wejangan pak Himura


no matter how great the skill of the Hiten Mitsurugi-ryuu, no matter how I tried to raise my own skill, one man can't hope to change an era alone.   and he certainly can't bear the burden of man's happiness alone... the only thing he can do is protect the happiness of the people he sees before him, one by one.

 

formative lesson learned in formative years.
10+ years on. still living it.

 

_

dikutip dari serial manga Rurouni Kenshin; konteks asli dulu terjemahan bahasa Indonesia oleh Elex Media. alur panel menyesuaikan format asli dari kanan ke kiri.

tentang kerja, cinta, dan idealisme

pada pekan belakangan ini, kebetulan saya beberapa kali mendapatkan tawaran pekerjaan penuh-waktu dari beberapa professional headhunter[1]. dalam konteks terkait saya ditawari pekerjaan, maksudnya. perkiraan rentang penghasilannya sendiri lebih dari cukup lumayan, demikian juga kualifikasi profesional saya pada dasarnya cukup memadai.

kalau secara pemikiran malas sih kira-kira sudah itu kriterianya relatif cocok, sudah tinggal dipilih, sehingga kalau mau dianggap sederhana, ya… kurang apa lagi?

 

good-great-manager

gambar tidak berhubungan … mungkin.

 

bukan pertama kali saya berada dalam situasi seperti ini. bukan pertama kali juga saya harus membuat keputusan terkait hal ini. demikian hingga saat ini, sehingga ketika harus memutuskan, jawaban saya masih tidak berbeda.

pada bulan-bulan yang sudah lama lalu, saya sempat bercerita kepada seorang gadis partner saya mengenai tawaran lain yang juga sampai ke saya. pada saat itu konteksnya terkait penawaran yang berbeda dari tempat yang berbeda, dengan rentang penghasilan yang lumayan pula.

dia tampak kaget dan terbingung-bingung ketika saya mengatakan bahwa saya tidak mengambil kesempatan tersebut.

“kenapa nggak diambil? itu kan lumayan banget, gimana sih.” 😮

waktu itu saya cuma nyengir. saya ingat saya mengatakan bahwa masih ada sesuatu yang harus saya… kami lakukan di sini, di tempat sekarang ini, dan belum waktunya buat saya untuk pergi.

dia tidak menyanggah. saya tahu bahwa kami saling paham.

kembali ke saat ini, ya… di satu sisi, ada kemungkinan tantangan baru, penghasilan baru yang lebih dari cukup lumayan, juga bakal tim baru untuk melakukan hal-hal hebat dengan teknologi keren.

sementara di sisi lain, ada idealisme yang belum selesai. ada janji yang masih harus ditepati. ada perjalanan panjang, ada rekan-rekan yang bersama saya, dan kami sama-sama paham bahwa masih belum waktunya buat kami berhenti.

hal-hal seperti demikian juga menjadi pertimbangan dalam keputusan-keputusan yang saya buat.

karena ada juga hal-hal yang tidak selalu bisa dipahami dengan kalkulasi-kalkulasi pragmatis, entah itu terkait rentang penghasilan, model bisnis, atau apapun sejenisnya. buat saya ini juga sesuatu yang sifatnya di perbatasan personal dan profesional, sesuatu yang kalau mau dicari di mana batasnya juga bisa jadi malah bikin bingung sendiri.

“jangan terlalu idealis,” kata seorang kakak perempuan[2] kepada saya pada waktu yang lain. “kamu juga harus tahu kapan bisa, kapan enggak bisa. kalau enggak ya kamu juga enggak ke mana-mana.”

“aku tahu sih. tapi ini jangka panjang. pelan-pelan, kurasa bisa.”

saya ingat saya mengatakan demikian. ada sedikit optimisme di sana. ada perjalanan baru dimulai, dan ada seseorang yang sudah lebih dulu melangkah di hadapan saya.

“yah, kalau menurutku sih, kamu boleh idealis, kerja keras, lakukan yang kamu bisa. tapi jangan lupa, sisakan ruang untuk kecewa. serahkan sisanya sama Tuhan.”

doakan saja, kata saya. nyengir. dia cuma nyengir sambil sekilas mengatakan ‘dasar’ ke arah saya.

kembali ke soal idealisme. bukan berarti saya jadi serba kaku atau tidak fleksibel juga sih. tapi untuk saat ini, saya kira seperti itu saja dulu. kecuali mungkin…

iya, memang ada ‘kecuali’ di sana. eh, lho, kok?

sebenarnya begini, sih. untuk saat ini, satu-satunya hal yang bisa membuat saya berubah pikiran barangkali cuma kalau mendadak ada tawaran pada Kantor Staf Kepresidenan pada bidang Teknologi Informasi, misalnya. barangkali kalau seperti demikian yang dilakukan di Gedung Putih[3] bisa dilakukan untuk Indonesia —mungkin pula dengan kode terbuka dan data terbuka— saya kira akan jadi panggilan yang menantang dan seru sekali.

kalau ada seperti demikian, yah, agaknya akan jadi tawaran yang sungguh berat untuk saya tolak. saya sendiri berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang pada dasarnya bisa dilakukan, bahwa kalau mau kita bisa, dan bahwa Indonesia punya lebih dari cukup modal untuk meraih itu semua.

tapi itu juga kalau ada yang menawarkan sih. lagipula geer amat sih saya. hehe.

mungkin soal idealisme juga. buat saya, untuk Indonesia saya kira adalah hal yang berbeda. tapi saya kira itu cerita lain untuk saat ini.

 

___

[1] individu-individu yang bekerja untuk perusahaan tertentu, bisa kalangan sendiri atau pihak ketiga, untuk menyaring kandidat profesional yang dianggap cocok untuk mengisi kebutuhan spesifik terkait managerial atau spesialisasi khusus.

[2] secara teknis bukan kakak beneran juga sih, walaupun secara praktis demikianlah kenyataannya. ceritanya agak panjang, pernah ditulis juga di sini sekali dulu.

[3] The White House’s Alpha Geeks [→] artikel menarik tentang wawancara CTO dan technical advisor di Gedung Putih. penugasan tim di sana meliputi implementasi teknologi sebagai jembatan lintas-disiplin untuk berbagai kebutuhan sektor publik di Amerika Serikat.

[4] image credits:

to kill a …

“how do you kill a good guy? feed him prolonged, deafening silence until good’s very last end. it f**king works actually.”

girls only; bonus point when you are not his (traumatizing) first.

cerita pekan lalu, pada cerita tahun lalu

prolog /
2014, Juni . . . 2015, Juli

 

“pacarmu nggak marah?”

“oh, aku sudah bilang kok mau ketemu kamu.”

“terus kamu bilang apa ke dia?”

“aku bilang ada temanku, namanya—” dia menyebutkan namaku “—sudah lama nggak ketemu. terakhir cuma sempat dua kali.”

aku tidak menyanggah. memang benar seperti itu sih kenyataannya.

“tapi lucu juga sih ya,” aku menukas santai, “sejak terakhir kita ketemu, kamu baru putus. terus sendiri, terus sudah pacaran lagi, lalu sudah putus lagi, dan sekarang sudah jalan sama orang lain lagi…”

dia tampak cemberut seolah hal seperti ‘sudah punya pacar lagi’ itu semacam hal yang tidak ingin dia ungkit benar.

“…sementara aku masih belum juga pergi dari gadis yang sama. wah. kupikir apa aku ini setia banget ya.”

“bukan berarti aku nggak setia begitu juga sih ya,” dia menyanggah sedikit sebal. lalu melanjutkan; “kamu, masih yang dulu?”

“masih yang dulu.” aku menjawab.

 

1 /
matilda

 

2014:

“sudah di lokasi. kalau lihat ada cowok keren pakai kacamata, disapa saja, ya.”

demikian pesan pendek setengah bercanda yang kukirimkan lewat telepon genggam. waktu itu Sabtu siang. aku duduk pada undakan yang terbuat dari tegel keramik hitam di sisi kolam, membelakangi air mancur yang bergemericik ringan. orang-orang ramai, sebagian berbelanja, sebagian lain berjalan-jalan. beberapa yang lain tampak duduk-duduk di undakan serupa tak jauh dari tempatku.

aku menangkupkan telapak tangan, memandang ke lantai. menunggu. satu menit, dua menit, tiga menit…

“heiii.”

aku menengadah. seorang gadis dengan baju dan rok terusan putih berdiri di depanku. anaknya manis, dengan kulit sedikit gelap dan rambut sebahu yang dibuat potongan bob yang rapi. dia mengulurkan salam. aku menyambutnya.

“hei, cil. rapi bener.”

“baru dari gereja tadi,” dia tampak merapi-rapikan roknya, “ini jadi rapi banget sih.”

“bagus kok begitu.”

namanya Matilda. resminya dipanggil ‘Tilda’, tapi kalau orang-orang sedang iseng sering juga dipanggil ‘Mamat’. jangan tanya kenapa, aku juga bingung.

aku sendiri biasa memanggilnya dengan sepotong ‘cil’. sekali lagi, jangan tanya kenapa. aku juga bingung dulu bagaimana ceritanya. pokoknya begitu.

 

2015:

“temui aku di tempat kita pertama kali ketemu dulu. oh, dan bateraiku sudah mau habis. kalau sudah nggak ada jawaban, kamu sendirian, ya.”

“cih. oke.”

demikian rangkaian pesan pendek dan jawabannya yang kukirimkan dari tempat yang sama, setahun kemudian.

tempat ini tidak banyak berubah. lampu-lampu terang, air mancur di belakang sisi undakan dari tegel batu dan keramik, serta aku yang sekali lagi duduk di sana, sendirian. kadang hal-hal kecil dalam hidup rasanya seperti metafora sekali. maksudku, seperti sekarang ini. banyak hal-hal berubah, beberapa hal tetap.

aku menunduk, menyilangkan jari-jari di telapak tangan. menunggu.

“yuuuudd.”

aku menengadah. tersenyum. dia tersenyum balik dan melambaikan tangan. hari itu dia mengenakan jaket dan celana panjang berbahan jins. senyumnya tidak banyak berubah, walaupun kalau diperhatikan benar tampak dia sedikit letih. bukan hal yang tidak wajar, pikirku…

“J.Co?”

“boleh. kita ngobrol saja, ya. aku nggak ikut minum.”

pada Jumat siang di bulan Juli, masih dalam hari pada bulan puasa ketika kami bertemu. kira-kira lewat tengah menjelang sore hari. cuaca terbilang panas dalam perjalananku tadi, dan dengan keadaannya sekarang ini, kurasa demikian dia cepat bisa duduk dan beristirahat akan lebih baik.

“huah, panas. sekalian aku perlu minum obat. maaf ya.”

kukatakan santai saja, lagipula toh aku juga sedang puasa. masih cukup lama sampai waktu berbuka, dan kalau bisa sambil ngobrol santai sebelum kami berangkat lagi kurasa cukup.

tapi kata-kata terakhirnya itu, ada ceritanya sendiri.

 

2 /
lymphoma . . . and everything else

 

2014:

kami menghabiskan siang hari sambil membicarakan —di antara banyak hal lain— tentang rencana ke depannya terkait kepindahan kerja ke sebuah firma konsultansi internasional. pada dasarnya ini merupakan pengalaman baru buatnya. pendekatan empiris dan angka-angka untuk memetakan strategi bisnis, kira-kira demikian hal-hal yang sedang dan akan dihadapinya dalam pekerjaannya tersebut.

sejauh ini menyenangkan, katanya. tapi harus sering pergi dan kadang-kadang capek juga. pada saat kami mengobrol salah satu penugasannya meliputi banyak perjalanan dalam kota yang jaraknya lumayan jauh dan sering menghabiskan waktu tersendiri.

“kamu anak teknik sih, jadi seharusnya nggak susah buat pindah ke consulting,” demikian kataku. “buatku juga bidangnya menarik. kadang penasaran juga.”

aku lantas melanjutkan, “cuma ya sepengetahuanku sih pekerjaannya bakal menuntut sekali. kamu kalau mau menikah perlu dipikirin tuh, nggak semua cowok bisa paham cewek-cewek mengutamakan karir, kan.”

“aku baru putus kemarin.”

“eh?”

kemudian dia bercerita sedikit panjang tentang keadaannya saat itu. bukan persis ‘kemarin’ juga dari saat kami mengobrol, entah mungkin sudah beberapa minggu atau satu-dua bulan sudah berlalu. bukan tak ada juga yang mendekati setelahnya —ada seseorang, katanya— tapi kurasa mungkin dia juga merasa belum saatnya untuk memulai lagi.

beberapa saat dalam percakapan kemudian dia menanyakan tentang keadaanku. kujawab dengan kira-kira singkat dan jujur sesuai keingintahuannya.

ada seseorang, kataku. kuceritakan sekilas bahwa keadaan kami kira-kira tidak jauh berbeda.

 

2015:

“aku sempat cerita sedikit tentang kamu ke dia,” demikan kataku. “nggak sampai mendetail banget sih. aku cuma bilang, ada temanku,  diagnosis CA[1]. lymphoma[2].”

aku menyandarkan punggung di kursi, memejamkan mata, kemudian melanjutkan. “dipikir-pikir lagi, banyak hal berubah, ya.”

meja kayu dicat gelap. lampu kuning sedikit redup. sofa yang tidak terlalu empuk. gadis di depanku menggenggam gelas berisi teh dingin. di dekatnya sepotong donat terletak di sisi meja.

aku ingat bahwa dalam bulan-bulan sebelumnya dia mengabarkan bahwa kondisinya tidak begitu baik. dalam waktu singkat diketahui prognosis[3] berupa kemungkinan TB kelenjar atau lymphoma, dan dalam observasi lanjutan ditemukan diagnosis seperti yang kusebutkan barusan.

lymphoma malignum hodgkins. kanker getah bening.

tapi dia sendiri bukan tipe yang senang menderita atau tampak sedih juga. walaupun kalau dari ceritanya, rangkaian sesi kemoterapi itu jelas bukan sesuatu yang menyenangkan. apalagi ditambah patah hati pula, katanya sambil tertawa.

“aku sambil minum obat, maaf ya. kamu kan lagi puasa juga.”

“santai saja.”

aku memperhatikan kapsul dan tablet yang dikeluarkannya dari bungkusan. cukup banyak.

“hal-hal seperti ini bikin kepikiran ya…” kataku. “di depanku ada orang seperti kamu, lymphoma dan semuanya, problemku kayak gimana juga rasanya jadi kayak nggak pantes juga.”

“mana bisa begitu,” dia menyanggah. “masalah orang kan beda-beda. terus kalau aku sakit kamu jadi nggak boleh curhat, gitu?”

aku memandangnya. mencoba tersenyum. entah, ya…

 

3 /
indonesia mengajar

 

2014:

Lamdesar. demikian nama desa di Maluku yang kemudian kuketahui berada di sisi selatan dari bagian timur Indonesia. penugasannya dalam program Indonesia Mengajar[4] memberikan waktu cukup lama untuk tinggal di sana, mengajarkan banyak hal dan belajar banyak hal pula. kalau di sana dulu panggilannya ‘ibu Tilda’, tapi kurasa kalau kita mengajar anak-anak SD tentunya dipanggil ‘bapak’ atau ‘ibu’ itu sesuatu yang wajar saja.

“sekarang kamu tulis surat.”

“apa ini?”

“buat anak-anakku di sana,” katanya. “mereka kelas enam, mau lanjut ke SMP. aku mau mereka bisa semangat.”

dia menyebut anak-anak didiknya dengan kata benda kepemilikan seolah mereka itu benar anak-anaknya. mungkin tak masalah kalau seperti itu juga; seringnya tak selalu perlu banyak syarat untuk bisa jadi keluarga, bukan.

“jadi aku harus tulis apa?”

“apa saja. aku mau mereka punya cita-cita. kalau ada orang-orang seperti kamu bisa bilang ke mereka bahwa mereka juga bisa kalau berjuang dan berusaha. seperti itu saja nggak apa-apa.”

“hmm.”

aku berpikir. memutar-mutar bolpen di tangan, mengira-ngira apa yang akan kutuliskan pada lembar-lembar kertas surat yang diberikannya. cita-cita, ya… untuk seorang anak, itu juga sesuatu yang kurasa cukup penting. bagaimanapun menuliskan hal seperti ini juga tidak mudah; aku paham bahwa sebagai orang dewasa kita tidak selalu bisa berbicara dengan bahasa anak-anak. dan kalau seperti itu seringnya pesan kita tak akan tepat tersampaikan pula.

saat itu siang hari menjelang sore. di dekat konter satu-dua petugas toko berlalu-lalang, di sisi kananku dari dekat pintu dan jendela kaca sinar matahari pukul dua-tiga sore menyusup masuk sedikit hangat. aku memperhatikan gadis di depanku mengambil sepotong pizza yang dipanggang tipis dengan taburan daun basil di atasnya, sekilas mengatakan ‘ini enaaaakk’, sambil kemudian nyengir sendiri.

dunia yang jauh berbeda, pikirku. kutuliskan surat sebisaku, berharap bisa dipahami dari sisi dunia anak-anak yang tiba-tiba terasa jauh sekali dari tempat kami berada.

 

2015:

menjelang pukul lima sore. kira-kira satu jam menjelang waktu berbuka puasa, dia mengajakku untuk pindah ke tempat yang masih kuingat dengan baik dari terakhir kali setahun sebelumnya.

“ini kan tempat kita dulu,” katanya sambil berjalan melewati konter. kemudian sambil lewat dia memegang kursi di sisi salah satu meja. “tempat duduknya juga persis di sini. hehe.”

aku tersenyum. dia mengatakan pokoknya dia mau pizza, pokoknya yang enak dan pokoknya kami bisa mengobrol lama seperti dulu.

dia mengambil tempat duduk di sisi meja yang ditunjuknya, dan demikian aku mengambil tempat di seberangnya. dia benar; persis seperti terakhir kali, ya… bedanya kurasa waktu itu masih siang dan tentu saja saat itu kami tidak sedang menunggu waktu berbuka puasa.

“aku mau kamu tulis surat buat Lini.”

“hah?”

“iyaa, aku mau kamu tulis surat lagi. kayak dulu. di sini.”

pada saat itu aku sudah mendengar cerita tentang Lini darinya. Lini, demikian panggilannya, adalah seorang anak didiknya dari Maluku yang saat ini sedang berada di Jawa untuk melanjutkan pendidikan di sekolah menengah atas. demikian dengan semuanya itu tentunya bukan hal yang selalu mudah untuk seorang anak gadis berusia belasan tahun untuk pindah dan belajar di tempat yang baru dan berbeda, dan sedikitnya dia ingin bahwa anak itu tidak perlu merasa sendirian.

“kok lama banget?”

“eh, ini masalah serius, gimana sih.” aku menjawab dengan muka datar. “apa yang akan kukatakan ini kan bisa menentukan masa depan seorang anak. mana bisa sembarangan.”

“iya sih.”

“kok kamu langsung setuju sih?”

“zzz. udah cepetan.”

pada akhirnya aku menuliskan surat pada halaman-halaman buku catatan kecil untuk anak itu. aku berharap bahwa betapapun mungkin kecilnya, setidaknya ini bisa berguna untuk seorang anak yang sedang menuju dunia baru. aku berharap bahwa di tempat yang bisa jadi asing buatnya, setidaknya dia tahu bahwa ada orang-orang yang tidak ingin meninggalkannya begitu saja.

 

epilog /
plus ça change, plus c’est la même chose

 

kami berpisah di halaman depan kira-kira lewat jam tujuh malam. dia masih ada keperluan untuk menemui anak-anak didiknya yang sedang berada di bagian lain ibukota, dan aku mengantarnya sampai dia menemukan kendaraan untuk berangkat.

“rasanya seperti deja vu, ya,” demikian kataku menjelang akhir perjumpaan kami.

“iya. hari ini kan memang begitu semuanya. hehe. nanti kamu tulis, ya. bilang ke aku kalau sudah. janji, ya.”

kadang-kadang beberapa hal terasa lucu juga. banyak hal berubah, sebagian hal tetap, tapi kalau ada sedikit hal-hal tidak berubah seperti obrolan di resto sambil menulis surat sambil menghadapi lembaran-lembaran pizza yang dipanggang tipis, kurasa kalau seperti itu toh tidak apa-apa juga.

setelahnya dia pamit dan berangkat. aku mengangkat tangan membalas lambaiannya. sesaat pikiranku mengembara, sementara dia sudah berangkat dan dengan demikian sudah waktunya juga buatku untuk pergi.

“kamu baik-baiklah. sehat-sehat, cil.”

“kamu juga. semoga kalian juga baik-baik, ya.”

kira-kira demikian obrolan terakhir yang bisa kuingat dari sisi meja, yang saat itu sudah tinggal berisi piring kosong dan sisa-sisa remah roti serta serpihan daun ketumbar.

. . . untuk saat ini kurasa kami hanya bisa mengaminkan doa masing-masing saja.

 

___

[1] CA: kependekan medis untuk ‘cancer’. atau dalam bahasa Indonesia, ‘kanker’.

[2] lymphoma malignum hodgkins, atau Hodgkin’s Lymphoma. kira-kira bisa dianggap sebagai kanker di mana aktivitas kelenjar getah bening menghasilkan sel-sel darah putih berupa limfosit yang tidak normal.

[3] istilah medis untuk kemungkinan-kemungkinan dan perkiraan awal sebelum diagnosis suatu penyakit.

[4] salah satu program pendidikan berbasis sukarelawan yang bertujuan untuk mengembangkan pendidikan daerah terpencil di Indonesia.

tak harus hilang, tak harus lepas

hari-hari ini, saya tak sengaja menonton lagi cuplikan adegan lama di film Ada Apa Dengan Cinta yang dirilis belasan tahun lalu dulu. menjelang akhir filmnya, kedua tokoh utama… yah, kecuali anda tinggal di dalam gua selama 15 tahun terakhir, sepertinya anda semua sudah tahu akhir ceritanya. nggak perlu dijelaskan, ya? :mrgreen:

nggak sih. saya cuma kepikiran tentang betapa dekatnya kemungkinan bahwa sebuah hubungan —tidak selalu harus romansa juga— bisa berakhir atau tidak berlanjut karena hal-hal tertentu yang tidak selalu terungkapkan benar. sebagian seperti halnya dalam film tersebut, misalnya. di sisi lain, sepertinya tidak membantu juga bahwa agaknya saya punya kutukan  tersendiri terkait hal-hal seperti ini. waduh?

aadc-airport

“kamu beneran nggak mau say goodbye sama Cinta?”
“…dia udah say goodbye duluan, pa.”

dari dulu—entah apakah ini hal yang baik atau buruk, ya—saya punya kecenderungan untuk susah pergi dan meninggalkan sesuatu begitu saja. entah itu dalam konteks hubungan personal atau profesional atau keduanya, saya cenderung mempertahankan sesuatu habis-habisan sampai benar-benar sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. entah bagaimana, kadang agak lucu juga bahwa tahu-tahu bulan-bulan dan tahun lewat dan pada akhirnya ternyata saya masih di situ-situ saja.

bukan tidak ada resikonya juga sih. kadang-kadang ya seperti itu, ketika ada saatnya segala sesuatu harus berakhir, sakitnya itu lho. eh. aduh. ini kenapa jadi curcol sih. udah woy, udah.

baiklah, lanjut. bagaimanapun saya kira bukan hal yang sederhana juga. salah satu contoh, kalau misalnya anda punya atau pernah punya seseorang yang istimewa merangkap sahabat merangkap partner merangkap teman seperjalanan seperjuangan yang sudah bersama anda untuk sekian lama… jujur saja, saya rasa pada umumnya baik anda maupun dia tidak bisa dan tidak akan bisa menegasikan serta lalu menyangkal bahwa semua jadi tidak pernah ada.

karena tidak seperti itu kenyataannya. dengan atau tanpa ‘say goodbye’ yang mengakhirinya.

tapi, sudahlah. barangkali saya cuma sedang teringat obrolan Rangga dan ayahnya menjelang akhir film yang, baik pada waktunya dulu maupun ketika diperhatikan lagi belakangan ini, agaknya masih tetap cukup menonjok lumayan berkesan tersebut:

“payah. gitu aja nyerah.” :3
“…”

banyak hal yang mungkin tak selalu tepat atau sempurna benar, tak selalu semua sesuai keadaan-keadaan dan harapan-harapan di sekitar kita. tapi tak harus semua hilang dan lantas jadi sama sekali kehilangan makna. tidak harus semua seperti itu. tidak harus selalu seperti itu.

mungkin karena buat saya ada hal-hal yang terlalu penting untuk dikubur dan dianggap tidak pernah ada. tidak selalu semuanya lantas jadi sama sekali tidak berarti. atau setidaknya, saya lebih suka memikirkannya seperti itu.

untuk hal-hal tertentu. tidak untuk dibuang begitu saja.

___

image credits:

  • Ada Apa Dengan Cinta (2002), produksi Miles Production.

waktu tersisa

“dari dulu aku merasa, umurku nggak akan panjang. bapak dulu 46 (tahun), dan kalau bisa sampai lewat segitu saja buatku sudah bonus. apa lagi sih yang kucari? aku tahu waktuku nggak banyak. sudah nggak waktunya aku nggak bisa ikut kata hati sendiri.”

Juni 2015; antara Halim dan Cinere, obrolan lintas generasi dalam perjalanan yang sesekali ketumpahan isi cangkir kopi.

sampul belakang

“cinta sejati adalah kenyamanan, kepercayaan, dan dukungan. kalau kamu tidak setuju, aku tidak peduli.”

(Milea, 1990)

dari sampul belakang novel di toko buku, siang ini. aku cuma geleng-geleng —bukan karena itu tak tepat, sungguh.

mei

aku menuliskan ini pada tanggal 14 Mei, dan untuk orang-orang yang paham tentang atau kebetulan tinggal di Indonesia, kurasa tanggal tersebut seharusnya tidak terlalu asing. untuk alasan yang tidak selalu baik, kukira.

atau lebih persisnya: 13 dan 14 Mei.

kalau kuingat-ingat lagi, setahun sebelumnya pada 1997 Persemakmuran Inggris mengembalikan Hong Kong ke Republik Rakyat Cina, dan dengan kebingungan yang meliputinya beberapa golongan warga negara memutuskan untuk pindah —setidaknya sementara— ke negara-negara tetangga termasuk Indonesia.

setahun kemudian, demonstrasi dan kerusuhan massa memanas di Jakarta, diikuti beberapa kota di tanah air. lewat bulan Mei 1998, arus perpindahan sebaliknya terjadi: sebagian golongan warga negara Indonesia memutuskan untuk pindah, setidaknya sementara, ke beberapa negara. dalam salah satu perputaran peran yang unik, Hong Kong —selain Singapura— menjadi salah satu dari sedikit tempat tujuan yang bisa dicapai oleh sebagian mereka yang memutuskan pergi.

salah satunya gadis ini.

 

“orangtuaku tetap tinggal di sini —di Indonesia— jadi cuma aku yang disuruh berangkat ke sana. jadi aku pindah sekolah.”

“memangnya bisa langsung paham bahasanya?”

aku ingat aku bertanya sedikit penasaran. maksudku, aku paham bahwa beda bahasa dalam proses belajar-mengajar itu sesuatu yang bisa menghambat benar. kuperkirakan waktu itu baru lewat beberapa pekan dari ulang tahunnya di awal usia belasan tahun, dan dengan semuanya itu kurasa itu bukan hal yang mudah atau pula sederhana.

“enggak sih. sempat sulit. sekolah juga bukan tidak mau kasih dispensasi, tapi ya mau sampai berapa lama. sekali waktu aku ke ruang guru, diberitahu kira-kira seperti itu.”

ada saudaraku tinggal di sana, katanya. tapi kan harus sekolah juga. juga harus kerja sambil bantu-bantu. sambil lalu dia menyebutkan tentang kerja sambilan mengantar pesanan nasi dan makanan Indonesia. tidak banyak, tapi lumayan untuk ditabung, demikian kira-kira ceritanya.

“wah,” komentarku. “jadi gadis desa berangkat jadi TKW—”

“HEH!”

aku tahu dia tahu aku cuma bercanda, tapi ya tetap saja dia jadi mengomel panjang-pendek. tidak apa-apa juga sih. sudah marahi saja aku, kak! marahi saja! eh…

“tapi aku jadi bisa bahasa Kanton sama Mandarin,” katanya. “kalau di Hong Kong kan utamanya pakai Kanton, tapi kalau jalan sedikit ke Shenzen, banyak pakai Mandarin.”

aku ingat sekali waktu kukatakan sambil bercanda bahwa kalau aku pergi bareng dia ke Kowloon atau Shenzen, kurasa aku tinggal tenang-tenang saja sudah punya penerjemah. bukan apa-apa, dari pengalaman aku tahu bahwa bahasa Inggris orang-orang di sana memang agak… kurang bisa diandalkan, kalau mau dibilang dengan sopan sih.

dia hanya menanggapi dengan tertawa.

 

“ada contohnya tuh, baca sendiri deh.” kataku. pada waktu yang lain kami sedang membicarakan artikel dari Harvard Business Review, topiknya terkait hasil studi di mana pengalaman dan tempaan keras cenderung berkorelasi dengan kualitas kepemimpinan secara profesional.

“yah kira-kira kayak kamu dilempar ke HK begitulah,” aku melanjutkan. “kurasa kamu bisa bertahan dari sana, dikasih apa juga sudah tahan banting sih.”

“aku juga heran, lho. kalau sekarang ini dipikir, gila ya, dulu bisa kayak begitu. kalau disuruh lagi sih nggak janji deh.”

saat itu di Jakarta, beberapa belas tahun kemudian. kalau kita memandangnya kembali, katanya, hidup di sana juga bukan senang-senang. semua ya kerja keras juga. tapi di tempat yang jauh semua jadi seperti keluarga. kurasa itu hal yang wajar dan bisa dipahami.

tapi kupikir, apa harus sebagian orang-orang pergi seperti itu lagi? bukankah pada dasarnya itu semacam eksil, terasingkan dari rumah atau kampung halaman, meskipun pada dasarnya hal tersebut dilakukan atas dasar pilihan sendiri.

… walaupun entah seberapa ‘pilihan sendiri’-nya keputusan yang diambil dari keadaan-keadaan tersebut.

karena rumahmu sebenarnya di sini, kan.

aku memikirkannya sekilas, tapi kuputuskan untuk tidak mengangkatnya jadi topik pembicaraan.

 

“tapi, itu sesuatu yang aku bersyukur. walaupun waktu menjalani memang rasanya nggak enak banget.”

demikian katanya pada akhir hari yang sibuk, pada suatu waktu yang lain lagi. aku berpikir sekilas sebelum menanggapi kata-katanya.

“kalau bisa mengulang lagi, balik ke tahun dulu, akan tetap melakukan hal yang sama?”

“iya.”

“oh begitu,” aku berusaha menjawab dengan muka datar. “jadi kalau habis ini dilempar disuruh serba sendiri lagi, masih mau?”

“eh jangan dong!”

aku ingat aku tertawa melihat tampangnya sedikit kaget seperti itu. siapa juga yang mau meninggalkan kamu sendirian sih, pikirku. tapi toh tidak kukatakan, tidak untuk saat itu.

yang akhirnya kukatakan hanya ‘pulang yuk’ singkat, dan beberapa belas menit kemudian kami berpisah di halte Transjakarta.

 

Mei, 2015. kalau diperhitungkan dari saat ini, kira-kira sudah hampir dua puluh tahun berlalu dari dekade sembilanpuluh-akhir. waktu berlalu dan kita juga berubah, tempat kita tinggal tumbuh dan berkembang juga. dan dengan segala kekurangan dan perbaikan-perbaikan yang menyertainya —walaupun kadang bisa jadi terasa tidak cukup cepat— pada akhirnya kupikir tempat ini masih jadi rumahku. kurasa sama buat dia juga. kurasa sama buat cukup banyak orang lain juga.

mungkin aku cuma berharap bahwa tidak perlu ada orang-orang terpaksa pergi dari sini sendirian lagi.

lewat petang menuju malam ketika aku menuliskan ini, sambil lalu aku mengambil teh tarik instan dari lemari dan samar-samar aku teringat obrolan lama sekali dulu.

“itu nama panggilan kecilku,” katanya. “kok tahu sih?”

aku ingat waktu itu aku cuma senyum-senyum. mungkin suatu saat kamu akan tahu sendiri jawabannya, demikian pikirku. mungkin sih.

aku menyelesaikan beberapa kalimat pada papan ketik di komputer, setelahnya aku menyeruput teh tarik di sisi meja. pada akhirnya, kurasa, tulisan ini memang menjadi tentang sedikit tentang Mei.

kalaupun seperti itu kukira tidak masalah. barangkali bukan hal yang sepenuhnya buruk juga.

janji dan harga diri

“kadang takut ketemu orang kayak kamu. kamu nggak pernah kompromi kalau kamu sudah bilang janji. bikin takut. takut kalau suatu saat malah aku yang lupa atau ingkar janji.”

“yah. kalau aku sudah nggak bisa percaya sama omonganku sendiri, aku mau percaya sama siapa lagi?”

maaf, kelas dan didikan saya beda. tolong jangan dibandingkan dengan rata-rata di sekitar anda.

di dapur rumah ibu

/1

kalau ada saatnya di mana hal-hal kecil sederhana membuat kekacauan yang tidak seharusnya, inilah saatnya.

pagi hari libur pada akhir pekan panjang, aku sedang menuangkan adonan telur ke dalam lubang-lubang kecil di loyang yang sudah tertutup lembaran daging asap. kelebihan; campuran telur garam merica dan kecap inggris merembes, menyisakan tambahan pekerjaan lengkap dengan ekstra bau amis pada keramik dapur.

aku mengumpat pelan. ceroboh, pikirku. benar-benar tidak seperti biasanya.

 

 

“kamu kenapa?”

aku mendengar suara beliau —ibuku sudah berada di sisi pintu dapur— sementara aku masih setengah konsentrasi menjaga rembesan yang sudah semakin melebar.

“kok lesu begitu… haaah, ini telur ya? amis ini!”

demikian aku mendengar serunya. setelahnya aku mendengar beliau mengambil beberapa lembar tisu dan lembaran koran lama, menyiramnya dengan air, kemudian memberikannya kepadaku untuk membersihkan kekacauan yang pada dasarnya tidak sewajarnya tersebut. jangan lupa nanti cairan pembersih, katanya, lengkap dengan beberapa tambahan lain yang tidak terlalu bisa kudengarkan benar.

aku hanya mengangguk sambil membersihkan sisa-sisa adonan kuning encer dan lengket yang sekarang ini sudah mengalir jatuh ke lantai dapur.

 

/2

siangnya aku keluar sebentar, dan setelah sampai kembali di rumah aku menemukan bahwa panggangan tadi pagi ternyata sudah dikeluarkan dari oven. dua mangkok kaca tampak rapi di meja makan, ibu dan saudara-saudaraku sudah duduk berada di sana mengajak makan siang.

“ini aku bikin salad tadi,” kata beliau. “pas kamu keluar tadi. pakai brokoli sama bit yang kemarin. buat sayurnya, ya. lauknya kan sudah tadi sama kamu.”

aku tersenyum sebisaku, duduk di meja dan memperhatikan mangkok kaca besar yang —kalau kata adik perempuanku— tidak pernah diketahui ada mangkok seperti itu di rumah. tentu saja, kataku. kamu nggak pernah ke dapur sih. kami semua tertawa, kemudian menuangkan makanan ke piring masing-masing.

makanan hari itu omelet campur dalam mangkok daging asap (demikian yang membuat kerusuhan kecil di dapur pagi tadi), dengan tambahan berupa salad berisi campuran bit, brokoli, dan kentang buatan ibu yang tidak kuketahui bagaimana proses pembuatannya.

 

“kamu kok lesu begitu sih?” kali ini giliran adik perempuanku menanyakan hal serupa tadi pagi. aku mendengar ibu mengiyakan, sambil kembali beliau menanyakan hal yang sama.

“iya, kamu tuh sebenarnya kenapa sih? kayaknya kemarin masih baik-baik, kenapa sekarang begini…”

kayaknya ada sesuatu terjadi, katanya. entah apakah aku ada mendapatkan kabar atau telepon atau pesan pendek sehingga jadi seperti ini, atau barangkali apa sejenisnya, demikian kata beliau setengah bercanda setengah berspekulasi.

aku paham sekali, bahwa dari sekian banyak hal yang bisa dipelajari manusia, salah satunya adalah jangan pernah meremehkan intuisi ibunda.

tentu saja aku juga bukan terbiasa untuk langsung mengiyakan atau menyangkal seperti demikian juga. aku mencoba tersenyum, mengangkat bahu sekilas, mengatakan ‘ah, tidak apa-apa’. walaupun barangkali sia-sia juga; kurasa kita semua paham bahwa tidak akan ada seorangpun ibu di muka bumi yang akan dengan mudah mempercayai kata-kata semacam tersebut keluar dari mulut anaknya sendiri.

sekalipun apakah anaknya itu berusia dua tahun lewat sekian bulan atau dua puluh lewat sekian tahun, kurasa tetap; untuk seorang ibu, tidak banyak bedanya.

aku melihat adikku mengeluarkan senyuman pemberi-semangat —atau setidaknya katanya begitu— sambil mengatakan, “semangat kakaaaakk,” dan sambil nyengir kutanggapi sebisa dan sebaik mungkin bahwa aku baik-baik saja. tapi terima kasih, kataku.

ibu tampak mencoba cuek, tapi entah apakah dia semacam kepikiran juga tentang jawabanku atas pertanyaannya tadi.

 

/3

malamnya aku sudah menyelesaikan masakan untuk makan malam dan sedang membersihkan perabotan sisa kegiatan sebelumnya. tak lama kemudian aku melihat beliau main ke dapur, menyapa dan mengobrol sekilas sambil mencicipi hasil masakan yang sudah kutuangkan ke piring.

“…kamu tadi masak wortelnya bareng sama brokoli ya?”

aduh. iya benar. aku tahu itu kesalahan, walaupun kecil; wortel lebih lambat matang, seharusnya masuk duluan. baru brokoli, setelahnya kalau ada tambahan lain seperti pokcoy atau kapri baru ditambahkan belakangan ke wajan.

“hmm. kayaknya agak kurang bumbu deh. kutambah garam sama merica, ya?”

kesalahan kedua: proporsi bumbu terhadap sayur terlalu rendah. kalau sayurnya banyak, garam dan merica juga harus lebih banyak. jangan terpaku ukuran sendok, tapi juga jangan sembarang pakai perasaan. aku tahu itu. aku paham semuanya itu. berat, aku mengiyakan sarannya.

seperti sebelum-sebelumnya hari ini, itu juga sesuatu yang tidak biasanya dan tidak seharusnya terjadi.

aku menunduk. kemudian aku kembali mendengar suara yang kukenal baik.

“kamu itu kalau masak, nggak boleh sambil kemrungsung, punya beban seperti itu. rasanya bisa ke barat ke timur. padahal biasanya juga bagus. kamu lagi ada pikiran ya?”

aku merasakan bibirku berat, antara tak bisa atau tak ingin menjawab. atau mungkin cuma tak biasa, entahlah. pada akhirnya aku hanya mengeluarkan gumaman pelan, entah apa ada artinya yang bisa dipahami.

 

“eh, bu…” kataku pada akhirnya.

sedikit berat, aku terdiam sejenak. lalu melanjutkan;

“besok pagi, aku nggak masak ya? buat makan siang aku titip ibu dulu.”

beliau melirikku sekilas, kemudian —seperti biasanya— bersikap seolah cuek walaupun kurasa ada sekilas bahwa sedikit banyaknya beliau tampak paham.

“ya sudah, nggak apa-apa,” demikian aku mendengar jawabannya. “tapi besok kalau kamu mau belanja, aku titip ayam, ya. dada fillet dua lembar. sama daging giling, kalau ada.”

aku mengangguk, mengiyakan permintaannya. kemudian menyelesaikan sisa cucian di wastafel, lantas meletakkan wajan yang sudah dibersihkan di rak dan mengembalikan spatula ke sisi tempat masak.

setidaknya besok masih libur, pikirku. mungkin aku akan bangun lebih siang daripada biasanya.