wish

“…to you it might have broken or shattered, but a wish is something that you hold dear in your heart — whether you aware or not.”

___

I have thrown away that wish long ago. a wish that I knew would never reach, as well as a wish I could never lean on. a wish I used to yearn about, and a wish I have seen being shattered away; painful as it was, and still it would never let go completely.

…yes, as I have thrown away that wish; about being understood and being cared, about being heard and being listened. about someone being by my side, to whom I would be able to be honest β€” where such would be the very least I could do.

…never completely, though. never completely, never enough.

perhaps, it’s just that I learned not to wish anymore. that only such wish is never enough; that I was only living in a dream for the wish to come true. a wish that sounds so childish as I look again, and how fragile it had been all along. cracked and shattered, and there it was; only remnants that were there to reminisce, blurred away as if deluded by distant memories.

that was the old story, though. not much have changed nonetheless.

such things doesn’t make you much stronger than before, nor does it make you much weaker. in some sort, maybe it does for a bit. yet it leaves a hole inside: some sort of emptiness that something used to be there, but then it’s no longer there. something that was missing, but not that of something you feel precious.

…at least, that’s what it was for me.

::

a wish is something that people rely on; sometimes it comes personal, yet sometimes it comes about other people as well. as for such, I decided not to look back again; to a wish that I have thrown away long ago. and for that, such wish is no longer there for me.

…or at least, that’s what I believe.

I’m (painfully) wrong this time.

one student revolution

PERHATIAN:

tulisan ini tidak untuk dimaknai apa-adanya. ketidakmampuan pikiran dalam memahami tulisan ini di luar tanggung jawab penulis. silakan menjernihkan pikiran sebelum membaca dan berkomentar.

anda sudah diperingatkan.

___

I. Interlude

konon katanya, kuliah di tempat saya ini[1] tidak terlalu baik untuk kesehatan mental. mungkin terkesan berlebihan sih, terserahlah. kalau tidak kuat mental, (katanya) mahasiswa di tempat saya mungkin saja akan mengalami stres sampai depresi ringan.

…apalah. tapi untuk bisa bertahan hidup di dunia yang kejam, kita harus bersikap kejam juga, bukan?

II. Prolog

ini adalah kampus di mana tugas-tugas yang ada bisa menjadi bagian dari hal-hal yang menyebalkan. laporan dan sesi lab, serta proyek dari mata kuliah yang ada. agak menyebalkan, kadang-kadang. empat sampai lima deadline bisa muncul dalam waktu satu minggu, sementara proyek-proyek kuliah bisa (dan sempat) membuat saya jarang pulang ke tempat kos.

ya, ya, beberapa rekan yang sudah ‘melewati’ tempat ini sebelum saya mungkin akan mengatakan bahwa ‘itu hal yang biasa’. mungkin saja demikian, dan saya saja yang terlalu melebih-lebihkan. tapi yang jelas sih paragraf di atas itu pengalaman pribadi saya.

dengan keadaan saya sekarang, saya cukup bersyukur bahwa saya memiliki mental yang cukup kuat (parameternya? saya tidak sampai terkena stres apalagi depresi :mrgreen: ), walaupun kadang-kadang saya merasakan keinginan yang kuat untuk misuh-misuh terhadap kampus 25 juta rupiah ini[2].

kalau boleh saya mengatakan, saya cukup senang bahwa saya sempat tinggal di kampus ini sebagai mahasiswa… kecuali bagian mengenai tugas-tugas, proyek, serta laporan-laporan yang kadang bikin sepet.

III. Di Bawah Bendera Revolusi

ahem. mari sekarang kita masuk ke bagian seriusnya. saat ini, saya mempertimbangkan bahwa para mahasiswa perlu memiliki posisi tawar yang lebih tinggi agar beban tugas-tugas kuliah bisa dikurangi. tentu saja, sebab keadaan seperti ini tidak baik untuk kesehatan mental para mahasiswa!

tapi bagaimana caranya? mahasiswa jelas kalah berkuasa dibandingkan dosen-dosen, apalagi dekanat sebagai lembaga formalnya. mau diapakan ini? demonstrasi dan aksi unjuk rasa jelas akan jadi konyol sekali.

tanya kenapa? kenapa tanya! bayangkan kalau tiba-tiba dosen-dosen yang mengajar bersikap kompak, dan menyerukan kalimat berikut via loudspeaker kepada mahasiswa yang sedang berdemonstrasi dengan sepenuh hati.

“mahasiswa-mahasiswa yang berunjuk rasa mengenai topik tidak penting ini, harap segera bubar! kalau nama kalian yang ikut demo tidak ada dalam absen pada kelas jam 1 nanti, kalian semua akan dapat D!!

saya berani jamin, sebagian besar mahasiswa akan langsung bubar dengan peringatan tersebut. dan tujuan kita tidak akan tercapai! πŸ˜†

itu tidak efektif. kita perlu metode yang lebih masuk akal dan tepat sasaran. metode yang bisa meningkatkan posisi tawar kita sebagai mahasiswa, dan tidak terlalu kampungan.

saya mengusulkan, bahwa saat ini kita membutuhkan martir. ya! martir yang akan menjadi pahlawan revolusi kita!

…tapi bagaimana caranya? itu mudah. kita membutuhkan seorang calon martir kita: mahasiswa yang sudah terlalu lelah dengan segala pernak-pernik tugas dan proyek kuliah serta laporan ini. mahasiswa yang juga memiliki esprit de corps yang luar biasa tingginya, yang mudah dimanipulasi demi kepentingan teman-temannya!

nah. kemudian, kita harus mempersuasi calon martir ini, agar ia mau bunuh diri. harus kita yakinkan bahwa kematiannya akan membawa kemaslahatan umat, khususnya para mahasiswa di kampusnya yang tercinta. tambahkan juga bahwa ia akan mati syahid dan bertemu dengan minimal 72 bidadari di surga sana.

…sebentar. kok bunuh diri? yah… karena membunuh orang itu dosa, kan? lagipula kita tidak perlu mengotori tangan kita. jadi, marilah kita hanya memandang dari jauh saja. :mrgreen:

dan akhirnya. pada satu malam. harapan kita terkabul. DOR, kita mendapatkan martir kita. berikan penghormatan tertinggi kepadanya. selanjutnya, gerakan politik akan kita mulai.

IV. Penemuan Kembali Revolusi Kita

selanjutnya, kita akan menggunakan elemen-elemen politik kampus. dengan rasa solidaritas yang mudah dimanfaatkan antara mahasiswa, kita akan melakukan lobi-lobi terhadap pihak-pihak yang berwenang, dengan posisi tawar yang jauh lebih tinggi daripada sebelumnya.

kita manfaatkan juga media. media kampus, dan media luar kampus tentunya. kita blow-up kejadian ini, tapi tidak perlu sampai terlalu heboh. jangan lupa dengan headline yang ‘jujur dan apa-adanya’:

SEORANG MAHASISWA FAKULTAS ILMU KOMPUTER BUNUH DIRI, DEPRESI KARENA KEBANYAKAN TUGAS

hmm. seharusnya cukup dengan judul tersebut. dan beberapa variasinya, tentu saja. dan tidak, kita tidak akan sampai ke televisi. terlalu jauh dan tidak perlu, walaupun mungkin tidak buruk juga.

apa mungkin, kata anda? saya mengatakan, ini mungkin! ya, hal ini bisa dilakukan. kenapa? karena kita punya martir, kamerad! πŸ˜†

setelah itu, akan ada saat berkabung di kampus β€” tidak perlu lama-lama, paling setengah atau satu hari. setelah itu, memanfaatkan momentum ini, kita akan melanjutkan lobi. tidak dengan garang tentunya, tapi dengan empati akan kehilangan seorang anak didik dan seorang teman. manfaatkan solidaritas kita dan perasaan mereka seperlunya.

…dan setelah itu. perjuangan kita akan memperoleh hasilnya. demi kebaikan almamater kita tercinta, dan warga-warga di dalamnya. tugas-tugas akan dikurangi, dan tidak perlu lagi ada kejadian seperti yang dialami oleh martir kita. Hidup Mahasiswa!

V. Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah

tapi perjuangan tidak akan selesai. kita tidak akan melupakan semangat dan perjuangan dari kamerad kita, yang telah dengan berani melakukan langkah nyata bagi revolusi kita. untuk itu, mari kita kepalkan tangan, kita sebutkan namanya…

…dan kita teriakkan: “Hidup Mahasiswa!!” “Hidup Perjuangan Kita!!” πŸ˜†

dengan teriakan yang membahana, yang membuat musuh-musuh perjuangan kita takut! karena kita yang benar! kita adalah pejuang-pejuang amanat penderitaan rakyat!

dan kita tidak akan melupakan sejarah kita, yang telah memakan korban yang akan selalu kita kenang. kenang, kenanglah martir kita. jadikan itu bagian kekuatan politik kita, bahan bakar untuk perjuangan kita!

VI. Epilog

ya, sebuah rencana, telah tersusun dengan matang. tapi, hanya saja. ada satu masalah yang menjadi batu sandungan kita sehingga revolusi ini tidak (akan?) pernah terjadi di kampus kita tercinta.

…ya. sangat disayangkan, tidak ada yang bersedia menjadi martir kita. itu saja kok masalahnya.

___

footnote:

[1] Fakultas Ilmu Komputer di sebuah Perguruan Tinggi Negeri yang berlokasi di daerah Depok. saya nggak sebut merek deh di sini. :mrgreen:

[2] normalnya, untuk menjadi mahasiswa di kampus saya anda akan dikenai biaya uang pangkal sejumlah tersebut. ada proses untuk keringanan kok, jadi jangan takut masuk ke kampus ini. lebih baik takutnya setelah diterima saja. :mrgreen:

surat untuk kakak

kakakku yang baik,

aku memperkirakan bahwa kamu sedang berada di tempat yang jauh ketika membaca surat ini. mungkin sedang bersama teman-teman dan orang-orang yang mendukungmu, atau mungkin dalam saat-saat senggang di antara hari-hari yang sibuk. apapun itu, aku senang bahwa kamu telah sekali lagi melangkah, pergi ke dunia yang jauh dan berbeda; dunia yang terasa jauh dari apa-apa yang kujalani saat ini.

kamu akan terus dan terus melangkah, mengembangkan sayap impian dan pergi menantang cakrawala. kamu mungkin akan bertemu banyak orang-orang hebat, dan dengan demikian kamu akan terus berkembang dan menjadi salah satu dari mereka. kamu yang saat ini mungkin akan berubah, tapi kurasa hal tersebut bukanlah masalah. kamu adalah orang yang akan terus dan terus berkembang, sejauh impian dan kemauanmu yang mungkin tak terbatas.

aku sangat senang melihat kamu yang seperti itu. kamu yang berusaha dan bekerja keras, pergi ke dunia yang berbeda dan terus berkembang. kamu yang selalu berada di depanku, dan mengajarkanku banyak hal tanpa banyak kata-kata. kamu yang tidak pernah menyerah, dan memiliki kemampuan untuk melakukan banyak hal dengan istimewa. dan kamu yang dengan demikian terlihat begitu mandiri sekaligus mempesona.

ada banyak hal yang membuatku harus mengucapkan terima kasih kepadamu. aku melihat kamu yang terus melangkah, dan untuk hal tersebut aku memutuskan untuk terus melangkah. aku melihat kamu yang selalu berada di depanku, dan untuk hal tersebut aku ingin bisa berdiri sejajar denganmu. dan aku melihat kamu yang telah mengajarkanku banyak hal, dan untuk hal tersebut aku menginginkan untuk setidaknya bisa menyamai dirimu.

tapi kadang, hal tersebut terasa menyakitkan untukku.

tidak peduli sekeras apapun aku melangkah, kamu selalu berada di depanku. kamu yang selalu lebih hebat dariku, dan kamu yang selalu membuktikan bahwa apa-apa yang kamu capai tidak bisa dengan mudah kulakukan. kamu yang dengan demikian menjadi alasanku untuk terus melangkah, dan di saat yang sama kamu terus melangkah lebih cepat dan meninggalkan langkahku. untukku, hal itu sedikit menyakitkan; bahwa aku tidak pernah bisa berdiri sejajar denganmu, dan bahwa kamu selalu berada di depanku.

tapi, kamu tahu? aku sangat menyukai kamu yang seperti itu.

aneh ya, bagaimana aku bisa mengatakan ini sementara menurutku itu adalah hal yang sedikit menyakitkan. dan aku tahu bahwa selama ini aku tidak pernah bisa berdiri sejajar denganmu… dan kamu berada di sana, menjadi β€˜kakak’ yang selalu berada di depanku.

tapi kurasa, dulu dan sekarang adalah hal yang berbeda.

sekarang ini, kamu mungkin sedang berada di tempat yang jauh, dan menjalani dunia yang berbeda. mungkin setelah ini kamu akan melakukan hal yang lain di tempat yang hebat dan mungkin tidak terbayangkan olehku, tapi kamu akan bekerja keras seperti kamu yang biasanya kulihat. dan kamu tidak akan menyerah, persis seperti kamu yang biasanya kuperhatikan.

untuk mengajarkanku banyak hal, terima kasih. untuk selalu berada di depanku, terima kasih. untuk membuatku terus melangkah, terima kasih. dan untuk membaca surat ini, terima kasih. terima kasih untuk semuanya, dan maafkan aku untuk apa-apa yang tidak bisa kulakukan.

aku senang pernah bertemu denganmu. aku bangga akan kenangan tentangmu. dan aku bersyukur bahwa kamu pernah menjadi kakak untukku.

kurasa terlalu banyak kata-kata, tapi aku hanya akan mengatakan ini saja pada akhirnya.

selamat tinggal, kakak yang kusayangi. maaf karena pada akhirnya aku tidak bisa memberikan apa-apa. terima kasih untuk semua kenangan yang menyenangkan, dulu.

karena mulai dari sini, aku akan berjalan sendiri.

___

[1] FIKSI. tidak perlu repot-repot berspekulasi mengenai hal ini, pembaca :mrgreen:

[2] bukan pengalaman pribadi. setidaknya, bukan seluruhnya :)

a cold fate — and farewell

kepingan-kepingan beku yang dingin dan tak acuh adalah masa lalu yang hampir terlupakan; kenangan yang membeku dan sedikit-buram, tak berubah sejak adanya dan tetap demikian. dingin, dan sedikit absurd; teraih tapi tak tersentuh, ada tapi tak terlihat. masih dengan dingin yang tak peduli, dan tak pernah berubah adanya.

selalu demikian. kenangan yang membeku adalah asa di masa lalu; kini dingin, diam dan tak bergerak, terasa setengah-nyata dalam kesunyian. sepotong waktu yang diam dan dengan demikian membeku dalam kenangan. tak hendak cair atau meluruh, menyisakan terawang yang buram akan apa-apa di dalamnya. dan pelan menggigit, dengan kebekuan yang dingin dalam genggaman.

mungkin, memang begitulah adanya.

waktu berhenti dan membungkusnya, dengan tak hirau dan dengan demikian terjadilah ia: kenangan yang diam dan waktu yang berhenti, terbungkus dalam kebekuan yang dingin dan buram.

::

dingin, dan menggigit pelan dalam genggaman; perasaan yang tidak-nyata, dalam keacuhan yang datar. apa-apa yang terlihat dari luar kepingan beku hanyalah bayangan sedikit-samar dan berkabut; seolah kaca buram yang memperlihatkan sekaligus menyembunyikan. kebekuan yang membungkus keping kenangan yang samar, terjaga dan diam di dalamnya.

keinginan dan harapan yang tertidur di masa lalu, dan teriakan serta kebahagiaan yang hangat dan terasa jauh. dan samar-samar terlihat dari balik kepingan buram dalam genggamanku: pembicaraan hangat yang diam dalam kebekuan, dan mungkin senyum serta tawa yang kini diam dan terasa dingin.

::

hari itu, kukatakan selamat tinggal. dan waktu berhenti, membekukan kenangan yang kini terasa dingin; diam dan tak acuh, hanya menggigit pelan dalam genggamanku.

pada siang yang berdebu

percuma merutuk untuk mengharapkan panas itu pergi; aku sudah lama belajar bahwa panas pukul satu-limabelas tidak akan sudi untuk sirna hanya dengan umpatan yang keluar seolah tersedak dari hati yang juga sepat.

di jalanan yang berdebu, kerumunan orang seolah tak hirau; bus-bus saling mendahului, kadang disela umpatan sopir atau kenek yang merasa dihalangi oleh mobil angkutan kota yang kurang ajar memotong jalan. di antara deru debu dan aspal yang seolah membara menembus sepatu, hanya melangkah dan β€” sama halnya dengan yang lain β€” tak terlalu hirau dengan keadaan: apa yang ada, dan adalah ia. tak tersentuh, tak terpedulikan.

aku heran akan dunia; pada suatu siang yang panas dan berdebu, beberapa orang-orang muda di gedung berpendingin-udara. membuka komputer jinjing di laboratorium komputer yang kadang terlalu-dingin, menikmati selapis tipis kemewahan singkat dari golongan β€” ah, begitulah dunia!

sementara di atas aspal membara yang seolah berniat menembus sepatu kets butut, di depanku mereka: pengamen muda naik ke bus kota, dengan gitar-seadanya dan suara kurang-mutu. klakson mobil angkutan kota dan bus menciptakan kegaduhan yang berisik; dan apa-apa yang tersisa dari apa yang bernama modernisme: spanduk yang kotor menantang waktu, dan papan nama yang belum rela diganti.

dunia yang bernama ‘kota’: membawa apa-apa yang baik dan yang buruk dari modernisme β€” orang-orang terpilih di kampus berpendingin-udara, para pemegang masa depan dengan komputer jinjing keluaran baru yang ringkas dan gaya. atau yang lain β€” yang terlupakan, yang tak terpedulikan. para preman dan pengemis; penipu dan pengamen; dan orang-orang, semua yang ada di sisi trotoar panas dan jalan yang berdebu.

bruk.

sebuah sepeda motor menantang arus di trotoar, menyentakkan rasa sakit di lengan dari belakangku.

“HATI-HATI KALAU JALAN!”

sang pengendara sialan itu berteriak, penuh emosi. seharusnya, aku yang berteriak seperti itu: menyemprotkan umpatan ke wajahnya, atau mendaratkan tendangan ke knalpot sepeda motor sialan itu.

seandainya bisa, aku ingin melihatnya terjatuh β€” sepeda motor yang selip, dan menggelincirkannya ke jalan, membiarkan sebuah bus yang tak-peduli melintas dan menghancurkan kepala dan helm yang terlepas itu. meninggalkan jejak darah dan mungkin sisa-sisa otak manusia di jalanan yang kering, kurasa itu sungguh layak kalau aku cukup hanya melihatnya terjadi.

debu jalan dan terik tengah-hari merupakan sebagian dari apa-apa yang meledakkan emosi; memancing ketidaksabaran dan menarik-narik keinginan yang brutal dari sekelebat kekejaman. dan mata kail bagi sisi gelap dari sebuah kekinian: kekejaman untuk mencurigai mereka yang mungkin berbahaya; paranoia adalah senjata, kecurigaan adalah makna.

ah, dunia! lihat mereka yang terpilih! para calon pemimpin bangsa β€” yang cerdas, yang hebat! di menara gading perjuangan, di ruangan berpendingin-udara, meributkan makna tugas kuliah atau konstitusi politik kampus? mereka, yang berangkat dengan mobil keluaran-baru atau motor yang penuh gaya? wujud menara gading intelektual senilai triliunan rupiah, lengkap dengan kemewahan seperlunya.

mobil-mobil bagus, apalah itu? meluncur dengan sedikit-sombong di antara simbol-simbol kapitalisme; tempat perputaran rupiah dan semua yang terlibat di dalamnya: uang, dan kebutuhan artifisial yang diciptakan oleh juru runding penguasa modal. mereka adalah ikon segregasi mutlak: pembatasan dan pemisahan harga diri dan status oleh selembar kaca mobil.

sementara sopir angkutan kota berteriak-teriak; bus kota dan kadang truk mengklakson; dan orang-orang tak hirau. di antara penipu dan mungkin copet atau rampok di atas bus kota, orang-orang tetap tak hirau; diam, kalau mau selamat. mati, kalau cari gara-gara.

pengemis menengadah — entah asli atau palsu, tulus atau memaksa. ribut peluit dan teriakan para tukang parkir menciptakan kontradiksi kecil-tidak-penting: simbol kemapanan yang tunduk pada produk sampingan kapitalisme. dan layaknya semut-semut di antara remah roti, para tukang ojek memperebutkan penumpang — yang sedikit dan tak banyak, dan yang tak hirau dan tetap melangkah.

pada siang yang berdebu, di atas aspal yang seolah membara sampai ke kaki. dunia seolah terbelah di kota yang memiliki dua wajah: frustrasi dan kegetiran, di balik kenyamanan dan kemapanan.

…apa, keadilan dunia?

mimpi!

dan daun-daun pun gugur

setiap helai daun yang gugur selalu memiliki cerita. di sini, di antara matahari sore dan angin semilir yang disapu jingga kemerahan. dan di antara pohon tua dan padang rumput di sisi kota. agak dingin dan tak terlalu-nyaman, dan tak ada yang peduli.

setiap helai daun yang gugur selalu memilki cerita: mengenai harap yang kandas dan hati yang mungkin sudah mengeras; mengulang sepi dan cerita lama, dan ditampik dengan setengah-hati; dan di antara senja dan daun-daun gugur, mencoba berdiri dengan sedikit-sombong di antara retak-retak hati yang ada di dalam apa-apa yang tak dapat disapa angin atau ditemui daun gugur.

kamu dulu sering tertawa. berada di sana dan tersenyum, di antara angin senja hari dan pemandangan kota di bawah sana. apakah kamu masih ingat?

aku sudah lupa. jawabku, dengan sedikit sinis menentang desau angin yang tiba-tiba menohok tenggorokanku.

setiap helai daun yang gugur adalah harapan; asa yang terjaga di pagi hari dan terbang menguap di senja hari. daun yang gugur dan angin yang meniupnya, dan itulah yang terjadi: begitu rapuh dan lemah, lalu meranggas dan jatuh. tak tertangkap, tak teraih. dan tak ada yang peduli.

kamu tidak percaya lagi, bukan?

aku hanya diam. sehelai daun yang gugur dan jatuh. begitu rapuh dan tidak berdaya.

kamu tahu, kataku. itu tidak ada bedanya dengan ini.

sehelai daun yang kering, entah sejak kapan telah gugur. tak teraih, tak terpedulikan. aku hanya memandangnya. lalu menginjaknya, merasakan patahnya tulang-tulang yang rentan di kakiku. begitu lemah dan tak berdaya. dan hancur di ujung kakiku, begitu mudah dan sekaligus sedikit-mengharukan. mungkin, tapi aku tak peduli.

kamu selalu mengharapkan hal-hal manis tidak berguna, kataku. pada akhirnya, yang kamu bicarakan itu sia-sia. hancur, seperti ini.

angin bertiup melewati sela-sela lengan dan rambutku, dan aku tetap berdiri di sana, seolah menggugat. keberadaannya yang menurutku impian kosong. apa yang dibicarakannya yang menurutku angan-angan muluk.

manusia bisa saling mengerti satu sama lain, katanya. seharusnya kamu juga mencoba. bukankah kamu dulu juga begitu?

ya, dan aku bodoh karena memikirkan hal tersebut. mimpi. manusia dengan mudah memusuhi; dengan atau tanpa alasan. mereka senang memusuhi, kalau kamu tidak cukup bebal untuk menyadarinya. siapa yang tahu? dari acara unjuk eksistensi dan sok-hebat, orang-orang teladan bisa saling berselisih. kamu bilang itu pengertian? menyedihkan.

lagipula, kamu tahu, manusia menyakiti yang lain, untuk alasan apa? mencari eksistensi? bagus. kalau manusia memiliki musuh, mereka merasa hidup. mereka merasa punya identitas. mereka memang membutuhkan itu, tahu. kamu mengerti? mungkin tidak. kamu, yang hidup terlalu tinggi di antara dunia idealisme tanpa-bukti itu?

sunyi lama. sedikit koak beberapa ekor camar dan desau angin meningkahi kesunyian. dan wangi rumput serta beberapa kerlip lampu jalan kota yang mulai menyala.

kamu tahu kata ‘sahabat’? orang-orang kepada siapa kamu bisa membagi rahasiamu yang terdalam?

aku tertawa, sinis. dan menyergah. kamu bilang, ‘membagi rahasiamu yang terdalam’? oh, kamu bisa membagi rahasiamu dengan mereka, kamu bahkan bisa menyuruh mereka menodongkan pisau di punggungmu, dan kamu mungkin tidak kuatir bahwa mereka akan menikammu… tapi kamu tahu, sesungguhnya, itu harapan kosong. mereka mungkin akan menikammu atau membuang rahasia berhargamu ke lautan, atau lebih parah lagi, ke orang-orang lain.

ada juga orang-orang yang dengan mudahnya menggunakan sesuatu yang bernama ‘perasaan’ untuk bersenang-senang. sedikit main-main dan akhirnya puas, dan orang lain akan menderita. dan tak ada yang peduli. masih kurang? tambahkan bahwa kamu tidak merasa pernah menyakiti mereka.

…jadi apa alasan mereka untuk menyakitimu? jangan tanya! mereka senang melakukannya, kok. dan kamu tahu bahwa orang-orang brengsek seperti ini ada. lalu kenapa? memang seperti itulah keadaannya, bukan? aku menyergah.

daun-daun gugur menari di atas tanah. semburat jingga menyapaku dari samping, dengan angin yang mengacak-acak rambutku; lembut sekaligus sedikit kasar, dan kersak daun-daun yang mulai mengering jauh di atas kepalaku. dan terasa pedas di mataku, semilir angin sore yang kembali menohok tenggorokanku.

…kamu tidak menyukainya, bukan? ia bertanya, pelan.

aku hanya akan menjalaninya. aku menjawab singkat, dan kami tidak bicara lagi.

setiap helai daun yang gugur selalu memiliki cerita. mengenai harapan yang pergi dan asa yang tak kembali. seperti halnya helai-helai daun yang gugur, begitu rapuh dan tidak berdaya.

dan di antara helai-helai daun yang menari dan semilir angin sore, aku berada di sana: mencoba untuk berdiri dengan sedikit-sombong, dengan retak-retak hati yang tak tersentuh oleh sinar matahari senja dan tak terlalui oleh wangi angin padang rumput.

aku dan diriku, dan daun-daun pun gugur.

‘aku berangkat, bu!’

kau belum bisa bicara, tapi aku tahu
dan kurasa, hal itu sudah cukup jelas untukku
matamu bulat memandang dunia
senyummu seolah ingin mengatakan
“aku berangkat, bu!”

ayahmu meletakkanmu di kereta bayi
siap untuk petualanganmu yang pertama
jalan-jalan di kompleks rumah
dan para tetangga berkomentar
“wah, ayahnya baik sekali!”

waktu berlalu, dan kau juga berubah

dengan seragam taman kanak-kanak
dan tas ransel serta buku gambar
percaya diri dengan gigi bayi dan sepatu baru
dan kau mengatakan
“aku berangkat, bu!”

kau berjalan melewati pagar
melambai kepada tetangga yang menyapa
petualangan baru untukmu
dan para tetangga berkomentar
“aduh, anak itu manis sekali!”

waktu berlalu, dan kau juga berubah

kau menunggu mobil jemputan ke sekolah
dengan roti bakar dan segelas susu di meja
terburu-buru dengan seragam putih-merah,
dan kau mengatakan
“aku berangkat, bu!”

matematika dan bahasa indonesia
teman-teman dan guru yang baru untukmu
dan PR yang kadang lupa kau kerjakan
“aku tidak disetrap,” katamu
“cuma disuruh berdiri di depan, kok”

waktu berlalu, dan kau juga berubah

berangkat pukul enam tiga-puluh setiap pagi
menghabiskan segelas susu, kau siap berangkat ke SMP
takut terlambat kalau sarapan, katamu
dan kau mengatakan
“aku berangkat, bu!”

aku melihatmu tumbuh dan sedikit berubah
dari dihukum karena terlambat masuk kelas
sampai cerita tentang seorang cewek manis di sekolah
yang ibunya beberapa kali mengajakmu pulang bareng
kok aku tahu? jelas, ibunya kan teman arisanku

waktu berlalu, dan kau juga berubah

sekolah dan kos di tempat yang jauh
pulang ke rumah seminggu sekali dalam perjalanan panjang
dengan seragam putih abu-abu dan ransel ABG
dan kau mengatakan
“aku berangkat, bu!”

jauh dari rumah dan keluarga
petualanganmu yang lain dimulai
belajar berdiri di atas kakimu sendiri
dan tiba-tiba, kau jadi terasa agak jauh
aku sadar, kau sudah mulai dewasa

waktu berlalu, dan kau juga berubah

kau tidak lagi memakai seragam, kini kau pergi kuliah
celana kargo, jaket dan sepatu kets menemanimu sekarang
sarapan dengan sisa makan malam kalau sempat
dan kau mengatakan
“aku berangkat, bu!”

kau menjadi teman bicaraku di akhir minggu
nonton drama jepang atau korea di TV
dan tiba-tiba kau punya uang sendiri
sedikit iseng dan cuek, kau mirip sekali dengan ayahmu
aku tahu, kau sudah semakin dewasa sekarang

mungkin nanti, kau akan berubah lagi

dengan kemeja dan kunci mobil, kau siap berangkat kerja
masih sarapan dengan makanan sisa, tapi kau sudah biasa
tidak lupa dasi yang rapi dan pantofel yang mengilap
dan kau akan mengatakan
“aku berangkat, bu!”

coba saja untuk menjadi dewasa, ini tantangan untukmu
pergilah sana dan taklukkan dunia,
tapi untukku kau akan selalu menjadi
seorang anak yang lucu dan imut-imut
yang memandang dunia melalui mata bulatnya

pada saatnya nanti, mungkin kau akan mengerti
ketika kau melihat bayangan dirimu dulu
dalam diri anak kecil yang tiba-tiba muncul di rumahmu
dan kau akan mencintainya seperti aku mencintaimu

pergi ke toko buku

…kalau kau sedang berada di mall, pergi ke toko buku mungkin tidak terlalu buruk.

ada banyak hal yang bisa kautemukan di toko buku β€” terlepas dari apakah kau memang berencana membeli buku atau tidak. dan percayalah, tidak banyak tempat di mall yang bisa setenang tempat itu, apalagi kalau kau membandingkan dengan counter yang menyediakan obral setengah-harga untuk kaos atau jeans yang sepertinya bisa menjamin bahwa penampilanmu tidak akan ketinggalan jaman.

kau mungkin membayangkan bahwa toko buku tidak menarik β€” paling isinya orang-orang berkacamata model pemain sinetron bertipe pelajar-cupu (ini produk hiburan yang tampaknya sudah agak keterlaluan parahnya), atau ibu-ibu yang sedang mencari buku masak-memasak dalam resep keluaran baru. atau yang lain yang tidak lebih baik menurut pikiranmu.

…tidak separah kedengarannya, kok. kenyataannya, kalau kau berpikir demikian, mungkin kau sudah menjadi korban stereotipe dari orang-orang yang takut membaca buku, dan dengan demikian mulai menyia-nyiakan anugerah terbesar bernama ‘pikiran’ yang dimiliki oleh manusia. siapa yang peduli dengan ‘buku’, kalau kau bisa memakai jeans 501 yang tampaknya tahan dilindas kereta?

ada banyak hal yang bisa kautemukan di toko buku β€” dari tinta printer, bola tenis baru, sampai novel terbaru Dan Brown yang mungkin akan mengguncang dunia. tapi tentu saja, karena namanya ‘toko buku’, kau akan menemukan buku yang sangat banyak: dari berbagai bidang, dari berbagai tempat. komik? novel? chicklit atau teenlit? literatur? buku teks? semua ada, bahkan sampai soal latihan SPMB dan atlas dunia yang mungkin semakin jarang terpakai olehmu sekarang.

kau bisa membaca komik gratis β€” tapi ini tidak dianjurkan. lebih baik beli, percayalah. komik jepang, amerika, korea, bahkan dari cina juga ada. jangan lupakan komik lokal yang juga tampaknya mulai bersinar. Marvel atau DC? Kodansha atau Shogakukan? silakan pilih.

…tentu saja, siapkan dirimu untuk orang-orang yang sejenis dengan dirimu kalau kau berencana untuk membaca-gratis: bagian komik adalah bagian paling sesak di toko buku! dan hampir semuanya membaca di tempat. saran untukmu, lebih baik kau membeli komik itu, dan baca di rumah saja! dengan demikian kau sudah mendukung penerbit di negara asalnya, tambahkan pula kau bisa meminjamkannya ke rekan yang membutuhkan. berbahagialah untuk itu.

kau juga bisa melihat-lihat bagian novel dan bacaan ringan. mungkin ada serial teenlit baru yang mungkin akan disukai cewek-cewek atau mungkin juga novel Musashi-nya Eiji Yoshikawa yang tiba-tiba terlihat seolah bisa digunakan untuk teman dari bantal di tempat tidurmu. mungkin juga rangkuman post dari sebuah blog seleb yang tampaknya tidak terlalu berat (mungkin kau akan bertanya-tanya, kenapa benda seperti ini bisa terkenal), dan mungkin akan membantumu dalam mempelajari arti dari kosa-kata yang disebut ‘budaya pop’.

apalah itu, dari novel berat yang sepertinya bisa jadi bantal sampai bacaan ringan yang rasanya kayak makan kapas, bisa kau temukan di bagian ini. persiapkan juga dirimu dengan kemungkinan untuk menemui serombongan kecil cewek ABG di bagian chicklit yang mungkin agak berisik, walaupun tingkat probabilitas soal ‘berisik’ ini sepertinya tidak besar benar. iyalah, ini toko buku, kan?

bacaan populer juga bisa disinggahi, dengan berbagai tema yang beragam. tertarik dengan programming? ada banyak buku yang bisa dipelajari soal bahasa C atau Python. suka psikologi populer? kau bisa menemukan di bagian ini, mungkin soal perbedaan pikiran antara cowok dan cewek dalam menghadapi suatu hal. panduan berkebun tingkat menengah mungkin cocok untuk hobi berkebunmu. pokoknya banyak, deh.

jangan lupakan juga bagian-bagian lain yang mungkin tidak terjelajah: bahasa asing, majalah dalam dan luar negeri, sampai buku-buku impor. jangan lupakan juga handbook yang mungkin akan berguna dalam banyak hal, atau sekadar petunjuk teknik mengenai cara merakit komputer atau membongkar mesin mobil yang baik dan benar.

dan mungkin, bagian yang akan menarik minatmu adalah literatur. dari Perang Salib sampai perang modern di Eropa, dari kajian teologi sampai kajian sosial dan politik. ini tempat yang tepat untukmu dalam mendapatkan buku-buku berat β€” dalam dua makna. dari segi isi dan berat metrik, kalau kau agak bingung dengan maksudnya.

tapi tentu saja, hal tersebut mungkin tidak masalah buatmu. mungkin saja kau harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk buku-buku literatur yang ternyata mungkin berat di kantong juga, tapi hal tersebut tidak masalah. pengetahuan itu mahal, bukan?

akhirnya, kau mungkin akan menemukan seorang cewek manis berkacamata di salah satu sudut sedang membolak-balik buku tulisan Karen Armstrong yang masih terbungkus rapi dalam kemasan aslinya. anggap saja itu bonus, tapi mungkin hal yang cukup baik juga kalau kau bisa sedikit mengobrol dengannya mengenai hal-hal yang ‘berbeda dari biasanya’. mungkin awalnya kau pergi ke toko buku untuk sekadar jalan-jalan atau membeli buku, tapi kau tidak melanggar peraturan, kan?

belakangan, mungkin kau akan menyadari bahwa hal-hal seperti itu mungkin cukup sulit ditemukan di tempat lain dalam sebuah mall β€” tapi tidak di sebuah tempat bernama ‘toko buku’, yang sebenarnya cukup nyaman untuk disinggahi.

tentang seorang anak

anak itu mungkin sedikit bodoh. tapi sepertinya, ia tidak terlalu peduli.

mungkin, apa-apa yang dijalaninya membuatnya agak susah dimengerti, dan demikian juga ia tidak terlalu mengharapkan demikian β€” apa sih yang bisa diharapkan seorang manusia dari seseorang yang lain? pengertian, atau cinta, atau yang lain?

…toh ia masih berusaha mengerti dan memahami orang lain, walaupun kadang mungkin kurang berhasil dengan baik, ia tidak tahu. ia tidak bisa membaca pikiran orang lain, begitulah sebabnya. ia tidak ingin lagi berharap untuk dipahami apalagi dicintai oleh orang lain, cukuplah ia yang berusaha demikian.

***

sepertinya, ia tidak ingin lagi mempercayai hatinya. apa yang dikatakan hatinya tidak lagi dipedulikannya.

ada saat-saat yang menurutnya indah di mana hati dalam dirinya seolah menjadi sahabat, dan perkataannya begitu jujur dan membahagiakan. membuatnya berharap dan mencoba tersenyum, dan itulah yang terjadi.

kata hati mengangkatnya, dan kata hati menjatuhkannya. sakit, mungkin juga sedih. dan mungkin pertanyaan dan penyesalan dalam dirinya karena mengikuti sang kata hati. kata-kata yang mengajarkannya untuk berharap, mempercayai, dan mencintai.

satu kali dan lalu dua kali dan entah lagi, maka ia tidak lagi percaya kepada hatinya. perasaan yang menyakitkan dan membuatnya kecewa, tapi ia memutuskan untuk tidak lagi mempercayai hatinya. dan itulah yang dilakukannya β€” tidak menyenangkan, tapi ia tidak terlalu peduli.

ketika hatinya menginginkan perhatian, ia mengacuhkannya. ketika hatinya menginginkan cinta, ia tidak mempedulikannya. ketika hatinya mengharapkan pengertian, ia membiarkannya. ia tidak lagi percaya kepada hatinya β€” yang mengharapkan perhatian, pengertian, dan cinta bagi dirinya.

mungkin, ia memang bodoh. mungkin juga ia tidak jujur kepada dirinya sendiri. tapi ia tidak ingin lagi mengharap terlalu banyak dari yang lain. cukuplah ia yang berusaha memahami dan mencintai yang lain, tapi ia tidak ingin berharap untuk hal seperti itu. harapan itu menyakitkan, katanya.

mungkin, ia memang bodoh. ia tidak ingin lagi percaya kepada hatinya, maka ia mengacuhkannya. ia tidak lagi mempedulikan kata hatinya, dan ia mencoba untuk tidak mendengarkannya. terdengar dengan begitu jelas dan dekat olehnya akan apa yang diinginkan hatinya, tapi ia tidak mempedulikannya.

tapi kadang, apa yang dikatakan hatinya terlalu dekat dan ia tidak bisa tidak mendengarkannya; hal yang menurutnya menyebalkan, tapi terpaksa didengarkannya. sebuah nyanyian tentang harapan dan perasaan, tentang pengertian dan cinta. hal-hal yang tidak ingin lagi dipedulikannya, dan datang menyeruak dengan tiba-tiba.

mungkin, ia memang bodoh. ia terlalu melindungi perasaannya, dan untuk alasan itu tidak ingin mendengarkan kata hatinya. dan dengan keras-kepalanya, ia mencoba untuk tidak peduli. mencoba untuk terus berjalan dan menjadi setidaknya sedikit bahagia, tapi ia tidak ingin mendengarkan hatinya.

***

hidup terus berjalan, dan anak itu terus melangkah. dan sementara itu, banyak hal yang dialaminya. perjalanan yang kadang menyenangkan dan kadang terasa agak terjal, harus terus dijalaninya. toh setidaknya ia bisa menikmati perjalanannya dengan cukup baik… atau benarkah?

banyak hal terjadi, dan penyesalan selalu datang belakangan. entahlah, ia sendiri tidak terlalu mengerti. sebentuk penyesalan yang datang perlahan menyapanya, sebuah hal yang mungkin tidak perlu terjadi, dan ia sendiri tidak mengerti. hanya sebuah kata ‘terlambat’ yang ada, dan saat-saat yang terkubur di masa lalu.

mungkin, ia seharusnya lebih mempercayai kata hatinya. tapi ia tidak berpikir demikian β€” dan tetap berjalan dengan penyesalan yang mungkin ada, dan dengan sedikit susah-payah diacuhkannya.

***

mungkin, ia memang bodoh. tapi kurasa, untuk saat ini ia tidak akan menangis. sepertinya, ia memang agak terlalu keras kepala.

hari itu hujan

hari itu juga hujan.

suatu saat di mana lampu-lampu tampak kabur dan kurang-jelas, sudah menyala namun langit juga tampak belum gelap benar. suatu hari di masa lalu yang jauh, dan sudah begitu lama seolah hendak kulupakan saja β€” dan dengan menyebalkannya datang kembali setiap kali aku berjalan di malam hari yang sedikit berhujan.

dan hari ini, setiap langkah yang ada menjadi begitu menyiksa seiring dengan titik-titik hujan yang jatuh di kepala, menyisakan rambut basah dan pandangan buram padaku β€” dan kenangan akan masa yang dulu itu.

lampu-lampu jalan tampak tidak bersemangat, menyinari kampus dengan ogah-ogahan: beberapa malah mati sama-sekali, menyisakan jalanan temaram dan masih dengan hujan yang menimpa kepala dan membuatku sedikit-pusing β€” entah karena hujan itu sendiri… atau masih ada yang lainnya, aku tidak terlalu peduli.

semua orang punya kenangan; semua orang punya masa lalu. tapi tidak ada yang bisa dilakukan dengan hal itu; dan seketika letupan emosi menggelegak, menyisakan sekat tak kasat mata yang kurasa menohok tenggorokan dan dadaku β€” pelan, tapi telak dan mengganggu.

hari itu juga hujan.

saat-saat pandangan terasa kabur β€” entah karena hujan itu sendiri… atau masih ada yang lainnya, aku tidak terlalu peduli. air mata hanya akan pergi bersama tetes hujan, lepas dari peduli yang ada… seandainya hal tersebut memang demikian adanya.

aku mencoba memandang, dan terasa buram; hujan rintik-rintik menghalangi pandangan, menyisakan kilau dan cercah cahaya di yang tak tampak jelas di ujung mata. dan pijakan con-block yang basah dan terasa sedikit-licin di trotoar yang semakin sepi setelah gelap. dan sedikit gelegak ketidaknyamanan yang seolah mencoba menyiksa perlahan-lahan.

hujan tidak bisa menghapus kenangan; dan hal itu mungkin akan sedikit baik β€” tidak, kurasa itu menyebalkan. dan hujan turun, mengembalikan kenangan yang seharusnya sudah terkubur lama dan tak kembali lagi.

di hari itu, hujan turun. meninggalkan kenangan layaknya paku di pintu kayu. dan pandangan buram entah oleh hujan atau yang lainnya.

hari ini, hujan turun. membuka kembali kenangan akan masa lalu yang terharap untuk tidak pernah kembali. dan pandangan buram entah oleh hujan atau yang lainnya.