
2014, Juni . . . 2015, Juli
“pacarmu nggak marah?”
“oh, aku sudah bilang kok mau ketemu kamu.”
“terus kamu bilang apa ke dia?”
“aku bilang ada temanku, namanya—” dia menyebutkan namaku “—sudah lama nggak ketemu. terakhir cuma sempat dua kali.”
aku tidak menyanggah. memang benar seperti itu sih kenyataannya.
“tapi lucu juga sih ya,” aku menukas santai, “sejak terakhir kita ketemu, kamu baru putus. terus sendiri, terus sudah pacaran lagi, lalu sudah putus lagi, dan sekarang sudah jalan sama orang lain lagi…”
dia tampak cemberut seolah hal seperti ‘sudah punya pacar lagi’ itu semacam hal yang tidak ingin dia ungkit benar.
“…sementara aku masih belum juga pergi dari gadis yang sama. wah. kupikir apa aku ini setia banget ya.”
“bukan berarti aku nggak setia begitu juga sih ya,” dia menyanggah sedikit sebal. lalu melanjutkan; “kamu, masih yang dulu?”
“masih yang dulu.” aku menjawab.
1 /
matilda
2014:
“sudah di lokasi. kalau lihat ada cowok keren pakai kacamata, disapa saja, ya.”
demikian pesan pendek setengah bercanda yang kukirimkan lewat telepon genggam. waktu itu Sabtu siang. aku duduk pada undakan yang terbuat dari tegel keramik hitam di sisi kolam, membelakangi air mancur yang bergemericik ringan. orang-orang ramai, sebagian berbelanja, sebagian lain berjalan-jalan. beberapa yang lain tampak duduk-duduk di undakan serupa tak jauh dari tempatku.
aku menangkupkan telapak tangan, memandang ke lantai. menunggu. satu menit, dua menit, tiga menit…
“heiii.”
aku menengadah. seorang gadis dengan baju dan rok terusan putih berdiri di depanku. anaknya manis, dengan kulit sedikit gelap dan rambut sebahu yang dibuat potongan bob yang rapi. dia mengulurkan salam. aku menyambutnya.
“hei, cil. rapi bener.”
“baru dari gereja tadi,” dia tampak merapi-rapikan roknya, “ini jadi rapi banget sih.”
“bagus kok begitu.”
namanya Matilda. resminya dipanggil ‘Tilda’, tapi kalau orang-orang sedang iseng sering juga dipanggil ‘Mamat’. jangan tanya kenapa, aku juga bingung.
aku sendiri biasa memanggilnya dengan sepotong ‘cil’. sekali lagi, jangan tanya kenapa. aku juga bingung dulu bagaimana ceritanya. pokoknya begitu.
2015:
“temui aku di tempat kita pertama kali ketemu dulu. oh, dan bateraiku sudah mau habis. kalau sudah nggak ada jawaban, kamu sendirian, ya.”
“cih. oke.”
demikian rangkaian pesan pendek dan jawabannya yang kukirimkan dari tempat yang sama, setahun kemudian.
tempat ini tidak banyak berubah. lampu-lampu terang, air mancur di belakang sisi undakan dari tegel batu dan keramik, serta aku yang sekali lagi duduk di sana, sendirian. kadang hal-hal kecil dalam hidup rasanya seperti metafora sekali. maksudku, seperti sekarang ini. banyak hal-hal berubah, beberapa hal tetap.
aku menunduk, menyilangkan jari-jari di telapak tangan. menunggu.
“yuuuudd.”
aku menengadah. tersenyum. dia tersenyum balik dan melambaikan tangan. hari itu dia mengenakan jaket dan celana panjang berbahan jins. senyumnya tidak banyak berubah, walaupun kalau diperhatikan benar tampak dia sedikit letih. bukan hal yang tidak wajar, pikirku…
“J.Co?”
“boleh. kita ngobrol saja, ya. aku nggak ikut minum.”
pada Jumat siang di bulan Juli, masih dalam hari pada bulan puasa ketika kami bertemu. kira-kira lewat tengah menjelang sore hari. cuaca terbilang panas dalam perjalananku tadi, dan dengan keadaannya sekarang ini, kurasa demikian dia cepat bisa duduk dan beristirahat akan lebih baik.
“huah, panas. sekalian aku perlu minum obat. maaf ya.”
kukatakan santai saja, lagipula toh aku juga sedang puasa. masih cukup lama sampai waktu berbuka, dan kalau bisa sambil ngobrol santai sebelum kami berangkat lagi kurasa cukup.
tapi kata-kata terakhirnya itu, ada ceritanya sendiri.
2 /
lymphoma . . . and everything else
2014:
kami menghabiskan siang hari sambil membicarakan —di antara banyak hal lain— tentang rencana ke depannya terkait kepindahan kerja ke sebuah firma konsultansi internasional. pada dasarnya ini merupakan pengalaman baru buatnya. pendekatan empiris dan angka-angka untuk memetakan strategi bisnis, kira-kira demikian hal-hal yang sedang dan akan dihadapinya dalam pekerjaannya tersebut.
sejauh ini menyenangkan, katanya. tapi harus sering pergi dan kadang-kadang capek juga. pada saat kami mengobrol salah satu penugasannya meliputi banyak perjalanan dalam kota yang jaraknya lumayan jauh dan sering menghabiskan waktu tersendiri.
“kamu anak teknik sih, jadi seharusnya nggak susah buat pindah ke consulting,” demikian kataku. “buatku juga bidangnya menarik. kadang penasaran juga.”
aku lantas melanjutkan, “cuma ya sepengetahuanku sih pekerjaannya bakal menuntut sekali. kamu kalau mau menikah perlu dipikirin tuh, nggak semua cowok bisa paham cewek-cewek mengutamakan karir, kan.”
“aku baru putus kemarin.”
“eh?”
kemudian dia bercerita sedikit panjang tentang keadaannya saat itu. bukan persis ‘kemarin’ juga dari saat kami mengobrol, entah mungkin sudah beberapa minggu atau satu-dua bulan sudah berlalu. bukan tak ada juga yang mendekati setelahnya —ada seseorang, katanya— tapi kurasa mungkin dia juga merasa belum saatnya untuk memulai lagi.
beberapa saat dalam percakapan kemudian dia menanyakan tentang keadaanku. kujawab dengan kira-kira singkat dan jujur sesuai keingintahuannya.
ada seseorang, kataku. kuceritakan sekilas bahwa keadaan kami kira-kira tidak jauh berbeda.
2015:
“aku sempat cerita sedikit tentang kamu ke dia,” demikan kataku. “nggak sampai mendetail banget sih. aku cuma bilang, ada temanku, diagnosis CA[1]. lymphoma[2].”
aku menyandarkan punggung di kursi, memejamkan mata, kemudian melanjutkan. “dipikir-pikir lagi, banyak hal berubah, ya.”
meja kayu dicat gelap. lampu kuning sedikit redup. sofa yang tidak terlalu empuk. gadis di depanku menggenggam gelas berisi teh dingin. di dekatnya sepotong donat terletak di sisi meja.
aku ingat bahwa dalam bulan-bulan sebelumnya dia mengabarkan bahwa kondisinya tidak begitu baik. dalam waktu singkat diketahui prognosis[3] berupa kemungkinan TB kelenjar atau lymphoma, dan dalam observasi lanjutan ditemukan diagnosis seperti yang kusebutkan barusan.
lymphoma malignum hodgkins. kanker getah bening.
tapi dia sendiri bukan tipe yang senang menderita atau tampak sedih juga. walaupun kalau dari ceritanya, rangkaian sesi kemoterapi itu jelas bukan sesuatu yang menyenangkan. apalagi ditambah patah hati pula, katanya sambil tertawa.
“aku sambil minum obat, maaf ya. kamu kan lagi puasa juga.”
“santai saja.”
aku memperhatikan kapsul dan tablet yang dikeluarkannya dari bungkusan. cukup banyak.
“hal-hal seperti ini bikin kepikiran ya…” kataku. “di depanku ada orang seperti kamu, lymphoma dan semuanya, problemku kayak gimana juga rasanya jadi kayak nggak pantes juga.”
“mana bisa begitu,” dia menyanggah. “masalah orang kan beda-beda. terus kalau aku sakit kamu jadi nggak boleh curhat, gitu?”
aku memandangnya. mencoba tersenyum. entah, ya…
3 /
indonesia mengajar
2014:
Lamdesar. demikian nama desa di Maluku yang kemudian kuketahui berada di sisi selatan dari bagian timur Indonesia. penugasannya dalam program Indonesia Mengajar[4] memberikan waktu cukup lama untuk tinggal di sana, mengajarkan banyak hal dan belajar banyak hal pula. kalau di sana dulu panggilannya ‘ibu Tilda’, tapi kurasa kalau kita mengajar anak-anak SD tentunya dipanggil ‘bapak’ atau ‘ibu’ itu sesuatu yang wajar saja.
“sekarang kamu tulis surat.”
“apa ini?”
“buat anak-anakku di sana,” katanya. “mereka kelas enam, mau lanjut ke SMP. aku mau mereka bisa semangat.”
dia menyebut anak-anak didiknya dengan kata benda kepemilikan seolah mereka itu benar anak-anaknya. mungkin tak masalah kalau seperti itu juga; seringnya tak selalu perlu banyak syarat untuk bisa jadi keluarga, bukan.
“jadi aku harus tulis apa?”
“apa saja. aku mau mereka punya cita-cita. kalau ada orang-orang seperti kamu bisa bilang ke mereka bahwa mereka juga bisa kalau berjuang dan berusaha. seperti itu saja nggak apa-apa.”
“hmm.”
aku berpikir. memutar-mutar bolpen di tangan, mengira-ngira apa yang akan kutuliskan pada lembar-lembar kertas surat yang diberikannya. cita-cita, ya… untuk seorang anak, itu juga sesuatu yang kurasa cukup penting. bagaimanapun menuliskan hal seperti ini juga tidak mudah; aku paham bahwa sebagai orang dewasa kita tidak selalu bisa berbicara dengan bahasa anak-anak. dan kalau seperti itu seringnya pesan kita tak akan tepat tersampaikan pula.
saat itu siang hari menjelang sore. di dekat konter satu-dua petugas toko berlalu-lalang, di sisi kananku dari dekat pintu dan jendela kaca sinar matahari pukul dua-tiga sore menyusup masuk sedikit hangat. aku memperhatikan gadis di depanku mengambil sepotong pizza yang dipanggang tipis dengan taburan daun basil di atasnya, sekilas mengatakan ‘ini enaaaakk’, sambil kemudian nyengir sendiri.
dunia yang jauh berbeda, pikirku. kutuliskan surat sebisaku, berharap bisa dipahami dari sisi dunia anak-anak yang tiba-tiba terasa jauh sekali dari tempat kami berada.
2015:
menjelang pukul lima sore. kira-kira satu jam menjelang waktu berbuka puasa, dia mengajakku untuk pindah ke tempat yang masih kuingat dengan baik dari terakhir kali setahun sebelumnya.
“ini kan tempat kita dulu,” katanya sambil berjalan melewati konter. kemudian sambil lewat dia memegang kursi di sisi salah satu meja. “tempat duduknya juga persis di sini. hehe.”
aku tersenyum. dia mengatakan pokoknya dia mau pizza, pokoknya yang enak dan pokoknya kami bisa mengobrol lama seperti dulu.
dia mengambil tempat duduk di sisi meja yang ditunjuknya, dan demikian aku mengambil tempat di seberangnya. dia benar; persis seperti terakhir kali, ya… bedanya kurasa waktu itu masih siang dan tentu saja saat itu kami tidak sedang menunggu waktu berbuka puasa.
“aku mau kamu tulis surat buat Lini.”
“hah?”
“iyaa, aku mau kamu tulis surat lagi. kayak dulu. di sini.”
pada saat itu aku sudah mendengar cerita tentang Lini darinya. Lini, demikian panggilannya, adalah seorang anak didiknya dari Maluku yang saat ini sedang berada di Jawa untuk melanjutkan pendidikan di sekolah menengah atas. demikian dengan semuanya itu tentunya bukan hal yang selalu mudah untuk seorang anak gadis berusia belasan tahun untuk pindah dan belajar di tempat yang baru dan berbeda, dan sedikitnya dia ingin bahwa anak itu tidak perlu merasa sendirian.
“kok lama banget?”
“eh, ini masalah serius, gimana sih.” aku menjawab dengan muka datar. “apa yang akan kukatakan ini kan bisa menentukan masa depan seorang anak. mana bisa sembarangan.”
“iya sih.”
“kok kamu langsung setuju sih?”
“zzz. udah cepetan.”
pada akhirnya aku menuliskan surat pada halaman-halaman buku catatan kecil untuk anak itu. aku berharap bahwa betapapun mungkin kecilnya, setidaknya ini bisa berguna untuk seorang anak yang sedang menuju dunia baru. aku berharap bahwa di tempat yang bisa jadi asing buatnya, setidaknya dia tahu bahwa ada orang-orang yang tidak ingin meninggalkannya begitu saja.
epilog /
plus ça change, plus c’est la même chose
kami berpisah di halaman depan kira-kira lewat jam tujuh malam. dia masih ada keperluan untuk menemui anak-anak didiknya yang sedang berada di bagian lain ibukota, dan aku mengantarnya sampai dia menemukan kendaraan untuk berangkat.
“rasanya seperti deja vu, ya,” demikian kataku menjelang akhir perjumpaan kami.
“iya. hari ini kan memang begitu semuanya. hehe. nanti kamu tulis, ya. bilang ke aku kalau sudah. janji, ya.”
kadang-kadang beberapa hal terasa lucu juga. banyak hal berubah, sebagian hal tetap, tapi kalau ada sedikit hal-hal tidak berubah seperti obrolan di resto sambil menulis surat sambil menghadapi lembaran-lembaran pizza yang dipanggang tipis, kurasa kalau seperti itu toh tidak apa-apa juga.
setelahnya dia pamit dan berangkat. aku mengangkat tangan membalas lambaiannya. sesaat pikiranku mengembara, sementara dia sudah berangkat dan dengan demikian sudah waktunya juga buatku untuk pergi.
“kamu baik-baiklah. sehat-sehat, cil.”
“kamu juga. semoga kalian juga baik-baik, ya.”
kira-kira demikian obrolan terakhir yang bisa kuingat dari sisi meja, yang saat itu sudah tinggal berisi piring kosong dan sisa-sisa remah roti serta serpihan daun ketumbar.
. . . untuk saat ini kurasa kami hanya bisa mengaminkan doa masing-masing saja.
___
[1] CA: kependekan medis untuk ‘cancer’. atau dalam bahasa Indonesia, ‘kanker’.
[2] lymphoma malignum hodgkins, atau Hodgkin’s Lymphoma. kira-kira bisa dianggap sebagai kanker di mana aktivitas kelenjar getah bening menghasilkan sel-sel darah putih berupa limfosit yang tidak normal.
[3] istilah medis untuk kemungkinan-kemungkinan dan perkiraan awal sebelum diagnosis suatu penyakit.
[4] salah satu program pendidikan berbasis sukarelawan yang bertujuan untuk mengembangkan pendidikan daerah terpencil di Indonesia.